Liputan6.com, Jakarta - Sayang sayang seribu sayang, sudah beberapa tahun terakhir sejak kelakuan turis nakal makin menjadi di Indonesia. Dari waktu ke waktu, publik tidak lagi asing dengan keputusan mendeportasi wisatawan mancanegara (wisman) yang berulah di Tanah Air.
Merujuk Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.hh-11.ot.01.01 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Detensi Imigrasi, melansir laman Kemenkumham, Minggu (11/6/2023), dalam Pasal 1 ayat 4, disebut bahwa deportasi adalah tindakan mengeluarkan orang asing dari wilayah RI karena keberadaannya tidak dikehendaki.
Lalu, menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, deportasi merupakan salah satu Tindakan Administratif Keimigrasian (TAK) terhadap orang asing di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya.
Advertisement
Juga, patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan. Deportasi juga dapat dilakukan terhadap orang asing di wilayah Indonesia karena berusaha menghindarkan diri dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negara asalnya.
Lantas, siapa yang menanggung biaya deportasi? Pasal 63 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian mewajibkan orang asing tertentu yang berada di wilayah Indonesia memiliki penjamin. Penjamin ini yang nantinya harus bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan orang asing itu selama tinggal di Indonesia.
Penjamin juga berkewajiban melaporkan setiap perubahan status sipil, status keimigrasian, dan perubahan alamat. Mereka pun dibebankan biaya yang timbul untuk memulangkan atau mengeluarkan orang asing yang dijaminnya dari wilayah Indonesia. Dalam hal orang asing tidak memiliki penjamin, biaya yang timbul akan dibebankan pada yang bersangkutan.
Bila Tidak Punya Uang dan Penjamin?
Bila orang asing tidak memiliki penjamin dan uang untuk menanggung biaya deportasi, pejabat imigrasi dapat menempatkannya dalam Ruang atau Rumah Detensi Imigrasi. Detensi terhadap orang asing dilakukan sampai ia dideportasi.
Petugas imigrasi akan berkoordinasi dengan perwakilan negara yang bersangkutan mengenai upaya pendeportasiannya. Selain itu, petugas imigrasi juga melakukan pendekatan pada deteni untuk menghubungi keluarga atau teman yang bersangkutan supaya dapat membantu menanggung biaya deportasi.
Jika sampai 10 tahun orang asing tersebut berada di Rumah Detensi Imigrasi karena pendeportasian belum dapat dilakukan, kesempatan menjalani kehidupan sebagaimana hak dasar manusia dengan tetap dilakukan pengawasan supaya tidak menimbulkan dampak negatif di tengah masyarakat biasanya akan dipertimbangkan.
Dengan maraknya kasus deportasi beberapa tahun belakangan, apa artinya ini untuk pariwisata Indonesia? Pengamat pariwisata Taufan Rahmadi menyebut bahwa sudah seharusnya praktik pariwisata Indonesia dibarengi peraturan-peraturan tegas terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan wisman ketika berkunjung ke Indonesia.
"Tidak hanya membuat peraturan, tapi juga harus dilakukan sosialisasi yang kuat sejak wisman berada di negara asalnya. Ini bisa dengan memanfaatkan KBRI di negara-negara asal wisman," katanya melalui pesan pada Liputan6.com, Jumat, 9 Juni 2023.
Â
Advertisement
Menertibkan Penduduk Lokal
Sementara, praktisi pariwisata I Gusti Kade Heryadi Angligan berpendapat bahwa momen pandemi COVID-19 seharusnya jadi waktu introspeksi praktik pariwisata Indonesia. "Sebelum quality tourism, harus ada quantity dulu supaya bisa diseleksi," katanya melalui sambungan telepon, Rabu, 7 Juni 2023.Â
Adanya kebijakan visa on arrival, menurutnya, membuat negara tidak memiliki periode untuk mengetahui latar belakang calon wisatawan. Ia menyebut, "Target (wisman per tahub) ditambah, tapi saringannya tidak ada, yang datang jadinya turis-turis tidak jelas."
Jadi, apakah deportasi efektif memberi efek jera pada turis nakal? Menurut Hery, "sama sekali tidak." "Karena tidak ada penegakan hukum dari dalam. Bali, misalnya. Banyak orang lokal di Canggu, di Legian, mereka tidak pakai helm saat naik motor," katanya.
"Jadi, turis-turis asing itu akan berpikir, 'Apa bedanya dengan kami?' Karena secara alami, mereka meniru orang lokal," sebutnya. "Orang kita yang pergi, seperti ke Jepang, Singapura, dan Australia, ternyata bisa mengikuti aturan, karena ada sistem yang kuat di sana."
Hery melanjutkan, "Ketika semua sudah kacau (banyak turis nakal di Indonesia), pemerintah baru responsif. Tapi hanya diperiksa, tidak sampai disidang dan menjalani hukuman tertentu, ujung-ujungnya dideportasi. Setelah dideportasi, jelas harus ada daftar hitam yang dilaporkan. Dia tidak boleh masuk wilayah RI dalam waktu berapa lama setelahnya."
Â
Selektif dalam Memilih Wisman yang Bisa Masuk ke Indonesia
Sementara menurut Taufan, deportasi dinilai "cukup memberi efek jera bagi wisman." "Tapi, ini juga harus diperkuat dengan sosialisasi terkait apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan (selama berada di Indonesia)," ujar dia.
Demi memperbaiki kualitas wisatawan di Indonesia, sebut Hery, sudah saatnya kita selektif. "Jangan main kuantitas lagi. Visa jangan diobral, karena dampak positifnya kalah dengan dampak negatif yang terjadi," sebutnya.
Ia juga menyarankan membuat sistem berupa aplikasi bagi wisman, di mana di sana dicantumkan apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan selama berada di Indonesia, juga konsekuensi bila melanggar aturan-aturan tersebut. "Sanksi ini nantinya harus benar-benar dikenakan bila ada pelanggaran," tegasnya
"Kita juga jadinya tidak banyak berargumentasi lagi (terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan wisman selama di Indonesia). Selain, kita juga bisa punya data (wisman)," sebutnya.
Yang lebih drastis lagi, sebut Hery, adalah pengenaan pajak wisata. "Itu seleksi secara natural," sebutnya, menambahkan bahwa daya tampung Bali secara kebutuhan air, udara, dan listrik sebenarnya sudah tidak mencukupi.
"Semakin banyak deportasi, artinya pariwisata Indonesia semakin bermasalah. Saya menyarankan deportasi sebagai pilihan terakhir. Lebih penting lagi, mereka (wisman) harus menanggung konsekuensi perbuatannya dulu sebelum dipulangkan ke negaranya," tandasnya.
Advertisement