Liputan6.com, Jakarta Hingga kini gelar sebagai Ratu Boga Indonesia masih melekat pada diri Sisca Soewitomo. Wanita kelahiran Surabaya 8 April 1949 ini merupakan seorang jurutama masak dan pakar kuliner asal Indonesia yang terkenal berkat perannya sebagai presenter acara memasak Aroma di stasiun televisi Indosiar sejak 1997 hingga 2008.
Sebagai pionir dari acara memasak di televisi dan penulis dari 153 buku resep, Sisca telah mendedikasikan 50 tahun kariernya untuk memperkaya kancah kuliner Indonesia. Sisca telah bekerja pada bidang tata makanan untuk merek-merek makanan terbesar Indonesia dan menerima beragam penghargaan, termasuk Ubud Food Festival Lifetime Achievement Award pada tahun 2016.
Sisca merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Dari hobi memasak sang nenek dan ibunya Sisca kemudian mengenal dunia kuliner. Sejak masih kecil ia kerap membantu ibunya dalam menyiapkan beragam penganan, terutama menjelang Idul Fitri.
Advertisement
Sisca pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran Trisakti. Tapi, kuliah kandas di tengah jalan pada semester kedua lantaran telah menikah dan sejak awal memang tidak begitu tertarik dengan jurusan yang dipilih. Setelah punya anak, Sisca kemudian kuliah lagi di jurusan perhotelan Akademi Trisakti.
Sisca kemudian mendapatkan beasiswa dari American Institute of Baking di Manhattan, Kansas, Amerika Serikat. Di sana, dia belajar mengolah berbagai macam makanan. Sepulang dari Amerika Serikat, dia berpetualang di industri boga hingga akhirnya didaulat menjadi pengisi acara Aroma di Indosiar sejak awal penayangannya pada Agustus 1997.
Setiap pagi di akhir pekan, Sisca selalu tampil dengan menu-menu baru nan lezat yang bisa menggugah selera semua mata yang menyaksikannya. Resep yang disajikan pun mudah ditiru untuk dilakukan sendiri di rumah. Maka tak heran penggemar acara ini selalu menanti kehadirannya.
Bisa dibilang ketika itu adalah masa keemasan Sisca. Dia sendiri mengibaratkan dirinya sebagai bintang adegan panas. "Dari tahun 1997 sampai 2008 masak di TV bagaimana enggak panas, partner-nya kompor," ujarnya.
Acara memasak yang dipandu Sisca ini menjadi pelopor dan cikal bakal acara kuliner yang kini menjamur di berbagai televisi swasta. Meski demikian, Sisca tetap konsisten dengan aneka aroma dan cita rasa kuliner Indonesia.
Ketertarikan Sisca terhadap menu khas nusantara memang begitu besar. Melalui keahlian memasaknya, ia ingin menunjukkan pada dunia kalau makanan Indonesia layak disajikan di kancah internasional. Lantas, apakah benar sekarang Sisca sudah gantung panci alias tak lagi memasak untuk konsumsi publik.
Berikut petikan wawancara Sisca Soewitomo dengan Sheila Octarina dalam program Bincang Liputan6.
Batal Jadi Dokter, Mantap di Dunia Kuliner
Bisa diceritakan bagaimana awalnya Ibu mendapatkan gelar Ratu Boga Indonesia?
Sebetulnya gelar Ratu itu nggak usah, pesohor saja. Kalau Ratu itu waduh beda ya. Kesannya harus selalu diperlakukan kaya Ratu. Saya hanya pesohor yang mempopulerkan boga-boga Indonesia supaya sahabat-sahabat saya perempuan Indonesia semua bisa memasak dengan rasa cinta. Untuk siapa? Untuk keluarganya, bapaknya supaya sehat, nyari uangnya giat anak-anaknya sehat, pintar di sekolah dan kelak menjadi pemimpin. Itu harapan saya.
Lantas kapan Ibu punya passion di dunia memasak, dan apakah latar belakang keilmuan Ibu juga di bidang masakan?
Aduh, kalau soal latar belakang keilmuan saya pasti diketawain. Jadi waktu saya kecil masih di Surabaya, saya tuh sukanya duduk di dapur. Lihat Mbah saya masak, kok pinter. Dari bahan-bahan bahan dikupas, dimasak jadi masakan yang enak. Kepengin juga bisa seperti itu.
Nah, kemudian setelah saya menikah kan saya punya anak. Saya harus bisa memberikan sajian untuk pertumbuhan anak saya dan saya harus bisa juga membantu pendapatan keluarga. Saya jalan-jalan. Dulu saya pernah kuliah di kedokteran, tapi cuma sebentar, kemudian saya menikah.
Sesudah menikah dan punya anak saya melihat ada akademi perhotelan. Pikir saya, gue mesti masuk sini nih, karena itu yang saya bisa ikuti sambil momong anak-anak saya.
Kalau tetap kuliah di kedokteran mungkin nggak ada waktu ya?
Susah. Bukan soal nnggak ada waktu, ilmunya kan susah, saya nggak nututi ini, ra pinter ha..ha..ha.. Jadi saya putuskan tetap jadi dokter, tapi dokter di dapur. Maka pada awal tahun 1970-an itu saya mantap untuk menekuni dunia memasak.
Namanya orang sudah menikah ya dan punya anak, jadi terus kepikiran saya harus membantu keluarga bagaimana caranya. Yang penting kita happy, kita melakukannya dengan penuh rasa cinta, semuanya akan berjalan dengan oke, siapa pun itu.
Ketika itu saya menjalaninya dengan bahagia tanpa paksaan. Maka saran saya bagi perempuan lainnya, kalau sudah mulai nggak suka dengan suatu pekerjaan, ngedumel, please deh, cari yang lain saja. Cari bidang yang lain maksudnya.
Bagaimana Ibu menggambarkan perjalanan karier sebagai pakar kuliner Indonesia?
Saya bilang, semua saya jalani dengan penuh semangat, tidak perlu kita ngoyo. Jadi semua lancar saja. Dan saya belajar itu tidak hanya di kuliahan, tidak hanya di luar negeri. Saya belajar juga dari orang jualan. Misalnya ada dia jualan apa, kok enak ya saya lihat bagaimana membuatnya. Itu akan saya tiru dengan cara saya.
Tetapi hasil akhirnya sama, hanya cara membuat yang berbeda, lebih mudah, bahan-bahan yang tadi saya bilang, bahan mudah didapat, mudah membuatnya, dan dengan penampilan yang menggoda selera. Siapa pun yang melihat pasti akan ingin mencoba.
Ibu juga sempat mengikuti sekolah memasak di Amerika Serikat?
Oh iya, saya mendapatkan beasiswa untuk belajar. Awalnya belum ke Amerika, ke Taiwan dulu untuk mempelajari sajian-sajian kuliner dari Taiwan, itu menarik sekali. Dari situ rupanya saya berhasil dan saya dinaikkan lagi untuk bisa mendapatkan beasiswa ke AIB, American Institute of Baking, itu di Manhattan, Kansas.
Artinya selama di Kansas, Amerika, Ibu belajar masak-masakan khas di sana juga?
Iya, tetapi saya tetap belajar dari teman-teman saya. Karena teman saya kan dari seluruh dunia ada di sana. Saya tanya bagaimana membuat ini membuat itu, mereka akan bilang. Di situ saya pelajari. Kemudian dari teman-teman saya di Jepang.
Advertisement
Jadi Pionir Acara Memasak di Televisi
Bagaimana ceritanya sampai Ibu tampil membawakan acara memasak di televisi?
Karena kebetulan kan saya juga mengajar di kampus, dosen di kampus untuk tata boga. Nah, dari situ saya diminta untuk demo memasak. Nah kemudian mulai ada yang meminta untuk siaran TV, saya tidak akan pernah lupa, Indosiar.
Saat memandu acara Aroma, apakah Ibu menyiapkan treatmen khusus tentang bagaimana cara presenting ke pemirsa?
Begini, di dalam kita memberikan presenting sesuatu, kita harus bisa berpikiran bagaimana supaya orang itu mudah melihatnya. Yang penting itu tadi, kita menyiapkan bahan-bahan yang mudah didapat. Jangan kita menyiapkan bahan yang susah didapat, nggak akan ada yang mau nonton.
Kemudian mudah membuatnya dan menarik. Misalnya saya bikin tumis kangkung, beli saja bawang putih, memarkan, tumis, masukkan kangkungnya, kasih kecap, kasih garam. Kalau ada kaldu bubuk kan bisa ditambahkan. Jadi deh sajian yang menggoda selera, seperti itu.
Tidak semua orang sempat dan suka memasak, bagaimana tips dari Ibu agar memasak itu jadi menyenangkan?
Nah, pertama kalau saya boleh bilang, tatalah dapurmu senyaman mungkin. Dapur itu jangan dibuat kaya gudang. Dapur itu ditata yang manis, buku masak ditaruh dijejer, jadi seperti kita berada di sebuah ruangan yang nyaman.
Lemari es itu juga jangan kaya tempat sampah, sayuran dimasukin, ini masukin, daging masukin. Tata yang manis, di mana tempatnya daging wadahnya, di mana plastik ada untuk sayuran. Jadi kita dengan senang hati membuka lemari es, seperti itu.
Untuk menu yang akan disajikan apakah Ibu yang memilih?
Saya mengusulkan beberapa nama, kemudian dari tim redaksi yang menentukan akhirnya. Misalnya saya mau bikin tumis bayam, tumis kangkung, tumis toge, tumis apa lagi? Yang dipilih yang mana? Itu.
Ibu sebagai presenter apakah juga melakukan riset nggak sih, misalnya mencari makanan yang disukai masyarakat?
Oh iya. Saya keliling ke warung-warung, ke mana. Jadi kalau orang waktu itu melihat saya jajan di warung ya bukan karena sesuatu, melihat apa yang orang suka.
Malah lebih lucu lagi, saya jalan-jalan lihat ibu bawa mi instan. Dia bilang, Bu benar nggak sih kalau makan ini mati? Saya bilang, makan ini bukan mati, kenyang. Kalau mati itu dipanggil Allah saya bilang gitu, ketawa dia. Jadi ada yang salah menerjemahkannya.
Kemudian hasil riset itu didiskusikan?
Iya, karena bukan hanya pendapat saya pribadi, saya mengusulkan mana yang dipilih. Alasannya apa disukai? Seperti itu. Supaya kita kan kalau dalam satu tim itu yang tanggung jawab banyak kan? Kan hanya bukan presenter ini saja, timnya kan ikut bertanggung jawab.
Semua menu yang disajikan adalah masakan Nusantara?
Ya ada menu Nusantara, ada juga menu-menu yang kita contoh, mungkin kita kan dulu pernah dijajah Belanda, jadi ada juga menu-menu yang ala Belanda. Bistik itu kan juga bukan Indonesia aslinya, kita akhirnya jadi semur dari bistik.
Bistik itu kan daging terus kasihin bumbu, itu kan bistik ala bule. Kalau Indonesia langsung kasih kecapnya, kasih airnya, kasih saos tomatnya, jadi deh semur. Tapi semur pun enak ya.
Memasak Itu Harus Mudah dan Menyenangkan
Selama satu dekade Ibu memandu acara Aroma, apakah pernah muncul rasa jenuh?
Nggak, karena saya melakukannya dengan penuh rasa cinta. Begitu saya membuat sesuatu, itu adalah untuk kecintaan saya terhadap dunia kuliner. Tidak ada rasa bosan, rasa ini enggak ada. Kan saya tidak dipaksa, saya dengan penuh rasa cinta saya berjalan ke studio, saya siapin semuanya.
Nah, untuk menambah keyakinan saya, kan kru biasanya saya kasih duluan. Cobain ya, enak nggak? Kalau kru enggak pernah ngomong nggak enak, selalu enak, orang lapar he..he..he..
Sekarang program memasak sangat jarang di televisi, kini yang banyak itu mukbang atau jalan-jalan sambil nyicipin makanan, pendapat Ibu?
Nggak apa-apa karena itu menambah pengetahuan kita. Bukan apa-apa, buat saya pengetahuan, oh si Mba itu sudah makanan ini-ini.
Ngomongin masakan Nusantara, apa masakan Indonesia yang paling Ibu suka?
Tumisan, gampang. Masakan Indonesia semua enak. Kita harus melakukannya dengan penuh rasa cinta. Apa pun dia, yang perlu waktu panjang, yang perlu waktu pendek, tetap kita harus memasaknya dengan rasa cinta. Kalau sembarangan ya tumis saja.
Mau tumis bayam. Gampang, bawang putih memarkan, masukin bayamnya, garam, merica, kecap, jadi deh. Bu kepingin apa? Saya kepingin bikin lodeh. Gampang, kaya tumisan ditambahin santan jadi lodeh. Iya kan?
Sebagai pakar kuliner Nusantara, adakah anak-anak yang mengikuti jejak Ibu?
Kalau memasak mereka semua bisa memasak, tapi yang kearah apa namanya, publikasi gitu, belum mau. Tapi yang saya sangat bangga, cucu saya laki-laki, dia sudah pintar masak, dia bisa berbicara dan menerangkan masakan itu.
Dan satu hal, dia bisa menerangkannya juga dalam bahasa Inggris, karena kebetulan dia sekolahnya di sekolah yang berbahasa Inggris. Jadi itu menjadi kebanggaan saya, dia mengerti membuat tumisan, membuat lodeh. It's very easy for him to mix.
Ditambah lagi sekarang memasak itu mudah, semua bahannya sudah tersedia. Di pasar sekarang orang pasar pintar-pintar. Mau bikin apa Mba? Lodeh, ini sini Mba, ini bumbunya ini. Orang pasar semua pintar-pintar, iya kan? Bagaimana mereka menawarkan dagangannya dengan memberikan informasi memasaknya, itu hebat, kemajuan.
Kadang ke pasar beli sop-sopan sudah langsung sepaket, nanti dikasih kentang, kasih wortel, kasih buncis, semuanya. Tinggal kitanya harus dengan rasa cinta membuatnya di rumah untuk keluarga tercinta. Maka akan menjadi sajian yang istimewa.
Advertisement
Masakan Enak atau Tidak Tergantung Selera
Ada yang bilang, enak atau enggaknya makanan itu tergantung selera masing-masing. Ada juga yang mengatakan tergantung cara memasaknya, bagaimana pendapat Ibu?
Ya itu tergantung selera masing-masing. Kalau secara masak benar, tapi kalau dia enggak selera, enggak enak. Masakan si Bapak A ini tuh enak ini. Bapak B masak, kok rasanya begini ya? Bahan sama, tapi apa mengolahnya berbeda, akan membuat rasa itu berbeda?
Kembali lagi, semua tergantung dari selera. Misalnya ada masakan enak, Mba bilang ini enak sekali masakannya, orang lain bilang pada nggak enak.
Jadi setiap orang itu bisa menjadi juru masak dan setiap orang itu pandai memasak karena semua mempunyai tangan. Allah memberikan tangan agar kita bisa memasak dengan enak. Kalau dia bilang nggak enak, tenang saja, yang lain masih bilang enak kok.
Ibu mengatakan paling suka masakan yang tumis-tumisan karena simpel. Tapi, ada nggak sih menu masakan Indonesia yang mengolahnya ribet gitu?
Itu bagaimana hati kita menyikapi, mau dijadiin ribet ya ribet. Kalau misalnya harus marut kelapa dia nggak bisa, nah itu menjadi ribet. Tapi sekarang nggak usah khawatir, semua ada, santan siap pakai pun ada, tinggal nuang.
Yang penting adalah niat kita untuk membuat sajiannya. Saya makanya selalu mengatakan: Bagaimana? Mudah bukan membuatnya? Selamat mencoba. Kalau misalnya saya bilang, hati-hati lho, ini agak sulit lho ya, enggak begitu saya ngomongnya. Jadi, mudah bukan membuatnya? Selamat mencoba!
Jadi memang enggak ada masakan yang punya tingkat kesulitan tinggi ya, Bu?
Nggak ada, itu hatinya saja, semua gampang. Asal mau, asal mau dengan penuh rasa cinta.
Ada nggak makanan yang memang diciptakan khusus oleh Ibu?
Saya sulit mengatakannya ya. Saya bukan menciptakan, tetapi memberikan contoh-contoh untuk membuatnya dengan mudah. Itu bukan menciptakan, menciptakan itu kan dari awal, apa yang ada dikelola menjadi sebuah sajian.
Tidak hanya makanan berat kan?
Iya, kue juga, pastri. Saya dulu pernah studi mengenai kursus pastri juga, seperti itu. Jadi itu semua sambil berjalan. Kalau saya ditanya detail lagi, lupa sudah lama.
Kalau bikin kue tart gitu masih bisa ya, Bu?
Bisa, siapa pun bisa kue tart. Sekarang krimnya pun bisa bikin sendiri kok. Ada gula bubuk, ada krimnya, tinggal blender sudah jadi krim. Sudah poles saja sesukanya. Model awut-awutan juga jadi yang cantik. Ini adalah cake belantara. Kok belantara? Habis kaya berantakan, he..he..he..
Kalau kue khas Indonesia yang paling Ibu sukai apa?
Kue yang paling saya suka kue Indonesia lemper, soalnya bikin kenyang. Ketan, nasi ketan. Isiannya tumisan daging, daging sapi ataupun daging ayam. Ikan pun bisa dibuat isiannya itu dan itu enak. Siapa pun yang makan pasti kenyang.
Lama Jadi Bintang Adegan Panas di Televisi
Kalau kita membicarakan zaman dulu, katanya Ibu pernah mendapat gelar bintang adegan panas, itu kenapa, Bu?
Bagaimana enggak adegan panas, orang tiap hari masaknya depan api yang panas. Itu kompor, di dapur panas kan, biar keren aja, bintang adegan panas.
Jangan salah, adegan panas itu karena masak yang panas-panas, kan ada kompor. Iya kan? Dan berkeringat, dan untuk mengimbangi adanya keringat itu saya taruh kipas angin di bawah. Untuk ngimbangin, kalau nggak saya keringetan.
Sudah berapa banyak Ibu menciptakan buku resep?
Kalau buku resep sudah 153 titel. Membuat buku masak itu bukan sebuah kerja yang dipaksa, tetapi memang menyenangkan. Semua bisa buat resep sendiri, nulis, aku mau bikin tumis apa? Mau bikin tumis misalnya ati ampela, ati ampela direbus dulu, abis itu ditumis, wah enak banget, seperti itu.
Ada keinginan lagi membuat buku resep?
Belum dulu, karena saya nggak tahu ini banyak malesnya sekarang ini. Tapi kalau diam-diam itu sudah ada, langsung saya draft dulu ini, ini, ini nanti akan keluar sendiri, bikin ini bikin itu.
Ada satu konten di media sosial pada 2020 yang membuat warganet bertanya-tanya. Ketika itu ada foto Ibu sedang menggantung panci, itu bagaimana ceritanya?
Ceritanya setelah saya selesai masak, biasanya kalau saya selesai masak itu saya selalu cuci pancinya dan saya gantungkan supaya kering. Nah cucu saya motret dan langsung publish ke temannya sehingga jadi menyebar. Dikira saya gantung panci berhenti masak, padahal tidak.
Tapi dari konten itu ada impact-nya nggak, Bu? Pasti masyarakat pada bertanya-tanya?
Oh banyak banget yang tanya, banyak sekali, banyak banget. Dan saya jadi surprise juga, kok banyak yang tanya, padahal itu kan hal-hal biasa. Kalau habis masak kan ya dicuci lalu digantung kan? Iya itu kebetulan.
Advertisement
Menolak Disebut Chef, Cukup Pesohor
Ibu juga pernah menegaskan tak mau disebut sebagai chef, kenapa?
Karena saya bukan produksi setiap hari. Saya kan hanya temporary saja, kalau perlu baru saya memasak. Seorang chef itu tiap hari bertanggung jawab atas operasional, atas produksi hari ke hari.
Kita makan di mana? Di restoran A misalnya, chef-nya siapa? Dia bertanggung jawab atas pembelian bahan, atas proses memasak, atas produk jadi, atas penyimpanan barang. Jadi dia respons dan bertanggung jawab untuk semuanya. Saya kan asisten saya banyak, jadi pesohor saja.
Apa benar di awal-awal karier Ibu sempat berjualan, menjual apa, Bu?
Oh jualan risoles, yang gampang saja membuatnya. Ya kue-kue, risoles, kemudian pastel, bolu gulung, yang gampang buatnya saja. Sempat berhenti. Kalau sekarang sih masih bisa, pesan risoles saja masih bisa. Ada tim yang membuat, anak saya yang supervisi untuk itu itu semua.
Sekarang kesibukan Ibu apa saja?
Santai-santai. Maklumlah, di usia kan tidak harus banyak bergerak macam-macam.
Tapi masih ke dapur?
Oh iya, itu masih.
Apakah Ibu masih ingat bagaimana membuka acara dan juga menutup acara atau tagline-nya program Aroma?
Yang paling saya inget ya? "Mudah bukan membuatnya? Selamat mencoba. Selamat pagi Sahabat-sahabat tercinta". Kemudian yang terakhir: "Bagaimana membuatnya? Mudah bukan? Selamat mencoba". Atau, "mudah bukan membuatnya? Selamat mencoba, I love you full".
Terakhir, boleh dong Ibu memberi pesan-pesan untuk Sahabat Liputan6.com tentang memasak yang mudah dan menyenangkan?
Pesannya satu, selalu bersihkan dapur. Tatalah dapur dengan nyaman sehingga kamu melangkahnya akan penuh rasa cinta. Mau masak apa saja jadi. Nah, buku masak taruh di dapur kalau perlu. Jadi nanti tinggal buka, catat resepnya, belanja, tinggal masak. Keluarga akan menikmati sajian yang istimewa karena dibuatnya dengan penuh rasa cinta. I love you full.