Sukses

Kisah Merek Cokelat Lokal Kualitas Internasional yang Berdayakan Petani Daerah

Industri cokelat di Tanah Air menunjukkan pertumbuhan yang pesat dalam satu dekade terakhir. Semangat ini terefleksi dari kian banyaknya merek cokelat lokal yang tak hanya memenuhi minat pasar domestik, tetapi juga internasional.

Liputan6.com, Jakarta - Industri cokelat di Tanah Air menunjukkan pertumbuhan yang pesat dalam satu dekade terakhir. Semangat ini terefleksi dari kian banyaknya merek cokelat lokal yang tak hanya memenuhi minat pasar domestik, tetapi juga internasional.

Pipiltin Cocoa jadi satu di antara deretan merek cokelat lokal yang eksistensinya dikenal luas, terutama bagi pecinta cokelat. Co-Founder Pipiltin Cocoa Tissa Aunilla punya alasan tersendiri hingga memutuskan terjun ke industri cokelat lokal pada Maret 2013.

"Semangatnya karena Indonesia penghasil nomor tiga cokelat terbesar di dunia. Cuma, di Indonesia 10 tahun lalu belum ada cokelat premium yang asli Indonesia," kata Tissa saat dihubungi Liputan6.com, Rabu, 12 Juli 2023.

Melihat peluang tersebut, Tissa lantas memulai langkahnya di industri cokelat lokal dengan mengusung konsep sustainability atau keberlanjutan. Upaya ini diwujudkan pihaknya dengan membeli langsung dari petani kakao.

"Jadi, kita memastikan mereka dapat harga yang layak, bisa mempertanggungjawabkan cokelat dari Bali, bukan trader bilang dari Bali, tapi kita kenal dengan petani di Balinya," tambahnya.

Tissa mengungkapkan, "Tujuannya lebih mengangkat kedaerahan dari masing-masing cokelat Indonesia, karena kita negara kepulauan, setiap cokelat berbeda-beda rasanya, dari Aceh sampai ke Papua Barat."

Bentuk keberlanjutan yang diusung Pipiltin Cocoa dalam bisnis cokelat adalah dengan membeli langsung dari petani daerah dengan harga layak sehingga ekonomi petani lokal dapat meningkat. Ia memastikan cokelat yang dibeli kualitas yang terbaik.

"Kakao itu agroforestry, bukan ladang. Jadi sustainability kebun-kebun cokelat itu banyak yang mengelilingi hutan, sehingga keberlangsungan di hutan tetap terjaga," terangnya.

Di sisi lain, merek cokelat lokal ini pun telah meluas ke pasar internasional. Pipiltin Cocoa mulai mengekspor produk cokelat ke berbagai negara sejak 2015.

2 dari 4 halaman

Ragam Varian hingga Cokelat Favorit

Negara tujuan ekspor produk-produk Pipiltin sendiri meliputi Jepang, Singapura, Malaysia, hingga Rusia (sebelum perang). Ada beberapa produk yang ternyata menjadi favorit pasar dunia.

"Produk favoritnya (cokelat) Bali, tapi kadang-kadang (cokelat) Flores," katanya.

Pipiltin Cocoa kini memiliki produk single origin, enam cokelat dari daerah berbeda, seperti Aceh, Bali, Jawa Timur, Flores, Kalimantan Timur, dan Papua Barat. "Jadi, ada enam daerah punya karakteristik rasa yang berbeda," tutur Tissa.

Di luar single origin, Pipiltin Cocoa juga menghadirkan Cokelat Craks, yakni patahan cokelat yang terdiri dari 25 varian warna dan tekstur, cookies hingga hampers dengan total 70 SKU. Kisaran harga produk merek ini mulai dari Rp12,5 ribu untuk cokelat 5 gram hingga hampers Ro950 ribu.

"Orang Indonesia suka cokelat yang manis. Di luar itu, banyak juga orang-orang yang mencari cokelat dengan tujuan fungsional dan kesehatan cari dark chocolate yang produknya 100 persen kakao, sama sekali tidak pakai gula. Itu ada permintaan yang lumayan banyak dan mereka setia sekali," katanya.

Meski begitu, produk yang banyak disukai khalayak luas tetap milk chocolate, yakni dark chocolate sekitar 55--69 persen kandungan kakao. "Sebutnya dark milk chocolate yang masih jadi favorit. Kita harus main tekstur yang orang Indonesia suka," tutupnya.

3 dari 4 halaman

Krakakoa

Kisah lainnya datang dari merek cokelat lokal, Krakakoa. Sebelum berdiri pada 2013, Founder dan CEO Krakakoa Sabrina Moestopo pernah bekerja di bidang consulting yang berfokus kepada segmen sustainable economic development dan agriculture development.

"Waktu itu pertama kali belajar kakao, ada banyak masalah, salah satunya isu produktivitas di Indonesia itu lumayan ada dibanding negara lain. Produktivitas kebun kakao (di Indonesia) itu 300 kg per hektare, kalau dibandingkan Pantai Gading itu bisa 800 kg sampai 1 ton," kata Sabrina saat dihubungi Liputan6.com, Rabu, 12 Juli 2023.

Masalah tersebut berujung pada dampak seperti petani dengan hasil kurang dan banyak dari mereka yang beralih dari menggarap kebun kakao ke tanaman lain. Kendala lain yang Sabrina temukan adalah public sustainabilty, deforestasi untuk menanam kakao.

"Masalahnya di kualitas, meskipun Indonesia produksi biji cokelatnya lumayan, tapi kualitas dibanding Pantai Gading atau Ghana lumayan jauh karena biji yang dihasilkan di Indonesia tidak difermentasi," terangnya.

Di tengah isu tersebut, ia melihat celah bisnis. "Ada kesempatan untuk bukan hanya cari profit, tapi memecahkan masalah di lapangan. Solusinya, integrated value chain. Di bidang kakao value chainnya lumayan segmented dari petani ke konsumen," tambahnya.

Pihaknya mencoba memecahkan masalah yang ada dengan beberapa langkah, yakni melatih petani, membeli biji langsung dari petani, manufacture proses kakao, hingga menjual cokelatnya. "Waktu itu masih belum ada tren bean-to-bar chocolate dan single origin," jelasnya.

4 dari 4 halaman

Wujud Keberlanjutan

Perwujudan keberlanjutan dari merek cokelat ini salah satunya, dikatakan Sabrina, semua kebun petani tidak ada di dalam kawasan Taman Nasional. Pihaknya memastikan kebun tersebut berada di area yang legal.

"Kita juga mendorong petani untuk menanam secara organik, tanpa bahan kimia, harus kompos sendiri supaya nutrisi organik kembali perkebunan juga," ungkap Sabrina.

Ia juga mendorong petani menanam dengan sistem agroforestry, bukan monoculture karena cuma di satu lahan ada satu jenis tanaman. "Agroforestry system itu selain kakao, juga menanam seed trees, timber tree. Jadi, income diversification akan membantu dari sisi enviroment banyak manfaatnya juga," ujarnya.

Krakakoa juga memberdayakan dan membina langsung petani lokal yang ada di Lampung dan Sulawesi. Pihaknya juga bekerja sama dengan koperasi di Bali, Lore Lindu, Aceh, dan Papua.

Produk Krakakoa telah diekspor ke berbagai negara, termasuk Singapura, Jepang, Selandia Baru, Uni Eropa, hingga Hong Kong sejak 2017 lalu. Cokelat Bark menjadi produk yang paling diminati pasar global.

Produk yang telah merambah ke kancah dunia ini mendapat respons positif dari pelanggan. "Apalagi di Eropa dan Singapura, konsumen lebih peduli ethical sourcing," kata Sabrina.

Beragam produk yang dihadirkan ada Chocolate Bark 13 varian, single origin, ada yang berisi flavor, ada juga yang plain tapi kita pakai gula aren, blinkies, minuman cokelat hingga couverture chocolate. "Range harga dari Rp17 ribu dan yang baking choco senilai Rp350 ribu. Pasar dalam negeri banyak menyukai produk blinkies, snacking chocolate," katanya.

Sabrina juga menyebut pihaknya baru membuka kafe di Seminyak, Bali. "Full range of product juga ada di sini," tutupnya.