Sukses

Mengapa Unilever Masih Jual Produk Berkemasan Sachet Meski Sulit Didaur Ulang?

Kemasan sachet dinilai tak hanya sulit didaur ulang, tetapi juga efek terhadap lingkungannya besar. Studi yang dilakukan oleh gabungan LSM lingkungan beberapa waktu lalu menyebut Unilever sebagai penyumbang sampah sachet terbanyak di Sungai Ciliwung.

Liputan6.com, Jakarta - Dari beragam jenis sampah plastik, sachet termasuk di antara sampah yang sulit didaur ulang. Banyak alasan yang melatarinya, salah satunya terkait kandungan bahan kimia ftalat dan EVOH yang beracun, bisa mengganggu sistem hormon, dan pemicu kanker bila dibuang sembarangan di lingkungan.

Co-Founder Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati menjelaskan bahwa kemasan sekali pakai berbahan plastik berpotensi memindahkan senyawa kimia berbahaya, seperti PFAS, ke makanan. Untuk membuat kemasan tahan cuaca juga digunakan senyawa-senyawa berbahaya lainnya, seperti UV-328.

"Penggunaan senyawa-senyawa berbahaya dalam kemasan sachet ini bukan hanya berbahaya terhadap kesehatan konsumen tetapi juga terakumulasi di lingkungan. Kimia-kimia ini juga akan menyebabkan ekonomi sirkular yang toksik," jelas Yuyun, dalam konferensi pers 'Stop Sachet: Bangun Gerakan untuk Mendukung Pembatasan Sachet' pada Minggu, 17 Juli 2022.

Sementara, Manager Program ECOTON Dr. Daru Setyorini saat itu menyebutkan bahwa Unilever sebagai kontributor utama sampah sachet di Sungai Ciliwung. Hal itu berdasarkan hasil brand audit sebagai bagian program Ekspedisi Sungai Nusantara yang digelar pada awal hingga pertengahan 2022.

"Untuk mengetahui produsen mana yang menjadi top polluters sampah sachet di Sungai Ciliwung, kami melakukan brand audit dan hasilnya menunjukkan Unilever sebagai juara pencemar sachet," katanya saat itu.

Meski temuan lapangan menunjukkan efek negatif sachet terhadap lingkungan, Unilever Indonesia tak berhenti menjual beragam produknya dalam kemasan sachet. Mengapa demikian? 

Maya Tamimi, Head of Division Environment & Sustainability Unilever Indonesia menjelaskan bahwa kemasan sachet masih digunakan mereka karena dianggap paling efisien dan mudah dijangkau konsumen karena relatif murah dari sisi harga. Namun, pihaknya menyadari bahwa sachet bisa berefek buruk pada lingkungan bila dibuang konsumen begitu saja, tanpa dipilah apalagi diolah.

"Edukasi sih (jalan keluarnya). Itu masih terus dilakukan. Kita ajak konsumen (berubah), buat kampanye untuk memberi pengertian bahwa beli (dalam ukuran) lebih besar), dalam jangka panjang lebih efisien. Tapi, itu masih journey," ucapnya kepada Liputan6.com, dalam diskusi via Zoom, Selasa, 11 Juli 2023.

 

2 dari 4 halaman

Dari Poster Kampanye hingga Gandeng Bank Sampah

Dalam poster kampanye yang tersebar, Unilever membuat gambaran jumlah sampah sachet yang bisa ditekan dengan beralih membeli produk kemasan isi ulang. Menurut infografis, kemasan botol berukuran 1.000 ml setara dengan 28 bungkus sachet produk. Dengan beralih ke kemasan isi ulang, konsumen bisa menghindari 336 sampah sachet per tahun.

Selain itu, Unilever juga membandingkan uang yang bisa dihemat dari membeli produk berkemasan isi ulang, alih-alih kemasan sachet. Konsumen setidaknya harus mengeluarkan uang Rp8 ribu lebih mahal untuk volume yang sama tetapi dengan membeli kemasan sachet. Bila penggunaan sachet dalam sebulan 20 kali, konsumen setidaknya bisa menghemat Rp96 ribu per tahun bila beralih ke kemasan isi ulang.

Di sisi lain, pihaknya terus memantapkan strategi penjualan produk dengan sistem isi ulang. Mereka sebelumnya sudah meluncurkan penjualan isi ulang secara berkeliling bekerja sama dengan siklus. Unilever juga pernah meluncurkan pojok isi ulang di toko curah. Satu sama lain punya tantangan berbeda.

Namun, Maya menyebut pihaknya tak ingin berhenti mengaplikasikan sistem penjualan isi ulang agar bisa terus menekan jumlah sampah plastik yang dihasilkan. Salah satu strategi terbaru adalah menggandeng bank sampah. Sementara, pilot project dilakukan di 300 titik di Jakarta Raya dan Surabaya.

"Rencananya tahun ini akan tambah lagi sehingga di akhir 2023 sudah ada 500 titik jual secara refill," ujar Maya.

3 dari 4 halaman

Jenis Produk Masih Terbatas

Maya menjelaskan pendekatan ke bank sampah dilakukan karena mereka sudah memiliki basis anggota yang peduli pada kemasa plastik yang dihasilkan. Kesadaran sudah ada sehingga tak terlalu sudah mendorong mereka beralih ke isi ulang, alih-alih sachet.

Saat ini, jenis produk yang dijual masih sebatas home care, seperti deterjen, cairan pembersih lantai, dan sabun cuci piring. Sementara, produk personal care seperti sampo dan sabun mandi masih belum dijual dengan alasan aturannya masih belum terang. "Pada 2022, kami sudah buka di 170 titik, kami berhasil kurangi 1,6 ton penggunaan virgin plastic," kata Maya.

Selanjutnya, Unilever juga akan mencoba mendekati warung-warung dengan menggandeng startup. Itu karena warung biasanya menjual produk dalam kemasan sachet. Ia berharap bisa segera diimplementasikan bila model bisnisnya sudah fix.

Sejauh ini, Unilever Indonesia telah berhasil mengumpulkan dan memproses 62.360 ton sampah plastik sepanjang 2022. Jumlah itu diklaim lebih banyak dari kemasan plastik yang digunakan untuk menjual produk. Pada 2025, Unilever menargetkan bisa mengumpulan 75 ribu ton sampah plastik dalam setahun.

"Kita berusaha kumpulkan semua sampah yang kita jual dan di 2022 kita capai itu. Apakah santai-santai? Ya enggak. Karena belum terlalu merata sehingga kita terus jalankan pengumpulan tersebut," ucapnya.

4 dari 4 halaman

Road Map Sampah Plastik Unilever Indonesia

Maya menyebutkan bahwa Unilever Indonesia sudah menyerahkan peta jalan pengurangan sampah plastik sesuai amanat Peraturan Menteri LHK Nomo75/2019 sejak Februari 2021. Faktanya, kewajiban menyerahkan peta jalan itu belum dilakukan seluruh perusahaan di Indonesia. Dari ratusan atau mungkin ribuan perusahaan di Indonesia, menurut Maya kurang dari 100 perusahaan yang melaksanakan kewajibannya.

"Gap-nya besar sekali. Kami terus kampanyekan ini, sosialisasi, dan fasilitasi sosialisasi ke perusahaan lain. Kami melihat peraturan itu terkesan maish opsional, bukan harus. Padahal, aturannya harus. Itu jadi tantangan... Kami berusaha mengimbau dan mengajak," kata Maya mewakili Unilever yang tergabung dalam asosiasi IPRO dan Praise.

Di sisi lain, pihaknya juga menegaskan bahwa plastik masih jadi material baik dan penting untuk melindungi produk mereka agar konsumen bisa mendapatkan produk sesuai klaim perusahaan. Yang tidak disukai adalah sampah kemasannya mencemari lingkungan. Sejauh ini, pihaknya hanya bisa mengontrol yang bisa dilakukan dengan berkomitmen less plastic, better plastic, dan no plastic.

Less plastic berarti menggunakan kemasan lebih efisien dan tidak menggunakan plastik baru. Better plastic bermakna lebih mudah didaur ulang, dan no plastic bisa menjual produk tanpa kemasan.

"Kita enggak bisa kerja sendiri, harus bekerja sama dengan produsen lain. Kalau Unilever harus ubah kemasan tertentu, yang lain tidak menggunakannya, jadinya cost disadvantage. Ketika sudah didaur ulang tapi konsumen tidak bantu dengan buang sembarangan, ya enggak tercapai tujuan kami," ia menguraikan.