Liputan6.com, Jakarta - Kemampuan mengendalikan stres dapat menentukan kualitas hidup seseorang. Stres yang dirasakan dapat berasal dari tuntutan pekerjaan, banyaknya tanggung jawab yang dijalankan, atau sedang menghadapi suatu masalah.
Saat seseorang mengalami stres dan belum bisa mengelolanya dengan baik maka akan berdampak pada produktivitas, performa kerja, hubungan interpersonal, kualitas tidur, dan bahkan mengganggu pola makan serta kesehatan fisik.
Baca Juga
Kita kerap menemui seseorang sedang mengalami peningkatan atau penurunan nafsu makan yang signifikan dan ini dapat dikarenakan stres. Hal ini dapat mengubah seseorang secara fisiologis atau penampilan yang drastis akibat dari perubahan pola makan yang signifikan yang akhirnya juga dapat memicu stres.
Advertisement
Seseorang dapat merasa tidak percaya diri karena tubuhnya terlihat sangat kurus atau bahkan peningkatan berat badan secara drastis yang juga meningkatkan risiko mengalami obesitas.
“Remedi Indonesia sebagai one-stop-solution dalam layanan well-being mulai dari personal well-being hingga Employee Assistance Program (EAP) memberi perhatian khusus bagi mereka yang mengalami stres, utamanya untuk dapat merasakan performa kerja dan produktivitas yang lebih baik serta tentunya kualitas berkehidupan yang lebih nyaman dan bahagia,” terang Iswan Saputro, Head of EAP Indonesia yang juga salah satu psikolog klinis di Remedi Indonesia.
Perubahan emosi dan perilaku seseorang dapat berubah ketika menghadapi stres. Hal ini disebabkan oleh amigdala yakni sebuah organ di dalam otak besar yang berperan dalam pengelolaan emosi dan stres. Ketika amigdala terganggu, seseorang menjadi reaktif, sulit mengendalikan emosi, dan dapat memicu gangguan psikologis, seperti salah satunya gangguan makan (eating disorder).
Lalu, bagaimana cara kita menyadari diri bahwa perilaku makan kita sedang terganggu? Dilansir dari HelpGuide.org, ada dua kondisi yang perlu kita ketahui yakni makan karena kondisi emosi yang tidak stabil yang biasa disebut dengan emotional eating, dan makan karena tubuh kita merasa lapar.
Ketika mengalami emotional eating, aktivitas makan dapat menjadi alasan untuk kita merasa lebih nyaman, sebagai pelipur lara, atau untuk menghadiahkan diri sendiri (self-reward). Saat ini terjadi, kita cenderung memilih makanan yang tidak sehat seperti makanan cepat saji, makanan manis mengandung tinggi gula, gorengan, dan sebagainya.
Tanda-tanda Emotional Eating
Emotional eating ‘menjebak’ kita dengan makanan-makanan tersebut di atas untuk kita seolah merasa lebih baik. Faktanya, makanan-makanan ini pun tidak mampu memenuhi rasa lapar apalagi memberi gizi cukup bagi tubuh, apalagi bila dikonsumsi berlebihan.
Dengan begitu, emotional eating tentu tidak akan mampu membereskan problema emosi yang sedang dialami seseorang – bahkan dapat menambah isu baru.
Kenali tanda-tanda emotional eating berikut ini:
- Emotional eating datang tiba-tiba, rasanya signifikan dan ingin segera makan. Pada kondisi lapar biasa, hal ini tidak terjadi. Lapar yang normal biasanya dirasakan bertahap.
- Emotional eating seringkali ‘meminta’ kita untuk mengonsumsi makanan yang kita anggap ‘nyaman’ seperti es krim, cheesecake, pizza, keripik, dan sebagainya. Dimana karbohidrat, protein dan serat sehat tidak menjadi pilihan. Pada lapar yang normal, tubuh mudah menerima makanan dengan gizi seimbang.
- Ada rasa ‘ingin makan terus’ pada emotional eating. Anda tidak mudah kenyang dan terpuaskan.
- Muncul rasa ‘bersalah’ setelah mengonsumsi apa yang Anda makan karena sebenarnya Anda memahami bahwa apa yang dikonsumsi tidak sehat untuk tubuh.
Advertisement
Pentingnya Manajemen Stres
Seseorang dengan gangguan makan akan kesulitan mengendalikan nafsu makan, dan menjaga berat badan ideal akan menjadi tugas yang sulit rampung. Ujungnya bisa memberi kritik buruk pada diri sendiri atau body image negatif karena perubahan fisik yang sudah mulai terlihat.
Tidak hanya terlihat lebih gemuk, bisa jadi tubuh memberi tanda lain seperti mulai banyak jerawat, rambut mudah rontok, dan lainnya. Bila ini sudah terjadi, misalnya pada karyawan, akan sangat mungkin berdampak pada kepercayaan diri, produktivitas dan performa kerjanya di kantor,” terang Iswan.
Pernyataan Iswan diperkuat dengan sebuah penelitian yang dipublikasikan Journal of Occupational and Environmental Medicine tahun 2021 yang menemukan bahwa karyawan dengan kondisi obesitas akan memengaruhi produktivitas kerja dan tingkat kehadiran dalam pekerjaan.
Kondisi obesitas yang tidak segera diatasi dapat menimbulkan risiko lain seperti penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes. Oleh karena itu, manajemen stres dan program kesehatan holistik bagi karyawan menjadi penting untuk dimiliki untuk menjaga kualitas hidup lebih selaras, khususnya untuk performa kerja yang jauh lebih baik dengan tubuh yang lebih sehat.
“Remedi Indonesia melalui EAP Indonesia menyediakan layanan konseling bagi karyawan dan dapat memfasilitasi para karyawan yang sedang mengalami stres yang datang dari lingkungan kantor ataupun dari rumah. Dengan bantuan profesional, kami berharap layanan kami dapat membantu masyarakat untuk mengubah mindset yang lebih sehat, mampu memiliki coping mechanism yang lebih baik terhadap stres, dan menjalani pola hidup yang lebih sehat,” tutur Iswan.