Liputan6.com, Jakarta - Pengembangan jamu agar bisa berdaya saing secara global terus disuarakan banyak pihak, termasuk Guru Besar Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung Prof. Dr. Elfahmi, S.Si, M.Si. Saat Orasi Ilmiah Guru Besar berlangsung pada 18 Maret 2023 di Aula Barat ITB, ia mengangkat jamu sebagai topik orasi karena sudah dimanfaatkan di Indonesia secara turun-temurun.
Menurutnya, melalui pendekatan studi etnofarmakognisi, jamu Indonesia mulai berevolusi jadi obat herbal modern. "Bahkan saya berteman dengan dukun, lalu kita teliti dan cari informasinya. Apa yang diklaim dukun terbukti secara ilmiah, bahkan melebihi obat yang pernah diteliti," ungkap Prof. Elfahmi, dilansir dari laman ITB, Kamis, 20 Juli 2023.
Baca Juga
Ia menjelaskan bahwa saat ini, tanaman obat bisa diolah melalui empat pendekatan. Pertama, tanaman obat tetap diolah dan diambil ekstraknya untuk jadi jamu dan obat herbal. Kedua, melalui pendekatan modern. Misalnya, jamu berkembang jadi obat komersial berbasis herbal yang harus terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Advertisement
Obat herbal dikategorikan jadi tiga, yakni jamu terdaftar di BPOM, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka, yaitu obat dengan kualitas paling bagus dan relevan dengan obat modern.
Pendekatan ketiga, tanaman obat dapat dijadikan obat konvensional dari bahan alam yang pengolahannya berasal dari hasil isolasi ekstrak tanaman obat. Pendekatan terakhir, nutrasetikal atau nutrisi yang bisa memperbaiki kondisi kesehatan manusia, biasanya digunakan dalam kosmetik.
4 Tantangan Besar
Di sisi lain, pengembangan obat herbal berbasis bahan pembuat jamu memiliki empat tantangan besar. Pertama, khasiat obat herbal belum terbukti secara ilmiah. Ini bisa diatasi dengan adanya pendekatan metodologis untuk membuktikannya melalui uji pre klinis dan uji klinis.
Kedua, senyawa aktif farmakologi sering tidak diketahui. Tapi seiring pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, senyawa berkhasiat ternyata bisa diisolasi jadi senyawa murni, sebutnya.
Ketiga, standardisasi yang sangat bergantung pada kadar senyawa tanaman. Hal ini guna mencapai keamanan, khasiat, dan mutu tanaman obat. Menjawab tantangan ini, Prof. Elfahmi disebut berhasil membuat senyawa marker yang telah digunakan peneliti dan industri di Indonesia.
Inovasi ini diklaim mampu menyubstitusi produk impor karena sebelumnya peneliti mengimpor senyawa marker. "Tanaman pegagan mempunyai dua senyawa berkhasiat, yakni asiatikosida dan madekasosida. Kita koleksi dari Jatinangor, di beda tempat, ternyata hasilnya menunjukan kadar senyawa yang berbeda hingga 100--1.000 kali," klaimnya.
Advertisement
Pendekatan Bioteknologi
Tantangan terakhir adalah rendahnya kadar senyawa aktif di tanaman. Prof. Elfahmi menjawab tantangan ini dengan pendekatan bioteknologi. Beberapa metode yang telah dilakukannya, yakni Teknologi Kultur Jaringan, Tranformasi Genetik, dan Teknik Rekayasa Genetik.
Metode kultur jaringan pada tanaman dilakukan dengan menduplikasi nutrisi dalam tanah ke media tanam lain. Kultur jaringan dimanfaatkan untuk mendapat bibit tanaman dengan kadar senyawa lebih tinggi. Dalam presentasinya, Prof. Elfahmi mencontohkan pada tanaman meniran, tebu kunci (kandungan utama jamu), dan kumis kucing.
Disebut bahwa kultur jaringan berkembang jadi transformasi genetik dengan menginjeksikan bakteri Agrobacterium rhizogenes ke tanaman. Kemudian, gen dari bakteri mampu menstimulasi terbentuknya akar pada tanaman. Di saat yang sama, tanaman akan memicu respons produksi metabolasi sekunder.
Metode ini telah dilakukannya pada senyawa Artemesinin untuk obat malaria dan didapat kadar 0,29 persen. Teknik rekayasa genetik disebut jadi metode yang efektif untuk meningkatkan kadar senyawa tanaman dalam waktu singkat. Metode ini memungkinkan produksi senyawa metabolit sekunder di tanaman dengan mikroorganisme.
Bisa Jadi Merek Internasional
Dijelaskan bahwa penelitian ini terus dilakukan para peneliti secara global dalam rangka menghasilkan S.cereviceae rekombinan yang mengandung kadar artemisinin dan/atau turunannya. Hasilnya, asam artemisinat diproduksi dalam jumlah besar, yakni 25g/L yang selanjutnya disintesis jadi senyawa artemisinin secara kimia.
Pendekatan bioteknologi, katanya, menjadikan obat tradisional tidak kalah saing dengan obat modern. Di samping itu, upaya memperluas pasar jamu Indonesia juga terus dilakukan. Terbaru, barang dan jasa tradisional Indonesia, seperti jamu, dilaporkan sudah bisa didaftarkan jadi merek internasional.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Andap Budhi Revianto, berkata, "Saya mendapat informasi yang menggembirakan dari Pak Menteri yang saat ini mengikuti sidang WIPO di Jenewa, Swiss, bahwa produk-produk tradisional anak bangsa Indonesia bisa jadi merek internasional," lapor Antara dikutip 13 Juli 2023.
Adanya aksesi Nice Agreement tentang Klasifikasi Internasional atas Barang dan Jasa membuat hal itu jadi mungkin. Dijelaskan bahwa Nice Agreement merupakan perjanjian internasional yang mengatur tentang klasifikasi internasional terhadap barang dan jasa dengan tujuan pendaftaran merek.
Â
Disclaimer: Jamu adalah ramuan tradional berbahan alami yang bisa membantu kesehatan tubuh. Bila ada keluhan kesehatan, sebaiknya dikonsultasikan kepada dokter.
Advertisement