Sukses

Krisis Iklim Tingkatkan Suhu Malam Hari, Kualitas Tidur Makin Menurun

Orang yang tinggal di daerah dengan iklim yang lebih panas cenderung kehilangan lebih banyak waktu tidur untuk setiap peningkatan suhu.

Liputan6.com, Jakarta - Dengan musim panas yang semakin ekstrem dibandingkan masa-masa sebelumnya, kita berhadapan dengan berbagai tantangan baru dan berbahaya. Ketika suhu naik, permintaan akan energi, terutama untuk sistem pendingin dan AC, ikut meningkat.

Gelombang panas juga membawa ancaman lain yang mungkin kurang dikenal namun sama pentingnya, yakni suhu malam hari. Temperatur yang tidak cukup rendah itu berdampak pada kualitas tidur di malam hari.

Dilansir dari CNN Weather, Rabu (2/8/2023) biasanya, suhu malam hari yang lebih rendah memberikan kesempatan bagi tubuh dan lingkungan untuk pulih dari stres termal siang hari. Namun dengan suhu malam yang tetap tinggi, periode pemulihan ini hilang, yang dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan dan lingkungan.

"Sebagian besar orang tidak menyadari bahwa peningkatan suhu malam hari telah melampaui peningkatan suhu siang hari di sebagian besar daerah berpenduduk di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir," kata ilmuwan peneliti postdoktoral Institut Ilmu Data Universitas Columbia, Kelton Minor kepada CNN.

Para ilmuwan telah lama memperingatkan kita tentang dampak perubahan iklim, dan salah satu tanda paling jelas adalah kenaikan suhu malam hari. Secara rata-rata, malam di sebagian besar Amerika Serikat semakin panas dengan kecepatan yang lebih cepat dibandingkan dengan siang hari, seperti yang dinyatakan dalam penilaian iklim nasional 2018.

"Kami berpikir ini terjadi karena seiring hari semakin panas, ada lebih banyak kelembaban di udara yang menahan panas," kata direktur eksekutif Konsorsium Masyarakat Medis tentang Iklim dan Kesehatan, Lisa Patel, kepada CNN. "Selama siang hari, kelembaban itu memantulkan panas, tetapi di malam hari, ia menahan panas."

2 dari 4 halaman

Pemukiman Kota Lebih Terdampak

Kenaikan suhu malam hari lebih sering terjadi di kota-kota, terutama disebabkan oleh fenomena pulau panas urban. Tempat area metropolitan jauh lebih hangat dibandingkan lingkungan sekitarnya. Area dengan banyak aspal, beton, bangunan, dan jalan besar menyerap lebih banyak panas matahari dibandingkan daerah yang memiliki banyak taman, sungai, dan jalan berderet pohon.

Di malam hari, saat suhu seharusnya menurun, panas yang tersimpan tersebut dilepaskan kembali ke atmosfer, menurut Kristie Ebi, seorang ahli iklim dan kesehatan dari University of Washington. Menurutnya, wilayah yang dipenuhi dengan taman dan hutan yang meredam panas matahari serta memberikan keteduhan, lebih dingin saat hari-hari terik di musim panas.

"Banyak kota yang menyiapkan tempat-tempat berpendingin, namun masyarakat perlu mengetahui lokasinya, bagaimana cara mencapainya, dan waktu operasionalnya," ujar Ebi pada CNN.

Ia menekankan bahwa pembuat kebijakan kota perlu merevisi perencanaan perkotaan dengan mempertimbangkan dampak perubahan iklim. "Pohon membutuhkan waktu yang cukup lama untuk tumbuh, tapi kita membutuhkan program penanaman pohon yang difokuskan di area yang sangat berisiko, memastikan bahwa perencanaan kota mempersiapkan diri untuk masa depan yang lebih panas."

Patel menyatakan bahwa malam hari idealnya merupakan waktu bagi tubuh kita untuk beristirahat dari panas. Dengan adanya krisis iklim, hal tersebut semakin sulit terwujud. Kematian akibat panas dapat melonjak hingga enam kali lipat pada akhir abad ini akibat peningkatan suhu malam hari, kecuali kita berhasil mengurangi polusi yang menyebabkan pemanasan global secara signifikan, menurut studi yang diterbitkan di Lancet Planetary Health pada 2022.

3 dari 4 halaman

Memengaruhi Kualitas Tidur

Kelton Minor, salah satu penulis studi, mengatakan bahwa krisis iklim telah mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Studi ini diterbitkan pada Mei 2023 di jurnal One Earth, yang menemukan bahwa orang yang tinggal di daerah dengan iklim yang lebih panas cenderung kehilangan lebih banyak waktu tidur untuk setiap peningkatan suhu. 

Patel menambahkan, "Kita semua pernah merasakan betapa sulitnya mencoba tidur di malam hari yang panas. Itu sungguh tidak menyenangkan. Kita seringkali kurang tidur. Diperkirakan pada akhir abad ini, kita mungkin kehilangan hingga dua hari tidur per tahun, dan kondisinya bisa lebih buruk bagi orang yang tidak memiliki AC."

Patel juga menjelaskan bahwa pada kasus yang paling ekstrem, ketika tubuh tidak mendapatkan waktu untuk pulih yang biasanya didapat pada malam hari, tekanan panas bisa berubah menjadi heatstroke, yang ditandai dengan kebingungan, pusing, dan pingsan.

Minor dalam studinya mengestimasi bahwa orang-orang di seluruh dunia telah kehilangan rata-rata sekitar 44 jam tidur setiap tahun hanya karena suhu malam yang hangat selama paruh pertama abad ke-21. Dia mengistilahkan ini sebagai "penyusutan tidur," dengan memprediksi bahwa setiap individu bisa kehilangan hingga 58 jam tidur pada akhir abad ini.

"Partisipan dalam penelitian kami tampaknya tidak mengkompensasi kurang tidur pada malam yang panas dengan tidur siang atau tidur lebih lama di hari atau minggu berikutnya," ungkap Minor. "Sebaliknya, mereka kehilangan lebih banyak waktu tidur selama periode ini akibat efek suhu yang tertunda, mungkin disebabkan oleh panas yang terjebak di dalam ruangan."

4 dari 4 halaman

Bumi Semakin Panas

Bumi mengalami hari terpanas yang pernah tercatat secara global pada Senin, 3 Juli 2023, menurut data Pusat Prediksi Lingkungan Nasional AS. Suhu rata-rata global di hari itu mencapai 17,01 derajat Celcius.

Dikutip dari The Guardian pada Kamis, 6 Juli 2023, suhu Bumi ini melampaui rekor pada Agustus 2016, yakni 16,92 derajat Celcius ketika gelombang panas melanda seluruh dunia. Amerika Serikat bagian selatan telah didera suhu panas hebat dalam beberapa pekan terakhir di tengah cuaca ekstrem.

Menurut para ahli, fenomena ini kemungkinan dipicu krisis iklim yang disebabkan manusia. Di beberapa bagian di China, gelombang panas terus berlanjut, dengan suhu di atas 35 derajat Celcius.

Para ilmuwan menyesalkan krisis iklim, yang dipercepat oleh pola cuaca El Niño, yang sudah dimulai menurut peringatan terkini Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB. El Niño besar terakhir terjadi pada 2016, yang merupakan tahun terpanas dalam sejarah sampai sekarang.

"Rata-rata suhu udara permukaan global yang mencapai 17 derajat Celcius untuk pertama kalinya sejak kami memiliki catatan yang dapat diandalkan adalah tonggak simbolis yang signifikan dalam pemanasan dunia kita," kata peneliti iklim Leon Simons.

Rekor suhu Senin, 3 Juli 2023, datang setelah bulan sebelumnya disebut mencatat susu terpanas dalam rekor global. Suhu rata-rata di seluruh planet adalah 1,46 derajat Celcius, di atas rata-rata pada periode antara 1850 dan 1900.