Liputan6.com, Jakarta - Seperti yang lain, desain furnitur juga peka terhadap tren. Mengingat hitung mundur tahun 2023 tersisa hanya sekitar empat sampai lima bulan ke depan, apa saja yang ada di "lemari" untuk tren desain furnitur 2024?
Menurut desainer produk, Eugenio Hendro, tren desain furnitur tahun depan diprediksi masih akan terbagi jadi tiga. Pertama, sesuatu yang unik, tapi nyaman, serta berlandaskan pada bentuk-bentuk tidak standar dan membulat, seperti gaya neotenic.
"Kedua, sesuatu yang lebih dilihat dari material dan proses produksi. Responsible design yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan dan sosial, selain kenyamanan pengguna," imbuhnya melalui pesan pada Liputan6.com, Sabtu, 5 Agustus 2023. "Ketiga, furnitur yang dibuat dengan sentuhan tangan alias artisan product."
Advertisement
Sementara itu, Alvin Tjitrowirjo, desainer produk, sekaligus co-founder alvinT, merek furnitur yang berbasis di Jakarta, menyebut bahwa tren desain furnitur bukan lagi mengacu pada gaya, bentuk, atau desain secara estetis. "Lebih pada kualitas, nilai, dan sensibility," ujar dia melalui pesan suara, Sabtu, 5 Agustus 2023.
Ia menyambung, salah satu tren yang juga sangat hangat sekarang adalah mengenai desain ramah lingkungan. Alvin berbagi, "Sustainability sebagai konsep masih agak salah kaprah atau (acap kali) abstrak, karena tolak ukurnya masih belum terdefinisikan secara jelas."
"Namun, di dalam industri furnitur, hal-hal ini sudah mulai direspons melalui desain, manufaktur, rantai pasokan, pengemasan, tampilan, komunikasi, dan sebagainya," sambungnya. "Negara-negara maju sudah berlomba menciptakan nilai tambah ke dalam furnitur, tapi dengan lebih sadar terhadap dampak lingkungan, jejak emisi karbon dalam proses produksi, dan lebih transparan di dalam rantai pasok."
"Jadi, material itu (akan diinformasikan) datang dari mana, bagaimana prosesnya, serta (apa) dampak sosial dan lingkungannya, supaya pelanggan bisa punya better judgement terkait produk mana yang akan mereka pilih."
Mengerucut pada Local Wisdom
Tren berikutnya, sambung Alvin, setelah pandemi, banyak orang mempertanyakan globalisasi. Ia berkata, "Terbukti bahwa globalisasi menggunakan begitu banyak energi. Di saat bersamaan, mengglobalisasi banyak identitas (membuat) desain makin generik, semua style diserap di semua tempat."
Karena itu, keragaman desain, konsep, story telling, bahkan budaya, semuanya dianggap "hilang." "Jadi, ada tren post-globalization (yang mengarahkan segala sesuatu) jadi lokal, karena terbukti semua itu tidak bisa diglobalisasi dan ada banyak dampak negatif dari globalisasi."
"Jadi, desain-desain itu kembali mencoba menggali akar, mencari tahu segala sesuatu datangnya dari mana, dan berusaha mengoptimalisasi yang sudah ada di sekitar kita. Dengan cara seperti itu, desain bisa kembali jadi lebih beragam, unik, lebih autentik juga, dan localize."
Salah satu faktor yang memengaruhi arah tren desain furnitur, sebut Alvin, adalah perubahan iklim. "Itu jadi main driver, bukan hanya di desain, tapi pada dasarnya ekonomi," sebut dia.
"Adanya peraturan yang mulai diterapkan di industri besar, seperti otomotif, serta built environment di Eropa dan Amerika, ini akan memengaruhi bagaimana produk-produk, termasuk furnitur, ke depannya akan didesain," ia menambahkan. "Jadi, saat emisi karbon akan mulai dihitung, desain perlu mengakomodasi indikasi dan keterbatasan dari aturan tersebut, supaya bukan hanya kompetitif secara ekonomi, namun juga banyak nilai tambah yang bisa diciptakan."
Advertisement
Mengarah pada Prinsip Lebih Ramah Lingkungan
Faktor lain, sambung Alvin, yakni perubahan kebiasaan pelanggan. "10--15 tahun lalu, tidak ada orang yang peduli pada sesuatu yang lebih ramah lingkungan, atau misalnya lebih tahan lama, semua mengarah ke produksi massal yang kemudian menciptakan disposable culture."
"Dengan berkembangnya generasi lebih muda yang jadi mayoritas middle market, mereka punya sensibility yang berbeda. Mereka lebih peduli pada lingkungan. Mereka juga menuntut supply chain yang lebih transparan."
"Banyak generasi muda Indonesia yang juga lebih percaya pada produk lokal, lebih percaya juga pada local talent, itu akan mengubah bagaimana konsumen akan memilih produk," sebutnya. "Ini (membuat) kepekaan lebih besar terhadap penggunaan material alami."
"Jadi, desain furnitur di dunia lebih mengarah pada material alami atau material yang notabene agak lebih ada effort terhadap pengurangan pemakaian energi. Ada yang semi daur ulang, terdapat pula yang dibuat dari plant-based synthetic material," paparnya.
Eugenio sepakat dengan narasi itu. "Perubahan pola pikir akibat total shut down di masa pandemi membuat konsumen mencari sesuatu yang lebih bertanggung jawab pada alam dan manusia itu sendiri, tanpa mengorbankan sisi komersil."
Dari itu, lahirlah material-material alternatif, seperti "papan dari gabah padi, material kulit dari bakteri, ampas kopi, dan lain-lain," sebutnya. "Semua itu buatan lokal juga," ia menambahkan.
"Selanjutnya, media sosial, seperti Tiktok, juga sangat memengaruhi selera pasar. Orang-orang lebih mau menampilkan 'warna' dan identitasnya yang bermacam-macam untuk diaplikasikan ke furnitur. DIY movement, IKEA hacks, sampai local artisan pride, semua itu memunculkan furnitur yang unik-unik," sebut dia.
Berharganya Produk Buatan Tangan
Eugenio bercerita, "Dari 15 tahun belakangan, traditional craftmanship semakin hilang, dan bukan hanya di Indonesia, tapi seluruh dunia. Akibatnya, produk pun jadi tanpa 'jiwa.' Saya rasa, sesuatu yang dibuat dengan tangan akan jadi sesuatu yang mahal dan bernilai tinggi ketika lautan produk sudah didominasi produk massal buatan mesin."
"Kayu pun bukan satu-satunya material yang akan dipakai. Sekarang ini, the next big thing adalah bambu, material yang lebih cepat tumbuh, kuat, dan tahan lama," sambungnya.
Jadi, apakah ada satu tren desain furnitur yang terus muncul hingga bisa dikatakan timeless? "Yang namanya tren sudah pasti sifatnya sementara," kata Eugenio. "Sesuatu yang long lasting biasanya karena masih dibutuhkan penggunanya."
"Furnitur yang nyaman dan mudah dibersihkan selalu jadi kebutuhan dari waktu ke waktu. Bedanya, sekarang ada pilihan material yang banyak sebagai opsi dalam membuat furnitur. Dulu hanya plastik, sekarang plastik bisa digantikan dengan sesuatu yang lebih ramah lingkungan."
Menurut Alvin, suatu barang bisa dikatakan timeless karena semangat maupun konsepnya. "Jadi, bukan masalah bentuk, tapi lebih pada bagaimana desain itu dibentuk," ucapnya. "Itu juga sebenarnya membuat sesuatu yang timeless tidak bisa ditentukan secara estetis, tapi begitu desain dibuat, (itu) memiliki semangat dan attitude yang sangat kena dengan era saat itu."
"Layaknya sejarah yang mungkin berulang, di era-era tertentu, desain itu kembali relevan. Syaratnya, item itu harus long lasting, dibuat dengan kualitas setinggi mungkin. Karena barang sekali pakai tidak mungkin jadi timeless."
Advertisement
Adopsi Tren oleh Desainer Furnitur
Desainer furnitur, kata Alvin, harus benar-benar tahu siapa pelanggannya dan masalah apa yang mau ditangai. "Misalnya, rumah tinggal jadi lebih kecil, jadi furnitur harus lebih compact in term of size. Untuk bisa menentukan apakah desain itu baik atau tidak, desainer furnitur harus mengerti penggunanya siapa," katanya.
Kembali ke post-globalization, sambung Alvin, mereka harus mengerti dan menggali kekayaan budaya sendiri. "Kebanyakan orang Indonesia suka tidak mengerti budaya sendiri, dan mereka mati-matian mengimitasi budaya orang lain, padahal ada banyak banget local wisdom yang bisa dipelajari dari budaya kita sendiri, dan itu berpotensi menghasilkan nilai tambah yang tinggi."
Di saat bersamaan, praktik itu membuat desain jadi lebih autentik dan tidak pasaran, karena "tidak nyontek desain orang lain."
Menyambung itu, Eugenio berkata, "Desainer furnitur harus punya wawasan yang luas, dan bukan hanya dari dunia desain saja. Semakin kompleksnya kebutuhan pasar saat ini, dan semakin mudahnya 'terinspirasi' dari aplikasi-aplikasi digital, (itu) bisa mengakibatkan desainer tidak kreatif dan hanya mengikuti tren, sama halnya dengan fesyen."
"Strong character itu sangat penting. Know who you are, apa misinya dalam menghasilkan desain, dan perubahan apa yang dihasilkan itulah yang akan menjadikan suatu karya desain orisinal."
Padu-padan Furnitur Lama dan Baru
Terkait padu-padan furnitur lama dan baru, Eugenio menyarankan, "Buat saya, mengikuti template itu sangat membosankan dan tidak berkarakter. Jadi, lakukan senyaman kita, atur letak furnitur sesuai kebutuhan dan keluarkan ekspresi kita dalam mendesain ruang tinggal kita."
"Tapi harus diingat juga (bahwa) ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, seperti tinggi meja yang nyaman, ukuran kursi yang pas dengan ergonomi tubuh kita, dan lain sebagainya."
"Untuk perpaduan barang lama dan baru, kita bisa melakukan teknik memadupadankan barang baru dengan sesuatu yang punya nilai sentimental atau memori pada perjalanan hidup kita. Intinya, kita mengisi ruangan kita dengan furnitur dan aksesori yang personal," tandasnya.
Selaras dengan itu, Alvin menyebut, "Memilih furnitur benar-benar seperti memilih baju sendiri. Kita harus mengerti, pertama, gaya hidup kita itu seperti apa. Kita harus mempelajari juga kebiasaan kita di rumah maupun ruang kerja."
"Maka itu, kita harus memilih furnitur sesuai kebutuhan, dan yang tidak kalah penting, sebenarnya funitur, interior, atau produk gaya hidup lain merupakan embodiment kepribadian kita sendiri," katanya. "Jadi, apa yang kita pilih, mestinya bisa membantu mengeskpresikan filosofi atau karakter hidup kita."
Ia juga menyebut, furnitur tidak harus selalu dipilih dalam set, yang justru membuat barang jadi terasa "tidak punya jiwa." "Padu-padan bisa bangun personality kita. Bagaimana masuk ke dalam ruangan, itu terasa seperti ruangan kita, bukan orang lain," tutupnya.
Advertisement