Liputan6.com, Jakarta - Boneka Barbie selama bertahun-tahun telah diterima oleh masyarakat sebagai representasi ideal kecantikan wanita. Kesuksesan film Barbie yang dirilis beberapa waktu lalu semakin mengukuhkan pandangan tersebut. Di tengah gelombang fenomena Barbie, muncul tren kecantikan baru yang disebut "Barbie Botox".
Prosedur ini difokuskan pada area leher dan bahu, dengan tujuan untuk mendapatkan leher yang lebih ramping dan bahu yang lebih kencang, sejalan dengan penampilan leher dan bahu Barbie yang sempurna. Prosesnya melibatkan penyuntikan bahan kimia tertentu ke dalam kulit, yang seiring waktu akan bekerja mengencangkan dan membentuk ulang area tersebut.
Isabelle Lux menjadi salah satu dari banyak wanita yang terpikat oleh tren ini. Meskipun banyak kritik dan peringatan mengenai potensi risiko dari prosedur tersebut, Lux tetap yakin bahwa dengan Barbie Botox, ia akan mendekati bentuk kecantikan ideal yang selama ini ia idamkan.
Advertisement
Melansir CNN Style pada Jumat (18/8/2023), seorang kreator konten berusia 32 tahun asal Palm Beach, Florida, ini bercerita bahwa dirinya sempat merasa cemas saat menunggu disuntik Barbie Botox, yaitu suntikan 40 unit neurotoksin ke masing-masing otot trapezius di lehernya.
Dia berkeinginan untuk memperkecil ukuran bahunya menjelang pernikahannya dan juga ingin mengatasi sakit di bagian atas punggungnya. "Saya terus berpikir, jika ini sukses, saya akan sangat senang membaginya secara online. Namun, jika ini gagal, saya perlu memberi tahu orang lain agar berhati-hati. Jadi, saya merasa harus membagikan pengalaman saya, apapun hasilnya," ujarnya.
Risiko Lumpuh Otot
Awalnya, prosedur ini ditujukan untuk mengobati otot trapezius yang tegang, yang bisa menyebabkan migrain dan nyeri leher. Namun kini, prosedur tersebut juga digunakan sebagai solusi kosmetik untuk mengubah bentuk bahu dan memperpanjang leher. Hal ini semakin populer di media sosial.
"Ketika Botox disuntikkan ke otot, itu menghambat sinyal ke saraf," kata Dr. Parisha Acharya, seorang dokter spesialis kosmetik dari klinik estetika London Waterhouse Young, kepada CNN. "Hal ini menyebabkan otot menjadi lemah dan pada akhirnya menyusut."
Tagar Barbie Botox kini telah mencatat lebih dari 7 juta tayangan di TikTok. Dalam platform tersebut, MediSpas dan berbagai klinik menampilkan proses penyuntikan pada klien mereka. Di sisi lain, sebuah video yang dibuat oleh Lux tentang pengalamannya dengan perawatan tersebut telah ditonton lebih dari 250 ribu kali. Lux mengklaim sebagai pencipta ungkapan Barbie Botox.
"Konsepnya adalah setelah prosedur, Anda akan memiliki penampilan yang mirip dengan boneka Barbie, yang menurut saya adalah hal positif," ungkapnya kepada CNN dalam sebuah wawancara. "Prosedur ini memperpanjang leher, mengecilkan bahu, dan memberikan bentuk tubuh yang lebih ramping jika dilakukan dengan tepat."
Namun, Dr. Acharya mengatakan bahwa jika Botoks diberikan dengan cara atau dosis yang salah, hal tersebut dapat menyebabkan pelumpuhan total pada otot. "Khususnya di area leher, efeknya bisa sangat besar karena dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menggerakkan kepala dengan tepat," tambahnya.
Advertisement
Setelah Penyuntikan
Lux, yang mendapatkan perawatan seharga 1.200 dolar atau setara dengan Rp18 juta dari aplikasi pemesanan layanan estetika, dianjurkan untuk menghindari membawa tas berat, olahraga intens, dan pijatan selama minimal 72 jam setelah penyuntikan. "Saya benar-benar cemas," ujarnya.
"Setelah botoks disuntikkan, tak ada cara untuk mengembalikannya ke kondisi semula. Selama minggu pertama, saya merasakan sakit, ketegangan, dan kaku di area leher, bahu, dan punggung saya. Saya sangat khawatir."
Dua bulan setelahnya, Lux mengaku merasa jauh lebih baik dan bahkan sudah berencana untuk mendapatkan suntikan tambahan di musim dingin nanti. Walaupun demikian, dia menekankan bahwa ini bukanlah perawatan yang bisa diambil dengan sembarangan.
"Menurut saya, Anda seharusnya mendatangi dokter bedah atau dokter spesialis. Jika Anda tidak mendapatkannya dari sumber yang terpercaya, sebenarnya saya akan menyarankan untuk tidak melakukannya sama sekali."
Pandangan yang sama juga diungkapkan oleh Dr. Acharya, yang menyatakan kekhawatirannya tentang popularitas Barbie Botox di media sosial, khususnya karena menargetkan generasi yang lebih muda.
"Menurut saya, setiap tindakan medis harus diperlakukan dengan serius. Di Inggris, industri kecantikan tidak memiliki regulasi yang ketat. Fakta bahwa hampir siapa saja bisa menyuntikkan toksin botulinum, baik itu ahli kecantikan atau bahkan penata rambut yang tidak memiliki latar belakang medis, sungguh mengkhawatirkan," kata dia.
Bijaksana dalam Menanggapi Tren Kecantikan
Proyeksi menunjukkan bahwa pasar untuk suntikan wajah akan bertumbuh lebih dari dua kali lipat dalam sepuluh tahun mendatang, dengan estimasi nilai mencapai 36,8 miliar dolar atau Rp563 juta miliar pada tahun 2032. Data dari The International Society of Aesthetic Plastic Surgery pada 2021 menunjukkan kenaikan 54,4 persen dalam prosedur minim invasif seperti botoks dan filler sejak 2017.
Lux berargumen bahwa keinginan kosmetik untuk memiliki penampilan seperti boneka atau tampak kurus tidak seharusnya dihujat. Di media sosial, dia dituduh sebagai orang yang anti-feminis, tidak bertanggung jawab, bahkan sebagai korban budaya patriarki oleh beberapa warganet.
"Sejak dulu, keinginan untuk tampil dengan cara tertentu sering dianggap sia-sia, boros, dan tidak penting, terutama untuk wanita," ujarnya dalam wawancara dengan CNN. "Namun, ketika pria ingin tampil dengan cara tertentu, seringkali dianggap sebagai tindakan yang beralasan dan berkelas. Kita perlu berhenti mendiskriminasi wanita atas pilihan-pilihan mereka, termasuk bagaimana mereka ingin tampil. Ini bukan hal yang remeh. Ini adalah realitas yang mereka hadapi," ungkapnya.
Dr. Acharya melihat ironi dalam tren Barbie Botox terkait dengan perilisan film "Barbie" baru. Film tersebut, yang didistribusikan oleh Warner Bros. Pictures memiliki nuansa pro-feminisme yang berfokus pada pemberdayaan wanita daripada seksualisasi tubuh mereka.
"Saya kurang setuju dengan penggunaan nama 'Barbie' dalam tren ini yang mengimplikasikan bahwa wanita harus memiliki leher yang ramping," kata Dr. Acharya. "Kita harus menerima dan mencintai diri kita apa adanya."
Advertisement