Liputan6.com, Jakarta - Kompleksitas jamu sebagai media penyembuhan yang memadukan berbagai jenis tanaman obat, doa, dan mantra memungkinkan berkembangnya aspek mitos dan takhayul. Sementara pengemasan jamu telah diinovasikan sebegitu modern, praktik tradisionalnya tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Dalam ulasan "Praktik Tradisional Jamu" oleh Indonesia Gastronomy Network, dilansir dari Google Arts and Culture, Minggu (27/8/2023), dijelaskan, Serat Kawruh bab Jampi-Jampi Jawi 1831 menyebutkan bahwa ilmu jamu masuk dalam kategori primbon.
Baca Juga
Misalnya, terdapat mitos seputar jamu yang mengatakan bahwa angka ganjil memiliki kemampuan magis dalam mencegah terjadinya hal buruk sehingga jamu memiliki daya penyembuhan yang lebih kuat (Sangat, 2000).
Advertisement
"Primbon juga mencantumkan 'perhitungan hari baik' untuk kegiatan, seperti hari pernikahan, jalan-jalan, membangun rumah, bahkan meminum jamu," catatnya. "Contohnya, bagi pengikut weton, Senin pon disebut sebagai waktu yang lebih baik dalam meminum jamu, dengan posisi badan menghadap ke selatan antara pukul 3--5 sore."
Bagi masyarakat Jawa, kehadiran mitos sebagai praktik sosio-religius terkadang diperlukan untuk merangkai pandangan hidup yang serasi dan seimbang dalam konsep mikrokosmos dan makrokosmos. Dalam proses penyebaran Islam ke seluruh Pulau Jawa, misalnya, Sultan Agung memadukan tahun Saka, sistem penanggalan Hindu yang menggunakan dasar perputaran matahari dengan sistem penanggalan Hijriah dan penanggalan Julian.
Hasilnya adalah apa yang disebut Sistem Kalender Jawa. Sistem Kalender buatan Sultan Agung ini menggunakan dua siklus, yaitu siklus mingguan yang terdiri dari hari Minggu hingga Sabtu dan Pancawara, yaitu siklus minggu yang terdiri dari lima hari pasar, yaitu pon, upah, kliwon, legi, dan pahing.
Jadikan Jamu Sebagai Minuman Gaya Hidup
Di sisi lain, dalam ulasan yang ditulis Indonesia Gastronomi Network bekerja sama dengan ACARAKI, dilansir dari Google Arts & Culture, 11 Agustus 2023, jamu disebut berpotensi beradaptasi dengan seni kopi karena memiliki banyak kesamaan.
"Keduanya sama-sama (berbahan) tumbuhan, memiliki rasa pahit, direbus, punya khasiat, dan dinikmati konsumen. Mengapa kopi bisa jadi budaya pop? Bagaimana kopi berumur seratus tahun bisa dikatakan 'modern?'" catatnya.
Di dunia kopi, mereka menyambung, terdapat tiga pergerakan yang sering disebut dengan istilah "gelombang". "Setiap gelombang menandai terjadinya perubahan perilaku konsumen dalam industri kopi," tulis mereka. "Awalnya, kopi dikonsumsi karena khasiatnya sebagai penghilang rasa kantuk."
"Metode penyajian yang jamak dipakai adalah merebus atau menggodok kopi dalam air. Pada awal 1900-an, industri modern menghasilkan berbagai inovasi produk yang praktis. Pada masa itu, lahir pula inovasi untuk pecinta kopi: kopi instan. Lahirnya kopi instan menandai terjadinya gelombang pertama di dunia kopi."
Advertisement
Berganti Citra
Gelombang kedua di dunia kopi terjadi saat kafe khusus untuk menikmati kopi mulai bermunculan. Kemunculan kedai kopi disebut "menggeser peran kopi yang awalnya hanya sebagai minuman penghilang rasa kantuk jadi minuman bagian dari gaya hidup."
Kemudian, gelombang ketiga ditandai dengan mulai tertariknya para peminum kopi terhadap kopi itu sendiri. Ini mencakup asal muasal bijinya, prosesnya, sampai penyajian kopi.
"Integritas bahan jadi fokus pada gelombang ketiga," catat ulasan itu. "Pada gelombang ini terjadi peningkatan kepedulian terhadap proses dari hulu ke hilir, seperti sumber bahan, proses penanaman bahan, proses pascapanen, proses pengolahan, dan proses penyeduhan."
Tahapan ini disebutkan sebenarnya juga terjadi pada jamu. Ramuan minuman tradisional ini dikonsumsi karena memiliki khasiat untuk kesehatan dan diekstraksi dengan cara direbus maupun digodok. Gelombang pertama industri jamu terjadi sekitar 1980-an, ditandai dengan kemunculan berbagai perusahaan jamu yang memproses jamu jadi bubuk instan dan dikemas dalam saset untuk memudahkan konsumen menyeduhnya di rumah.
Bermunculannya Kafe Jamu
Sayang, gelombang selanjutnya masih belum terjadi, di mana jamu dikonsumsi sebagai bagian dari gaya hidup. Tapi, bukan berarti sama sekali tidak diupayakan. Terbukti dengan mulai bermunculannya kafe jamu.
Konsep kafe jamu juga sudah masuk kampus, mulai dari Universitas Jember sampai Universitas Gadjah Mada (UGM). Dikutip dari Surabaya Liputan6.com, 25 Juni 2023, Fakultas Farmasi Universitas Jember punya kafe yang menyajikan jamu kekinian untuk kaum milenial. Namanya Kafe Suwe Ora Djamu yang berlokasi di kantin Fakultas Farmasi.
Menu yang tersedia di kafe jamu ini, termasuk Red Velto yang berbasis wedang uwuh, blue tea minuman dari bunga telang, dan taroku yang menggunakan bunga rosella. Pengunjung juga dapat memilih cocktail jamu yang bisa dikombinasikan dengan susu, jeruk nipis, bahkan soda.
Melansir laman Fakultas Farmasi UGM, 10 Mei 2023, Kafe Jamu Acaraki Gama juga sudah secara resmi dibuka pada 7 Maret 2023. Dekan Fakultas Farmasi UGM Satibi menjelaskan kehadiran Kafe Jamu Acaraki Gama adalah salah satu wujud kerja sama Fakultas Farmasi UGM dengan PT. Acaraki Nusantara Persada dan BPOM RI.
Â
Disclaimer: Jamu adalah ramuan tradional berbahan alami yang bisa membantu kesehatan tubuh. Bila ada keluhan kesehatan, sebaiknya dikonsultasikan kepada dokter.
Advertisement