Liputan6.com, Jakarta - Seperti minuman warisan pada umumnya, jamu juga punya catatan cara pembuatan secara tradisional. Lebih dari sekadar itu, praktik pembuatan jamu tradisional bahkan disebut sebagai salah satu seni penyembuhan.
Melansir ulasan oleh Indonesia Gastronomy Network, yang bekerja sama dengan ACARAKI, dikutip dari Google Arts and Culture, Selasa, 29 Agustus 2023, catatannya temuat dalam Serat Centhini. Itu adalah kumpulan cerita dan ajaran Jawa sebanyak dua belas jilid, ditulis dalam bentuk syair dan diterbitkan pada 1814.
Baca Juga
Buku ini jadi rujukan utama berbagai aspek filsafat dalam kebudayaan Jawa. Ulasan jamu dalam Serat Centhini Jilid III kaca 321-330 memuat sekitar 45 jenis tanaman obat untuk meramu 85 jenis jamu untuk mengobati sekitar 30 jenis penyakit (Sukenti, 2002).
Advertisement
Di sana, terdapat 922 resep untuk meramu jamu dan 244 resep berupa jimat, gambar, doa, dan mantra sebagai tambahan kekuatan penyembuhan (Sutarjadi, dkk., 2012). Adapun dalam Serat Kawruh bab Jampi-Jampi Jawi yang ditulis pada masa Sunan Paku Buwono V tahun 1833, terdapat sekitar 1.166 resep jamu.
Banyaknya resep pengobatan tersebut menjelaskan bahwa saat itu, masyarakat Jawa sudah mempunyai ilmu "linuwih" atau ahli dalam seni penyembuhan. Sebelum dihaluskan, beberapa bahan ramuan jamu perlu melalui proses pengurangan kadar air yang disebut dengan pemanggangan, yaitu teknik menggoreng tanpa minyak, mirip dengan sangrai.
Pemanggangan juga dilakukan untuk memperpanjang umur simpan herba yang dihaluskan sehingga dapat diseduh kapan saja (Garjito, 2019). Alat panggangnya biasanya terbuat dari tanah liat, menggunakan kayu bakar atau arang. Kemampuan masyarakat Jawa memahami berbagai jenis penyakit juga luar biasa.
Dikelompokkan Berdasarkan Keluhan Individu
Masyarakat Jawa mengelompokkan penyakit berdasarkan keluhan individu dengan memberi nama berbeda-beda, seperti busung, ising-isingen, kemaden, kembung, kolera(h), krumanen, mejen, sudhuken, padharan, toyan, wawratan (diare), dan gencok untuk mengetahui bahan pasti apa yang dibutuhkan untuk penyembuhan.
Begitu pula dengan pusing. Dalam Serat Jampi Jawi, salah satu koleksi Museum Dewantara Kirti Griya Taman Siswa, masyarakat Jawa mengkategorikannya berdasarkan penyebab dan gejalanya seperti:
- Sakit ngelu limrah (pusing biasa)
- Sakit ngelu asal saking angin (pusing karena tidak enak badan)
- Sakit ngelu asal saking encok/selakarang (pusing karena pegal)
- Sakit ngelu mawi benter (pusing disertai demam)
- Sakit ngelu asal saking encok/selakarang sarta asringasring kimat, asring glegeken tuwin antop (pusing akibat rematik berulang atau tersedak berlebihan)
- Sakit ngelu kemanden/sekalor ingkang ngantos sanget (pusing akibat sakit perut atau kejang hebat)
- Sakit ngelu ingkang kraos minger panonipun (pusing disertai mata kabur)
- Sakit ngelu ingkang kedah sumaput panonipun (pusing seperti mau pingsan)
- Sakit ngelu ingkang boten doyan nedha, dene canngkemipun kraos pait (pusing disertai hilangnya nafsu makan karena rasa pahit di mulut)
- Sakit ngelu ingkang mawi tumpukan sarta talinganipun pating grebeg (pusing akibat menggigil disertai telinga berdenging)
Â
Advertisement
Beda Racikan Jamu
Hal yang sama juga berlaku dalam meramu jamu. Pengetahuan orang Jawa tidak kalah dengan pengetahuan kedokteran modern. Misalnya, dalam meramu jamu untuk mengatasi masalah diare pada ibu menyusui berbeda dengan orang dewasa pada umumnya, berbeda pula pada anak-anak dan orang lanjut usia.
Sebagai catatan. meramu jamu untuk anak-anak dan lansia cenderung serupa. Orang lanjut usia lebih rentan terserang penyakit karena daya tahan tubuh sudah mulai menurun. Anak-anak juga, karena kekebalan tubuhnya belum terbentuk sempurna, mereka pun rentan terserang penyakit.
Hal ini menjelaskan bahwa masyarakat Jawa pada masa itu sudah memahami perbedaan fisiologis, termasuk psikologi setiap orang pada usia tertentu yang akan memengaruhi kesehatan, sehingga komposisi dalam meracik jamu juga berbeda.
Pemahaman pengetahuan ini sejalan dengan praktik yang banyak dikampanyekan komunitas global, seperti American Holistic Medical Association, yakni proses penyembuhan alami melalui non-invasif; tidak ada pendekatan kimia, pengobatan yang berpusat pada manusia dan lingkungan yang ramah.
Pembacaan Mantra dan Doa
Di luar empat metode penyembuhan, seperti mantra, ritual, pijat, gosok, serta konsumsi ramuan tanaman obat, masyarakat Jawa percaya ada kekuatan ilahi sebagai "pemilik dan penyembuh sejati." Karena itu, sebelum mengonsumsi atau menggunakan jamu, biasanya ada mantra atau doa yang dibacakan.
Tembang Lonthang 323 dari Serat Centhini jilid III dapat diambil sebagai contoh. Selain mantra, dikembangkan pula beberapa doa yang sangat populer di masyarakat Jawa. Uniknya, doa-doa tersebut sangat universal, karena bisa digunakan untuk semua jenis jamu dan segala jenis penyakit.
Kesadaran masyarakat Jawa akan konsep "sehat" yang dianut sebagai satu kesatuan mikrokosmos dan makrokosmos untuk menjaga keseimbangan kosmik merupakan wujud nyata dari Suara Alam, wahyu dari Sang Pencipta, pemilik kesehatan dan kehidupan sejati, Tuhan Yang Maha Esa.
Masyarakat Jawa juga melakukan klasifikasi jamu secara rinci berdasarkan jamu yang boleh dikonsumsi dan jamu yang tidak boleh dikonsumsi.
Â
Disclaimer: Jamu adalah ramuan tradional berbahan alami yang bisa membantu kesehatan tubuh. Bila ada keluhan kesehatan, sebaiknya dikonsultasikan kepada dokter.
Advertisement