Sukses

Bias Jadi Duta Merek Mewah, K-popers Tuntut Praktik Fesyen Ramah Lingkungan

Kelompok aktivis K-pop, Kpop4Planet, telah memulai kampanye "Unboxed: High Fashion, High Carbon" yang mengajak K-popers menandatangi petisi tuntutan.

Liputan6.com, Jakarta - Idol K-pop dan merek fesyen mewah telah berjalan beriringan. Beberapa tahun belakangan, kerja sama ini menjamur dengan penunjukan sejumlah bintang Korea Selatan sebagai duta merek mewah, dari Dior sampai Chanel. 

Idola-idola yang sangat populer, seperti BTS dan BLACKPINK, disusul wajah-wajah baru, termasuk NewJeans dan TOMORROW BY TOGETHER, terlihat menarik para K-popers, sebutan penggemar K-pop, membuat mereka tertarik dengan merek-merek mewah.

Bersama gelombang ini, K-popers juga menuntut komitmen fesyen ramah lingkungan dari sejumlah merek mewah dunia, menyebut idola mereka berhak memakai "pakaian yang berkelanjutan." Kelompok aktivis K-pop, Kpop4Planet, telah memulai kampanye "Unboxed: High Fashion, High Carbon."

Gerakan itu mengajak K-popers, terutama yang biasnya, sebutan idol K-pop favorit, didapuk jadi duta merek mewah, untuk menandatangi petisi yang menuntut aksi nyata merek-merek mahal dalam "memperbaiki skor ramah lingkungan" mereka. Secara khusus, mereka memanfaatkan momen ulang tahun debut BLACKPINK, bulan lalu.

Sebagaimana diketahui, Jisoo, Jennie, Rose, dan Lisa masing-masing mewakili brand mewah berbeda. Berkaca pada itu, mereka menyerukan Dior, Chanel, Saint Laurent, dan Celine untuk memenuhi janji keberlanjutan mereka dalam industri yang merupakan salah satu "sektor paling berpolusi di dunia."

"BLACKPINK mendapat nilai A+, tapi fesyen mewah benar-benar gagal dalam hal iklim," kata juru kampanye Kpop4Planet, Dayeon Lee, dikutip dari Euronews, Selasa, 5 September 2023. "Merek-merek ini adalah penggemar K-washing yang membeli produk-produk yang mengancam masa depan kita."

2 dari 4 halaman

Protes Paling Signifikan dari Penggemar K-pop

Kampanye tersebut mengklaim bahwa keempat label kelas atas telah gagal memenuhi komitmen iklim mereka dan hanya jadi penggemar "green-washing" melalui promosi yang menggandeng idol K-pop. Ruth MacGilp, yang berbicara atas nama LSM lingkungan Action Speaks Louder, mengatakan, merek-merek mewah mengklaim bahwa mereka lebih ramah terhadap lingkungan dibandingkan fast fashion karena harga dan kualitas produk mereka.

Namun, emisi yang dihasilkan bahan bakar fosil mereka terus meningkat. Penggemar K-pop memang terkenal dengan aktivisme mereka, namun ini adalah protes paling signifikan yang pernah dilakukan sehubungan dengan industri fesyen, catat publikasi itu.

Mereka menuduh merek-merek terkemuka menutupi kurangnya keberlanjutan dengan bermitra dengan ikon ramah iklim K-pop, termasuk BLACKPINK, yang sebelumnya bertindak sebagai duta konferensi iklim global COP26.

"Jika merek fesyen mewah berencana terus menggunakan bintang K-pop untuk menarik kita sebagai pelanggan masa depan, mereka harus bertanggung jawab dan berkomitmen terhadap aksi iklim yang nyata dan intensif," sebut Lee. "Itu berarti mereka harus meningkatkan transparansi dalam rantai pasokan mereka tentang energi apa yang digunakan dan berkomitmen terhadap RE100 di seluruh operasi mereka pada 2030."

3 dari 4 halaman

Rapor Keberlanjutan Merek Mewah

Sebagai bagian dari kampanye terbaru, Action Speaks Louder telah mengurutkan informasi mengenai target iklim dan emisi keempat merek tersebut dalam sebuah "rapor semu" yang bisa diakses publik. 

Saint Laurent, yang dimiliki Kering, mendapat nilai tertinggi dengan nilai "D," sementara Celine dan Dior, yang dimiliki konglomerat multi-miliar LVMH, mendapat nilai "E." Chanel berada di urutan terakhir dengan nilai "F."

Meski semua merek yang jadi sasaran kampanye K-pop telah berkomitmen menurunkan emisi, mereka dituduh melakukan hal sebaliknya, dan mengabaikan janji untuk jadi lebih ramah lingkungan.

Para pejuang iklim menyerukan perusahaan-perusahaan tersebut untuk berkomitmen terhadap 100 persen energi terbarukan dalam rantai pasokan mereka pada 2030. Juga, menuntut janji mengurangi emisi dan memberi transparansi penuh dalam rantai pasokan mereka.

Bukan hanya empat rumah mode mewah Perancis yang mendapat kecaman karena kebijakan iklim mereka. Industri fesyen diperkirakan bertanggung jawab atas 2--8 persen emisi global dan menghadapi kecaman yang semakin besar karena mereka tidak berbuat banyak untuk menghilangkan karbon dari catwalk.

4 dari 4 halaman

Menambah Masalah Jejak Karbon

Hal ini tampaknya disebabkan kelebihan produksi. Sementara itu, analisis McKinsey menunjukkan bahwa dengan mengurangi volume stok yang dijual dengan harga diskon sebesar 15 persen saja, emisi akan turun sebesar 10 persen, tanpa berdampak pada nilai barang.

160 merek, termasuk Chanel, telah menandatangani inisiatif lingkungan The Fashion Pact, dan berjanji menggunakan 50 persen bahan terbarukan dalam operasi mereka pada 2025 dan 100 persen tahun 2030. Seberapa kuat janji ini sebenarnya masih harus dilihat, dengan beberapa label masih dituduh mengabaikan krisis iklim.

Penata gaya dan pakar fesyen Bella Hignett mengatakan bahwa perjalanan industri fesyen dalam membuktikan komitmen lingkungan mereka masih panjang.

"85 persen tekstil berakhir di TPA. Hal ini harus diubah!" katanya. "Merek-merek mewah terus memproduksi terlalu banyak koleksi setiap tahun, mengirim para model dan jurnalis ke seluruh dunia untuk menghadiri pertunjukan dan perlengkapan, yang semuanya menambah masalah besar jejak karbon. Semuanya berjalan ke arah yang benar, tapi tidak terjadi dengan cukup cepat."