Liputan6.com, Jakarta - Siapa bilang sopir taksi tidak bisa berperan menjaga lingkungan? Hanya dengan mengubah kebiasaan kecil sehari-hari saja, seperti membawa botol minum sendiri dan mengisi ulangnya, ia sudah bisa mengurangi jumlah sampah botol plastik yang dihasilkan.
Itu pula yang dilakukan Zulhan, seorang sopir taksi Blue Bird, yang mulai membawa botol minum sendiri sejak pandemi Covid-19, awal 2020 lalu. Tapi, hal yang melatarinya awalnya bukan semata peduli lingkungan. Sebagai pekerja lapangan, ia terbiasa berinteraksi dengan banyak orang sepanjang hari.
Namun, pandemi mengubah cara pandang tentang bersinggungan dengan orang banyak. Di saat itu, interaksi sosial terpaksa diminimalkan demi menekan penyebaran virus. Zulhan tak mau ambil risiko dengan bertukar alat minum publik di pool atau tempat lainnya.
Advertisement
"Saya bawa tumbler yang gede, satu liter. Bisa cukup sampai sore," katanya kepada Liputan6.com, ditemui di sela peluncuran kerja sama Blue Bird dan WWF Indonesia terkait pengolahan sampah plastik di Jakarta, 15 Agustus 2023.
Setelah rutin membawa botol minum sendiri, ia merasa lebih nyaman dengan kebiasaan itu. Banyak manfaat yang didapatnya, seperti lebih hemat. "Di pool juga ada dispenser, tinggal isi ulang," ujarnya.
Selain itu, ia merasa air minum yang dikonsumsinya lebih bersih dan aman. "Kan kita pegang sendiri," kata Zulhan. "Saya juga udah enggak ngopi, enggak ngerokok, jadi enggak beli kopi keliling," imbuh dia.
Zulhan adalah satu dari 1.500 sopir taksi yang terpilih menjadi agen perubahan. Pasukan itu bergerak mempersuasi rekan-rekan sesama sopir untuk mengubah kebiasaan kecil.
Luwes Menyelipkan Pesan
Pola pendekatan tersebut diklaim berhasil berdampak. Lebih dari 8.000 sopir dan karyawan dari 22.000 sopir yang ada sudah membiasakan diri membawa tumbler sendiri.
"Agenda perubahan ini kita pilih beberapa orang aja yang diharapkan jadi penggerak dalam kegiatan. Di Jakarta ada belasan ribu pengemudi, tapi hanya beberapa saja yang gerakkan teman-temannya," ujar Mediko Azwar, Chief Marketing Officer PT Blue Bird Tbk.
Dilihat dari persentase, baru 36 persen sopir taksi yang terlibat dalam perubahan itu. Belum sampai separuhnya, tapi angka itu berarti bagi perusahaan transportasi lokal itu. Mediko menyebut sopir taksi sangat krusial dalam mengadvokasi perubahan ke arah positif. Ia berinteraksi dengan banyak orang, dari beragam kalangan. Lewat obrolan ringan antara pengemudi dan pelanggan, mereka bisa menyelipkan pesan keberlanjutan.
"Kita mulai dari pengemudi dulu. Kenapa pengemudi? Karena mereka bagian terbesar dari kami, kami mulai dari yang besar dulu. Selama delapan sampai 12 jam di jalan, ada berapa peluang buat mereka sampaikan sesuatu? Peluang dengan berjumpa lebih banyak orang lagi. SOP? Mereka jauh lebih jago bicara dengan penumpangnya," terang Mediko.
Advertisement
Pendaur Ulang Sampah
Sejauh ini, Bali dianggap yang terbaik dalam mengimplementasikan minim plastik kemasan sekali pakai. Hal itu didukung kebijakan pemerintah daerah yang ketat mengatur soal jenis sampah tersebut.Â
"Di Bali itu audit (sampah) dilakukan setiap enam bulan sekali. Memastikan pengemudi enggak boleh pake plastik (sekali pakai). Pool Jimbaran, misalnya. Mereka enggak akan sediakan minuman kalau enggak bawa tumbler. Itu saya harus pastikan selalu bawa tumbler kalau inspeksi ke sana," katanya.
Sejak dirintis 2018, Bluebird mengaku sudah berhasil menekan potensi sampah botol plastik 120 ton per tahun hanya dengan mengubah kebiasaan dari beli air kemasan menjadi isi ulang botol sendiri. Sementara untuk mengatasi sampah plastik yang dihasilkan dari air kemasan dari sopir yang belum berubah, pool menyiapkan sudut pengumpulan sampah.
"Lebih dari 20 pool (yang punya tempat pengumpulan sampah), total sekitar 120 ton (sampah plastik terkumpul) tahun lalu," imbuh Mediko seraya menyebut fasilitas itu dibatasi aksesnya untuk sopir saja dan sampah plastik yang terkumpul diangkut oleh pihak ketiga.
Dengan kemitraan terbaru bersama WWF Indonesia, Blue Bird berharap bisa lebih banyak sampah plastik yang bisa dikumpulkan dan didaur ulang. Direktur Climate & Market Transformation Yayasan WWF Indonesia, Irfan Bakhtiar mengingatkan bahwa jenis plastik PET yang dihasilkan dari sampah botol kemasan lebih menjanjikan karena pasarnya ada dan rantai pasoknya bergulir.
"Rantai pasar untuk PET ini sudah sangat kuat," katanya.
Meningkatkan Daya Saing Produk Olahan Sampah
Tapi, jenis sampah plastik bukan hanya PET. Itu pula yang akan jadi fokus WWF Indonesia bersama mitranya agar bisa menghasilkan produk olahan sampah tapi pantas dihargai mahal.
"Kita ada tas sampah Rp150 ribu, pouch Rp155 ribu. Itu dibuat dari sampah-sampah sekali pakai. PR-nya bersaing di pasar itu adalah desain dan kualitas. Jangan sampai dari sampah balik lagi ke sampah," kata Irfan.
Lewat kolaborasinya dengan Blue Bird, pihaknya menargetkan bisa mengurangi 30 persen sampah plastik dibuang ke lingkungan di DKI Jakarta yang merupakan bagian dari inisiatif Plastic Smart Cities WWF. Kolaborasi ini sejalan dengan program pemerintah untuk mencapai target Indonesia Bersih Sampah 2025 melalui pengurangan sampah di hulu sebesar 30 persen, dan penanganan sampah sebesar 70 persen pada 2025.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, total timbulan sampah di Indonesia pada 2022 mencapai sebesar 33,1 juta ton dan 18.01 persennya merupakan sampah plastik. Tahukah Anda sampah plastik di Jakarta per harinya mencapai 3.112.381,40 ton dan mengancam eksistensi ikan laut di pulau Jawa?
Berdasarkan riset Ecoton, kelimpahan rata-rata mikroplastik pada ikan ditemukan sebesar 20 partikel per ikan (sampel Bengawan Solo), 42 partikel per ikan (sampel Brantas), 68 partikel per ikan (sampel Citarum) dan 167 partikel per ikan (sampel Kepulauan Seribu). Jadi, masih mau abai soal sampah plastik?
Advertisement