Sukses

Gunung Fuji di Jepang Berteriak Darurat Overtourism

Jumlah pendaki Gunung Fuji di Jepang, baik siang maupun malam, berada di angka berbahaya dan "memalukan" secara ekologis.

Liputan6.com, Jakarta - Gunung Fuji di Jepang ternyata tidak terkecuali dari fenomena overtourism. Dengan jutaan pengunjung setiap tahun dan banyaknya bus, truk pasokan, toko mi, serta magnet kulkas, Gunung Fuji bukan lagi tempat ziarah yang damai seperti dulu.

Menurut laporan AFP, dikutip dari CNA, Sabtu, 9 September 2023, pihak berwenang pun mulai bertindak, menyebut bahwa jumlah pendaki gunung berapi terkenal di dunia itu, baik siang maupun malam, berada di angka berbahaya dan "memalukan" secara ekologis.

"Gunung Fuji berteriak," kata gubernur wilayah setempat, pekan lalu. Memuji Gunung Fuji berperan penting pada agama dan inspirasi para seniman, pada 2013, UNESCO menambahkan "ikon Jepang yang diakui secara internasional" ke dalam daftar Warisan Dunia.

Namun, seperti yang terjadi di tempat-tempat seperti Bruges di Belgia atau Sugarloaf Mountain di Rio de Janeiro, penunjukan tersebut merupakan berkah sekaligus kutukan. Jumlah pengunjung meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 2012 dan 2019 jadi 5,1 juta, dan itu hanya terjadi di prefektur Yamanashi, titik awal pendakian.

Arus orang berjalan dengan susah payah melewati pasir vulkanik hitam dalam perjalanan mendaki gunung setinggi 3.776 meter di atas permukaan laut itu tidak hanya terlihat di siang hari. Pada malam hari, antrean panjang orang untuk melihat matahari terbit juga tampak.

Titik awal utama pendakian Gunung Fuji adalah tempat parkir mobil yang dapat dicapai dengan taksi atau bus yang memakan waktu beberapa jam dari Tokyo, sekitar 100 km jauhnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Meningkatnya Risiko Kecelakaan

Di lereng Gunung Fuji, pengunjung disambut kompleks restoran dan toko yang menjual cinderamata, serta makanan ringan dan minuman untuk pejalan kaki sebelum berangkat. Mereka menggunakan tenaga generator diesel dan ribuan liter air yang harus diangkut dengan truk.

Truk juga membuang semua sampah. "Saya melihat banyak sisa makanan dan botol minuman kosong berserakan di sekitar area cuci tangan di toilet," keluh pendaki Jepang Yuzuki Uemura (28).

Masatake Izumi, seorang pejabat setempat, mengatakan, tingginya jumlah pendaki meningkatkan risiko kecelakaan. Beberapa orang yang mendaki pada malam hari "mengalami hipotermia dan harus dibawa kembali ke pusat pertolongan pertama," katanya pada AFP.

Setidaknya satu orang telah meninggal selama musim ini. Dengan biaya akses opsional sebesar 1.000 yen (sekitar Rp104 ribu), pengunjung mendapatkan buklet dalam bahasa Jepang, terdapat kode QR untuk versi bahasa Inggris, yang memuat hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama mendaki Gunung Fuji.

 

3 dari 4 halaman

Mengendalikan Jumlah Pengunjung

Kendati demikian, beberapa orang tidak menyadari betapa sulitnya pendakian menuju puncak Gunung Fuji yang memakan waktu lima hingga enam jam. Tercatat bahwa semakin tinggi, kadar oksigen lebih rendah dan cuaca dapat berubah dengan cepat.

"Di sana hampir musim dingin, sangat dingin," kata Rasyidah Hanan, seorang pendaki berusia 30 tahun dari Malaysia pada AFP saat turun. "Orang-orang harus disaring sedikit karena beberapa orang belum siap mendaki Gunung Fuji. Mereka terlihat mengenakan pakaian yang sangat tipis. Beberapa dari mereka benar-benar terlihat sakit."

Ketika jumlah wisatawan kembali ke tingkat sebelum pandemi, bukan hanya Gunung Fuji yang membuat pihak berwenang khawatir. Minggu ini, para menteri Jepang bertemu untuk membahas langkah-langkah mengatasi apa yang Kenji Hamamoto, pejabat senior Badan Pariwisata Jepang, sebut sebagai "kepadatan dan pelanggaran etiket" di lokasi-lokasi yang banyak dikunjungi wisatawan.

Untuk Gunung Fuji, pihak berwenang mengumumkan bulan lalu bahwa mereka akan menerapkan tindakan pengendalian massa untuk pertama kalinya jika jalur pendakian jadi "terlalu sibuk."

4 dari 4 halaman

Pertahankan Status Warisan Dunia UNESCO

Pengumuman itu sudah efektif berlaku, namun pada akhirnya tidak ada tindakan yang diambil, kata Izumi. Jumlah pengunjung diperkirakan akan sedikit menurun tahun ini dibandingkan 2019, namun pada 2024, jumlah tersebut dapat meningkat lagi seiring kembalinya wisatawan, terutama dari China.

Gubernur Yamanashi, Kotaro Nagasaki, mengatakan pekan lalu bahwa Jepang perlu mengambil tindakan untuk memastikan Gunung Fuji tidak kehilangan status Warisan Dunia UNESCO. Salah satu solusinya, katanya, adalah membangun sistem kereta api ringan untuk menggantikan jalan utama menuju titik awal utama bagi para pejalan kaki.

"Kami sangat yakin bahwa sehubungan dengan pariwisata Gunung Fuji, peralihan dari pendekatan kuantitas ke pendekatan kualitas sangatlah penting," kata Nagasaki.

"Menurut saya, Gunung Fuji adalah salah satu hal kebanggan Jepang," kata Marina Someya (28), seorang pendaki asal Jepang. "Ada banyak orang (yang mendaki Gunung Fuji), dan banyak orang asing (di antara pendaki itu)."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini