Liputan6.com, Jakarta - Sedikit menepi dari deras arus modernisasi, para perajin baju adat masih terus mengukuhkan kuda-kuda mereka, melestarikan warisan budaya di seantero Nusantara. Berpuluh tahun sudah mereka setia pada bidang kriya tekstil yang sarat akan pasang surut.
Di antara lusinan, Ahmad Kadori jadi salah satunya. Perajin baju adat Jambi di bawah jenama Bujang Perajin Baju Adat Jambi ini memulai usaha pembuatan busana tradisional bersama istrinya sejak 20 tahun lalu. "Istri saya lah yang paling berperan dalam usaha ini," sebut dia melalui pesan pada Liputan6.com, Sabtu, 9 September 2023.
Bujang, begitu ia akrab disapa, menyambung, "Istri saya dulunya karyawan (bisnis) kerajinan pelaminan adat Jambi. Seiring waktu, (kami) merasa tidak puas dengan penghasilan kami. Mulailah kami membuat bisnis sendiri."
Advertisement
Awalnya, pasangan suami istri ini menggeluti jasa membuat pelaminan pernikahan adat Jambi. "Saya kemudian memasarkan kerajinan istri saya itu, dimulai dengan selembar ondas-ondas (perlengkapan di pelaminan pernikahan adat Jambi), Alhamdulillah terjual, bikin lagi, terjual lagi, akhirnya konsumen, yang merupakan para perias dan staf dekorasi pesta pernikahan, lama-lama kenal kami."
"Mereka mulai tanya-tanya tentang baju adat (pengantin) Jambi. Sebelumnya, kami belum bisa bikin baju adat (pengantin) Jambi. Istri saya ambil kursus menjahit (selama) tiga bulan, dan akhirnya bisa bikin baju adat (pengantin) Jambi," imbuhnya.
Beralih ke Kalimantan, ada Chaterine Paja, pegiat seni kriya yang melestarikan warisan baju adat Dayak. Apa yang dijalani sekarang merupakan perpanjangan tangan upaya ibundanya yang seumur hidup melakukan hal serupa.
Perajin Suku Dayak Kenyah
Ina, sapaan akrabnya, bercerita, "Saya adalah anak dari Pui Ribka Paja yang merupakan salah satu perajin suku Dayak Kenyah asli yang konsisten mengangkat seni kriya dan motif suku Dayak sepanjang hidupnya, ke manapun ia berada, karena ini adalah warisan budaya turun-temurun dari keluarganya," melalui pesan, Sabtu, 9 September 2023.
"Ibu saya fokus membawa dan mengenalkan produk kerajinan tangan manik-manik dan motif ukiran suku Dayak ke Jakarta sejak 1999, tapi beliau sudah bisa membuat rangkaian manik sederhana sedari berusia 3--4 tahun di daerah pedalaman Kalimantan yang bernama Kampung Longnoran."
"Seiring bertambah usia, ia semakin terampil dan (seni merangkai manik) jadi bagian hidupnya," imbuhnya. Label Istana Manik Kalimantan milik ibunda Ina kemudian diteruskan Dayakina Borneo yang mulai diperkenalkan pada 2010.
"Dayakina Borneo adalah produk UMKM yang berupaya melestarikan dan mengembangkan seni kriya dan seni ukiran khas Suku Dayak di Kalimantan, terutama Dayak Kenyah," ujar dia. "Sederet harapan terukir dari setiap karya-karya desain kami agar nantinya dapat dipakai berbagai kalangan sebagai produk lokal etnik yang modern, namun tidak kehilangan ciri khas budayanya."
Melalui Dayakina Borneo, ia juga berharap dapat secara konsisten membantu perajin-perajin daerah, khususnya wanita, agar lebih maju dan memiliki kehidupan lebih sejahtera, terutama "para ibu sebagai tiang kehidupan keluarga."
Advertisement
Memberdayakan Perempuan Lokal
Selaras dengan itu, Bujang Perajin Baju Adat Jambi juga berupaya mengukuhkan eksistensinya. Selain untuk meningkatkan dan mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, mereka juga ingin memberdayakan para ibu-ibu yang mengerjakan pesanan pihaknya.
"Juga, semoga baju adat Jambi selalu terjaga keaslian dan kelestariannya," harap Bujang.
Terkait susah senang jadi perajin baju adat, Bujang mengatakan, "Susahnya kendala modal, karena usaha kami usaha mandiri. Memutar modal agak susah. Lalu, senangnya (bisa) bekerja di rumah. Anak-anak dan keluarga terurus."
Ia mengatakan, usaha baju adat rumahannya sekarang sudah dibantu sekitar 20 orang dalam proses pembuatan. "(Pesanan per bulan) bisa 5--10 pasang," sebut dia. "Bikin bajunya itu lama, kira-kira satu bulan-an. Pakai sulam tangan, tidak pakai mesin."
Dari rumahnya di Olak Kemang, Seberang Kota Jambi, ia juga memasarkan baju adat buatannya secara online, termasuk melalui akun Instagram @bujang_bajuadatjambi dan @bujang_pengrajinbajuadatjambi. "Baju adat Jambi saya jual mulai dari Rp200 ribu--Rp3 juta, tergantung banyak pesanannya," ia berbagi.
Setelah berbisnis sejak 2003, Bujang mencatat bahwa perbedaan mencolok proses produksi baju adat Jambi hanya bertitik berat pada pemilihan motif yang menyesuaikan zaman. "Awal-awal (motif) Sulthan Thaha. Kalau sekarang, karena ada Gentala Arasy, kami bikin motif gentala," sebut dia.
Motif Paling Bermakna
Di sisi lain, Ina bercerita bahwa pihaknya menangani proses pembuatan baju adat pengantin, baju etnik formal, baju etnik kasual, rompi pria, baju adat anak, dan berbagai produk lain. "Yang paling menyimpan makna mendalam bagi saya adalah ketika membuat motif suku Dayak Kenyah kasta Paren, karena ini adalah motif asli kasta ibu saya dan keluarganya," sebut dia.
Ia melanjutkan, "Motif ini paling eksklusif, hanya untuk orang-orang berkasta Paren di suku Dayak Kenyah. Jadi, zaman dahulu ada stasifikasi sosial dalam suku Dayak Kenyah yang terbagi atas empat golongan kasta, yaitu Kasta Paren: kaum bangsawan besar atau pemimpin."
"Lalu, Kasta Deta'au: kaum bangsawan kecil atau ksatria. Ketiga, Kasta Panyin: kaum rakyat jelata dan Kasta Ula': kaum budak," tuturnya. "Pada zaman itu, hanya orang-orang berkasta Paren asli yang boleh membuat, memakai, dan memiliki motif ukiran bergambar kepala orang maupun manusia utuh dan motif harimau (Lenjau dalam bahasa Dayak Kenyah)."
"Jika ada orang-orang dari kasta lain membuat, memakai, bahkan memiliki motif eksklusif golongan kasta Paren, mereka akan terkena Parip (tulah/kutuk/malapetaka/sial/bala)," imbuhnya. "Namun seiring perkembangan zaman, perbedaan kasta sudah tidak ada lagi."
Sementara dulunya pemasaran produk adat Suku Dayak dilakukan dari mulut ke mulut, menitip ke toko dan bagi hasil, serta ikut berbagai acara, Dayakina Borneo memanfaatkan medium online dan offline. Secara langsung, produknya bisa dibeli di sekitar Jakarta, yakni Warisan Budaya Indonesia di ASTHA, Pendopo Living World, Sarinah Thamrin, SMESCO, dan Alun-Alun Grand Indonesia.
"(Pesanan) 5--20 buah per bulan, tapi prosesnya lumayan lama, dan dijual seharga Rp675 ribu sampai Rp17,5 juta," ucapnya.
Dulu, Ina menyambung, pembuatan baju adat Dayak dilakukan sesuai pakem, yakni full manik. "Kalau sekarang, bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan bujet. Bahkan, bisa adat kreasi," tandasnya.
Advertisement