Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Jakarta sedang menghadapi tantangan permasalahan polusi udara. Pengetahuan dan mencari solusi sebagai cara untuk meningkatkan kesehatan pernapasan terus menjadi perhatian, dengan tingkat polusi udara yang terus memburuk.
Permasalahan polusi saat ini bukan terjadi mendadak, tapi merupakan akumulasi dari pembiaran aktivitas manusia yang menyebabkan pembuangan emisi. Tata kelola serta perilaku hidup yang tidak diatur dalam sebuah regulasi membuat polusi makin parah dan bisa tak terkendali.
"Setiap kita mengambil 2,5 liter oksigen per hari, jadi investasi untuk mengambil oksigen memang mahal. Tiap individu seharusnya berkontribusi (terhadap pengurangan polusi), ini sangat berbahaya," ungkap dokter spesialis paru Menaldi Rasmin saat bincang inspiratif yang digelar di ballroom VERDE TWO pada Kamis, 7 September 2023.
Advertisement
Menaldi menyambung bahwa indeks kualitas udara jika di atas angka 150 sudah masuk dalam bahaya. Tandanya bisa terlihat dari kondisi mata merah terasa gatal dan berair, untuk perempuan biasanya kulitnya kering dan mudah berjerawat.
Dengan rata-rata setiap orang menghirup 16 kali per menit, polusi menyebabkan deposit saluran pernapasan atas. "Yang bahaya gas karbon dengan sulfur serta nitrogen oksida sebagai salah satu jenis bahan pencemar udara, juga partikel-partikel kecil yang tidak terlihat," kata Menaldi.
Ia menambahkan bahwa di dunia setidaknya terdapat 7 juta kematian per tahun kematian akibat polusi, di antaranya sebanyak 2 juta disumbang dari Asia Tenggara. "Akibat radang paru-paru, 23 persen gangguan otak terjadi stroke lebih cepat. Terjadinya akibat pengentalan darah dan partikel, 34 persen serangan jantung karena partikel bisa menyumbat jantung. Belum lagi jenis yang kronis," paparnya.
Polusi Udara Bisa Terjadi di dalam Ruangan
Jika diperinci lagi, polusi bahkan menurut Menaldi bukan hanya terdapat di luar rumah. Di dalam rumah juga terdapat polusi berupa partikel kecil yang ada di lantai karpet salah satunya.
Manusia sendiri memiliki saringan untuk memfilter polusi yakni bulu hidung. Namun, tetap saja partikel yang sangat kecil tersebut bisa tidak terlihat dan menempel di saluran pernapasan dan berdampak pada kesehatan di kemudan hari.
Polusi lainnya di dalam ruangan adalah saat menyalakan kendaraan dan membuat gas buangan masuk ke dalam rumah dan asap rokok. Bahkan buangan dari barang elektronik di rumah seperti AC maupun kulkas dan asap ketika memasak ikut menyumbang polusi di dalam rumah.
Pentingnya kesadaran masyarakat bahwa sistem pernapasannya terancam, bisa terasa dari tidur yang tidak terasa segar saat bangun. Menaldi menyebut bahwa saat tidur pun manusia memerlukan oksiden dan oksigen adalah salah satu sumber energi untuk berkegiatan.
Advertisement
Solusi Permasalahan Polusi di Ibu Kota
Lebih jauh Menaldi mengatakan, asap kendaraan bermotor adalah salah satu di antara penyebab polusi terbesar. Kebijakan emisi gas buangan, tidak serta-merta menurunkan secara signifikan apalagi sebenarnya pengecekan emisi harus dilakukan rutin bukan hanya sekali.
"Lakukan juga ganjil genap pada sepeda motor, dua minggu berturut-turut lakukan hujan buatan, industri yang dekat wilayah hunian mesti dikenakan ganjil genap juga," cetusnya.
Keikutsertaan sektor industri yang menghasilkan gas buangan dengan kesadaran pemilik pabrik untuk menetapkan pengaturan produksinya akan berpengaruh. Namun yang lebih penting lagi, menurut Menaldi adalah penerapan sistem zonasi dengan memisahkan antara kawasan tempat industri, tempat olahraga, sekolah, perkantoran, dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
"Sistem zonasi, industri harus ikut sampai di mana (lokasi) diizinkan. Setiap industri kalau pabrik, berapa tingkat paling rendah, bagaimana pembuangan dimusnakan tanpa berdampak ke publik," tukasnya lagi.
China sendiri yang sempat memiliki permasalahan polusi pelik dapat mengatasinya dalam kurun waktu lima tahun. Indonesia dengan regulasi yang tepat dan sistem zonasi seharusnya juga bisa.
Pindah Ibu Kota Polusi Tetap Ada
Indonesia akan memindahkan ibu kotanya ke Ibu Kota Nusantara (IKN) dalam waktu dekat. Meski demikian, Menaldi menyebut permasalahan polusi di Jakarta bukan berarti akan berakhir jika regulasi dan sistem zonasi tidak diberlakukan.
Hal ini sama halnya dengan Australia yang memindahkan ibu kotanya, Melbourne ke Canberra. "Masalahnya tata tuang, mestinya dimulai dari emergency escape, dalam jangka panjang pemberlakuan sistem zonasi. Daerah industri, tempat olahraga, sekolah, kita campur aduk semua," tegasnya lagi.
Hal lainnya sebagai sorotan adalah mengenai sistem pembuangan sampah akhir TPA yang seharusnya tidak ada pembakaran. Menaldi menyarankan agar ada tempat pembuangan perantara sebelum ke tempat akhir, lalu tentunya pengaturan pemilahan sampah sehingga tidak semuanya menuju TPA dengan upaya daur ulang.
"Meskinya pemerintah memberi apresiasi untuk orang-orang yang berlaku nyata. Ini upaya investasi yang besar dan mahal, namun nilai kemanusiaannya besar. Pemerintah juga sebaiknya membantu pihak yang belum," jelasnya.
Advertisement