Sukses

Sempat Dinyatakan Punah, 18 Burung Prasejarah Takahe dari Selandia Baru Kembali Berkeliaran

Sebanyak 18 spesimen Burung Takahē telah sukses dilepas ke habitat aslinya yang berada di cagar alam di Danau Wakatipu, Selandia Baru. Rencana ke depan adalah melepaskan tujuh ekor tambahan burung tersebut pada Oktober 2023 dan menambah sepuluh ekor lagi di awal 2024.

Liputan6.com, Jakarta - Keberhasilan upaya pelestarian selalu membawa harapan baru bagi dunia persatwaan. Sebagai salah satu dari banyak kisah kejayaan dalam konservasi, baru-baru ini terjadi peristiwa penting dan bersejarah.

Delapan belas spesimen Burung Takahē telah sukses dilepas ke habitat aslinya yang berada di cagar alam di Danau Wakatipu, Selandia Baru. Kabar gembira ini tidak berhenti di situ, karena rencananya tujuh ekor tambahan burung tersebut akan dilepas pada Oktober 2023, serta menambah sepuluh ekor lagi di awal 2024.

Ini menandakan langkah maju sebagai upaya membentuk populasi perkembangbiakan ketiga yang independen di habitat alaminya. Sebagai gambaran, pada era di mana mobil mulai muncul di jalanan London, Inggris, Burung Takahē dianggap telah punah.

Burung yang mempesona dengan warna-warninya ini adalah penanda sejarah prasejarah di Selandia Baru. Diketahui, burung ini berevolusi di lingkungan pulau tanpa keberadaan mamalia.

Namun, dengan datangnya spesies mamalia invasif, eksistensi burung ini menjadi terancam. Yang mengejutkan adalah setelah dianggap hilang selama beberapa dekade, burung ini ditemukan kembali usai terjadinya Perang Dunia kedua.

Sejak ditemukan kembali, upaya konservasi dilakukan menggunakan pendekatan yang lebih proaktif guna memastikan keberlanjutan hidup spesies tersebut. Sebagai bagian dari upaya ini, telur-telur yang ditemukan di alam liar dipindahkan ke pusat perawatan sebagai tindakan pencegahan dari ancaman predator seperti cerpelai, musang, dan tikus.

2 dari 4 halaman

Pakai Bantuan Boneka

Sebagai upaya pemulihan populasi, para ahli konservasi membesarkan anak burung dengan bantuan boneka kaus kaki yang didesain menyerupai kepala Burung Takahē dewasa. Pendekatan inovatif ini memungkinkan anak-anak burung tumbuh dalam lingkungan yang terkontrol dan aman.

Selain itu, program penjebakan predator invasif juga memberikan kontribusi besar. Dengan berbagai upaya, populasi Takahē kini tumbuh dengan stabil, meningkat sekitar 8 persen setiap tahunnya, memberikan harapan baru bagi pelestarian spesies ini di masa mendatang.

Di sisi lain, di bagian selatan dari Selandia Baru, terhampar Danau Wakatipu yang menjadi ikon dari negara kepulauan tersebut. Menempati posisi sebagai danau terpanjang di Selandia Baru, Danau Wakatipu membentang membelah Lembah Waimāori sepanjang 50 mil. Area ini dikelilingi oleh pegunungan menjadi habitat yang ideal bagi berbagai fauna, termasuk burung setinggi satu setengah kaki yang dikenal memiliki keunikan khusus ini.

"Ketika Anda berada di sini, suasana yang Anda rasakan hampir seperti kembali ke zaman prasejarah," ujar Tūmai Cassidy, seorang anggota dari kelompok adat Ngāi Tahu, suku asli yang memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan lahan di sekitar Danau Wakatipu. "Pemandangannya begitu megah dan mengesankan."

3 dari 4 halaman

Harapan Baru Mengembalikan Populasi Burung

Mengamati lebih dekat burung-burung ini, Cassidy menambahkan, "Dari pandangan depan, bentuk tubuh mereka tampak seperti bola sempurna, mirip dengan replika miniatur Bumi, yang ditopang oleh kaki-kaki yang berwarna oranye cerah."

Bagi masyarakat Maori, penduduk asli asal Polinesia yang tinggal di Selandia Baru, upaya mengembalikan populasi burung ini ke habitat aslinya memiliki makna yang mendalam. Pada zaman dahulu, bulu-bulu dari burung tersebut dikumpulkan dan dianyam menjadi jubah-jubah yang indah, menandakan status dan kehormatan.

Selain itu, seruan khas dari burung-burung ini, yang bisa didengar menyeberangi lembah hingga ke puncak pegunungan, menjadi bagian dari kenangan dan narasi sejarah masyarakat Maori. Dengan reintroduksi ini, harapan baru muncul bahwa suara-suaranya yang khas akan kembali mengisi udara.

Sebelumnya, pada laporan yang sama, Pangeran George mengatur penggalangan dana untuk mengumpulkan uang untuk kegiatan amal konservasi. Dikutip dari Independent, Rabu, 22 Juni 2022, kepala eksekutif Tusk Charlie Mayhew mengatakan kepada GB News bahwa Pangeran George menulis "kartu yang sangat manis tentang hal itu".

Kartu tersebut menceritakan kepeduliannya terhadap hewan terancam punah di Afrika. Ayah George, Duke of Cambridge adalah pelindung Tusk dan merupakan juru kampanye terkemuka tentang masalah lingkungan. Mayhew juga menyampaikan tanggapannya terkait aksi amal anak laki-laki yang akan menginjak usia 9 tahun tersebut.

4 dari 4 halaman

Penggalangan Dana dengan Menjual Kue

Mayhew mengatakan kepada GB News, "Pangeran George dengan sangat manis menjual kue kecil untuk mengumpulkan uang bagi Tusk selama penguncian dan menulis kartu yang sangat manis tentang hal itu, dengan jelas menunjukkan kepeduliannya terhadap satwa liar Afrika."

Pangeran William telah berbicara di depan umum tentang bagaimana dia tidak mau menatap mata anak-anaknya. Ia juga memberi tahu mereka bahwa dia adalah generasi yang membiarkan satwa liar seperti gajah dan harimau punah "dalam pengawasan kita".

"Sungguh memilukan untuk berpikir bahwa pada saat anak-anak saya, George, Charlotte dan Louis berusia 20-an, gajah, badak, dan harimau mungkin punah di alam liar," kata Pangeran William pada 2018.

Pangeran William menambahkan beberapa badak yang dia lihat dalam perjalanan ke Afrika "sangat terancam sehingga mereka memiliki lebih banyak pengawal daripada saya". Tusk menolak mengungkapkan berapa banyak uang yang dihasilkan George dari usaha penjualan kuenya.

Sebelumnya, potret yang mengabadikan Pangeran William dan ketiga buah hatinya tersenyum semringah resmi dirilis pada Minggu, 19 Juni 2022 saat merayakan Hari Ayah. Momen William dengan Pangeran George, Putri Charlotte, dan Pangeran Louis itu dijepret saat liburan keluarga di Yordania.