Liputan6.com, Jakarta - Dewan Kesenian Jakarta, melalui Komite Musik DKJ, kembali mengorganisir Program Pekan Komponis Indonesia pada 2023. Program ini pertama kali diperkenalkan kepada publik pada 1979 dengan label "Pekan Komponis Muda". Program ini menjadi platform bagi komposer-komposer berbakat untuk berkembang, bereksperimen, dan mengasah karya-karyanya.
Pada edisi 2023, Pekan Komponis Indonesia memilih dan menampilkan karya-karya pilihan dari lima komposer dari berbagai wilayah Indonesia. Mereka adalah Hadi Suhendra dari Padang, Hery Kristian dari Yogyakarta, Marisa Sharon Hartanto dan Stevie Jonathan Sutanto dari Jakarta, serta Yashinta Anggar Kusuma dari Bali. Acara ini berlangsung selama dua hari, pada 14--15 September 2023, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Sebagai upaya mendekatkan para komposer dengan penikmat musik, Pekan Komponis Indonesia menyelenggarakan sesi Diskusi Karya. Dalam sesi ini, para komposer diberikan kesempatan duduk satu meja dengan audiens untuk membahas dan mendalami lebih jauh tentang inspirasi dan proses di balik setiap karya yang akan ditampilkan.
Advertisement
Salah satu momen yang mencuri perhatian dalam diskusi tersebut adalah ketika terungkap bahwa Marisa memiliki pendekatan unik dalam karya pertamanya. Ia memilih untuk hanya menggunakan satu huruf "L" sebagai judul. Bagi Marisa, huruf "L" bukanlah sekedar huruf, namun kaya akan interpretasi dan bisa mewakili beragam emosi yang mendalam.
"Karya 'L' ini awalnya ditulis sebagai refleksi masa pandemi dan kini telah diperkaya dengan penambahan instrumen vokal. Inspirasi utama karya ini adalah perjuangan melalui masa sulit ini," ungkapnya saat ditemui di Jakarta Pusat pada Kamis, 14 September 2023.
Penuh Filosofis
Dalam karya ini, huruf "L" memegang berbagai interpretasi, melambangkan emosi seperti lock down (terkunci), lost (kehilangan), loneliness (kesendirian), limit (batasan), dan letting go (melepaskan). Selain itu, "L" menandakan kata-kata dengan nuansa positif seperti love (cinta) dan life (kehidupan).
Lirik dalam karya ini memulai banyak kata dengan huruf "L", seperti Luka, Lari, Lumpuh, dan Lalu, serta kata-kata inspiratif lainnya, seperti Lihat, Lahir, Lindung, Limpah, dan Lampin. Namun, dari beragam makna huruf L tersebut, yang paling mendalam adalah El, yang diartikan sebagai Elohim atau Tuhan.
"Karya ini mencerminkan kebutuhan manusia akan aspek spiritual dalam mencari Tuhan di tengah pandemi yang menantang, seperti dalam kisah El Roi yang ditemukan dalam Alkitab Perjanjian Lama," ucapnya.
Karya ini ia ciptakan pada 2023 yang menggabungkan antara soprano, violin dan piano. Di sisi lain, karyanya yang diberi judul "Salvage", yang diciptakan pada 2013, menceritakan tentang pengalamannya yang penuh ketegangan saat menghadapi rasa takut. Karya tersebut diperkaya dengan alunan musik dari clarinet, violin, viola, cello, dan contrabass.
Komponis lainnya adalah Hadi Suhendra, yang menghadirkan dua karya yaitu "Amorfati" untuk solo violin yang mencerminkan representasi dari tubuh yang teralienasi oleh 'dogma budaya'. Karya kedua, "Indeterminate", menggunakan alto saksofon dan gitar klasik menceritakan tentang bagaimana ketidakpastian, ketidakteraturan, dan kekacauan bisa menjadi sumber inspirasi dan titik awal dari karya yang berdampak sejarah.
Advertisement
Setiap Komponis Menampilkan 2 Karya
Yashinta Anggar Kusuma mempersembahkan dua karya, "Tetujon" yang menggabungkan tembang, tari, kendang, dan suling, serta mengintegrasikan dua laras, Pelog dan Slendro, di beberapa bagian dari karyanya. Karya kedua yaitu "Sahra", terinspirasi dari musik Arab dengan harmoni yang sederhana dan variasi tangga nada. Karya ini didominasi oleh progresi akor 1 dan (flat) 2, dengan klarinet, violin, dan violoncello sebagai instrumennya.
Stevie Jonathan Sutanto mempersembahkan "inMemory (sound ritual)", merespons tragedi dengan mengonversi data menjadi suara, di mana setiap korban diwakili oleh satu suara, sebagai pengingat mereka yang meninggal. Karya lainnya yakni "Latent Instruments", adalah bagian dari eksplorasi ruang laten. Dalam pertunjukannya, fitur dan pola rekaman suara dieksplorasi dengan menggunakan instrumen musik sebagai jembatan ke ruang laten.
Terakhir, Hery Kristian akan tampilkan dua karya, yaitu "Etude No. 3", sebuah karya musik yang mengombinasikan alto saxophone, double clarinet, dan live electronic, dengan fokus pada teknik perluasan dan elektronik langsung. Karya kedua "Tempuran" diiringi double clarinet dan live electronic yang menekankan pada teknik permainan nada panjang.
Ketua Komite Musik DKJ Arham Aryadi menyatakan bahwa Pekan Komponis Indonesia telah berperan dalam mencetak komposer-komposer yang kemudian meraih status sebagai komposer ternama di Indonesia. Pekan Komponis Indonesia memiliki andil penting dalam sejarah evolusi komposer di Indonesia dan kontribusinya dalam ekosistem musik nasional.
Ruang Kebebasan Berekspresi
Arham mengatakan bahwa dari 1979, pekan komponis sudah menghasilkan komponis yang diakui secara internasional seperti Otto Sidharta, Djaduk Ferianto, Blasius Subono, Franki Raden, dan masih banyak lagi.
"Komposer yang berada pada wilayah non industri populer musik, pada penawaran ekspresi musikal yang berbeda dari kebiasaan musik yang sering didengar di radio atau platform-platform musik modern atau digital," ujarnya pada kesempatan yang sama.
Arham menyebutkan bahwa Pekan Komponis Indonesia memberikan kesempatan bagi komposer untuk berekspresi dengan bebas dalam menciptakan karya.
"Yang menarik dari pekan komponis tahun ini adalah ada kebebasan dalam membuat karya komposisi untuk dipentaskan dan para komponis terpilih selain praktisi, juga dari kalangan akademisi, ada yang beberapa pernah mengenyam pendidikan komposisi musik di beberapa kampus di dalam maupun luar negeri, seperti Austria dan Inggris," ucapnya.
Komite Musik DKJ berkeinginan agar dengan rutinitas penyelenggaraan Pekan Komponis, kualitas karya komposer dapat terus diasah. Harapannya adalah untuk menjaga keautentikan karya komposer, memperkuat jaringan, dan meningkatkan distribusi informasi mengenai komposisi musik.
Advertisement