Liputan6.com, Jakarta - Adalah Kim Yo Jong, adik pemimpin Korea Utara Kim Jong Un yang terlihat memegang tas senilai tujuh ribu dolar AS (sekitar Rp108 juta) dari merek mewah Prancis Christian Dior selama perjalanan mereka ke Rusia, baru-baru ini. Tas hitam dengan pola berlapis itu merupakan seri Lady Dior ikonis, menurut foto yang dirilis Kantor Berita Pusat resmi Korea Utara.
Melansir Strait Times, Selasa (19/9/2023), foto itu diambil saat keluarga Kim mengunjungi Pabrik Penerbangan Yuri Gagarin di Komsomolsk-on-Amur, sebuah kota di timur Rusia. Ini bukan pertama kali anggota keluarga Kim muncul di depan umum sambil membawa barang-barang mewah dari merek asing.
Baca Juga
Selama peluncuran uji coba rudal balistik antarbenua Hwasong-17 Korea Utara pada Maret 2023, putri Kim, Ju Ae, terlihat mengenakan jas hitam seharga 1,9 ribu dolar AS (Rp29 juta), yang juga diduga rilisan Dior. Sementara, Kim terlihat memakai jam tangan pabrikan Swiss IWC Schaffhausen senilai 13,4 ribu dolar AS (sekitar Rp206 juta) saat parade militer merayakan ulang tahun ke-75 Partai Pekerja yang berkuasa di Korea Utara pada 2020.
Advertisement
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi lonjakan permintaan barang-barang mewah di Korea Utara. Dulu, rilisan itu hanya terbatas pada keluarga Kim. Namun baru-baru ini, beberapa elit Korea Utara juga memiliki akses terhadap merek-merek kelas atas internasional.
Toko-toko milik negara di Pyongyang dilaporkan menjual barang-barang mewah dengan menerima dolar AS dari pelanggan dan memberikan uang kembalian berupa Won Korea Utara. Menurut Resolusi Dewan Keamanan PBB 2270, impor merek-merek mewah asing ke Korea Utara secara eksplisit dilarang.
Kritik Keras di Tengah Warga Terancam Mati Kelaparan
Namun demikian, keluarga Kim diduga memiliki entitas terpisah yang menyediakan barang-barang mewah dan makanan untuk mereka. Kecintaan keluarga penguasan Korea Utara terhadap merek-merek mewah telah dikritik keras di luar negeri.
Ini terutama setelah BBC melaporkan pada Juni 2023 bahwa warga negara itu terancam mati kelaparan karena kelangkaan pangan. Mereka mengatakan, makanan sangat langka sehingga tetangga mereka mati kelaparan. Situasinya disebut yang terburuk sejak tahun 1990-an, kata para ahli.
Pemerintah Korut menutup perbatasannya pada 2020, memutus pasokan penting. Hal ini juga memperketat kendali atas kehidupan masyarakat, kata narasumber BBC. Pyongyang mengatakan bahwa mereka selalu memprioritaskan kepentingan warganya.
BBC diam-diam mewawancarai tiga orang sipil di Korea Utara, dengan bantuan organisasi Daily NK yang mengoperasikan jaringan sumber di negara tersebut. Mereka mengatakan bahwa sejak penutupan perbatasan, mereka takut mati kelaparan atau dieksekusi karena melanggar peraturan.
Wawancara tersebut mengungkap sebuah "tragedi mengerikan sedang terjadi" di negara tersebut, kata Sokeel Park dari Liberty in North Korea (LiNK), yang mendukung pelarian warga Korea Utara.
Â
Advertisement
Tetangga Mati Kelaparan
Seorang wanita yang tinggal di ibu kota Pyongyang berkata bahwa ia mengenal sebuah keluarga beranggotakan tiga orang yang mati kelaparan di rumahnya. "Kami mengetuk pintu mereka untuk memberi mereka air, tapi tidak ada yang menjawab," kata Ji Yeon.
Ketika pihak berwenang masuk ke rumah, mereka menemukan keluarga itu tewas, katanya. Nama Ji Yeon telah diubah untuk melindunginya, bersama nama orang lain yang diwawancarai BBC. Seorang pekerja konstruksi yang tinggal di dekat perbatasan Tiongkok, yang kami panggil Chan Ho, memberi tahu kami bahwa persediaan makanan sangat sedikit sehingga lima orang di desanya meninggal karena kelaparan.
"Awalnya saya takut meninggal karena COVID-19, tapi kemudian saya mulai khawatir mati kelaparan," ujarnya.
Korea Utara tidak pernah mampu menghasilkan makanan yang cukup untuk 26 juta penduduknya. Ketika negara ini menutup perbatasannya pada Januari 2020, pihak berwenang berhenti mengimpor gandum dari China, serta pupuk dan mesin yang dibutuhkan untuk menanam pangan.
Â
Tidak Bisa Selundupkan Makanan
Sementara itu, Korea Utara membentengi perbatasan dengan pagar, dan dilaporkan memerintahkan penjaga menembak siapa pun yang mencoba menyeberang. Hal ini membuat hampir mustahil bagi orang menyelundupkan makanan untuk dijual di pasar tidak resmi, tempat sebagian besar warga Korea Utara berbelanja.
Seorang pedagang pasar dari bagian utara negara tersebut, yang kemudian dipanggil Myong Suk, mengatakan bahwa hampir tiga perempat produk di pasar lokal dulunya berasal dari China. Tapi, pasar tersebut "sekarang kosong."
Pendapatannya, seperti orang lain yang mencari nafkah dengan menjual barang selundupan melintasi perbatasan, sebagian besar hilang. Ia mengatakan bahwa keluarganya tidak pernah makan sesedikit ini, dan baru-baru ini ada orang yang mengetuk pintu rumahnya untuk meminta makanan karena mereka sangat lapar.
Dari Pyongyang, Ji Yeon menceritakan bahwa ia pernah mendengar ada orang yang bunuh diri di rumahnya atau menghilang ke pegunungan untuk mati, karena tidak bisa lagi mencari nafkah.
Advertisement