Liputan6.com, Jakarta - Parlemen Iran mengesahkan undang-undang baru yang menerapkan sanksi lebih keras kepada perempuan yang melanggar aturan berhijab. Legislasi yang dikenal sebagai RUU Hijab itu akan diberlakukan dengan masa percobaan tiga tahun.
Keputusan diambil beberapa hari setelah peringatan satu tahun protes massal yang merebak akibat kematian Mahsa Amini. Amini, perempuan dari suku Kurdi Iran, meninggal pada September 2022 setelah ditahan oleh polisi moral dengan tuduhan tidak menaati aturan berbusana yang berlaku di Iran.
Undang-undang itu menetapkan berbagai peraturan seputar berpakaian. Perempuan yang tidak mengenakan jilbab dengan benar di depan umum dan laki-laki yang mengenakan 'pakaian terbuka yang memperlihatkan bagian tubuh lebih rendah dari dada atau di atas pergelangan kaki' akan didenda yang angkanya meningkat secara bertahap bila dilanggar berulang kali, menurut RUU tersebut.
Advertisement
RUU tersebut juga menguraikan hukuman bagi selebriti dan dunia usaha yang tidak mematuhinya. Salah satunya adalah ancaman penjara hingga 10 tahun.
Dewan Penjaga, yang mengawasi urusan legislatif di Iran, masih perlu menyetujui RUU tersebut sebelum diterapkan. Semua rancangan undang-undang yang disahkan oleh parlemen harus ditinjau dan disetujui oleh dewan untuk menjadi undang-undang.
Pasal 50 UU baru tersebut termasuk salah satu yang disorot. Bunyinya, "Setiap orang yang tampil telanjang atau setengah telanjang di depan umum, di tempat umum atau di jalan raya, atau tampil dengan cara yang dianggap telanjang secara tradisional, akan segera ditangkap."
Pasal Lain yang Dikritisi
Menurut CNN, dikutip Jumat (22/9/2023), bunyi pasal itu ambigu karena UU tersebut tak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan 'setengah telanjang' di depan umum. Padahal, kejahatan itu dapat dihukum dengan hukuman penjara 'tingkat IV'. Berdasarkan hukum pidana Iran, hukuman tingkat IV dapat diancam penjara 5--10 tahun dengan denda antara 180 juta real hingga 360 juta real (Rp66 juta hingga Rp131 juta).
Menurut RUU tersebut, mereka yang berkolusi dengan media asing dan pemerintah untuk mempromosikan ketelanjangan, hijab yang tidak pantas, atau pakaian yang tidak pantas, juga akan menghadapi hukuman 10 tahun penjara. Mereka yang dinyatakan bersalah karena mengejek atau menghina hijab akan dikenakan denda, selain kemungkinan larangan bepergian hingga dua tahun, kata RUU tersebut.
RUU tersebut juga menargetkan orang-orang yang 'berpengaruh secara sosial', seperti selebgram. Jika terbukti bersalah melanggar RUU tersebut, mereka dapat menghadapi hukuman penjara tingkat IV dan diminta untuk membayar denda sebesar 1--5 persen dari total aset mereka.
RUU ini juga mengatur boneka dan mainan yang dilarang untuk menggambarkan hal-hal yang tidak senonoh. RUU yang terdiri dari 70 pasal itu mencakup sejumlah usulan, termasuk penggunaan kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi perempuan yang melanggar aturan berpakaian.
Advertisement
Dikecam Aktivis, Disamakan dengan Praktik Apartheid
RUU tersebut sontak dikecam banyak aktivis hak asasi manusia. Pakar PBB bahkan menilai RUU itu sebagai 'apartheid gender'.
Para ahli mengatakan RUU tersebut merupakan peringatan bagi rakyat Iran bahwa rezim tersebut tidak akan mundur dari sikapnya terhadap hijab meskipun terjadi demonstrasi massal tahun lalu. Kematian Amini memicu protes nasional yang mengguncang negara tersebut, dan menjadi salah satu ancaman domestik terbesar terhadap rezim ulama yang berkuasa di Iran dalam lebih dari satu dekade.
Sanam Vakil, direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara di lembaga pemikir Chatham House di London, mengatakan ini adalah 'respons yang jelas terhadap protes yang terjadi pada bulan September musim gugur lalu'. Ia juga menilai bahwa lembaga tersebut berusaha untuk 'menegaskan kembali otoritas mengenai jilbab dan persyaratan yang diharapkan dari perempuan.'
Sementara, Hossein Raeesi, seorang pengacara hak asasi manusia Iran dan profesor di Universitas Carleton di Ottawa, Kanada, menyebut beberapa tindakan dalam rancangan undang-undang tersebut telah 'secara tidak sah' dilakukan oleh pasukan keamanan Iran. Salah satunya menutup perusahaan asuransi di Teheran setelah beberapa foto pegawai perempuan tanpa hijab beredar di media sosial.
"Dengan RUU ini, pemerintah akan melegalkan perilaku ilegal yang dilakukan oleh kelompok tersebut," kata Raeesi.
Sejarah Aturan Penggunaan Hijab di Iran
Mengenakan jilbab telah diwajibkan bagi perempuan di Iran sejak 1983, setelah monarki otokratis negara itu digulingkan dalam Revolusi Islam pada 1979. Undang-undang baru ini meningkatkan denda berdasarkan hukum pidana Islam saat ini, dengan mereka yang melanggar aturan berpakaian akan menghadapi hukuman antara 10 hari hingga dua bulan penjara, atau denda antara 50.000 hingga 500.000 rial Iran (sekitar Rp18 ribu hingga Rp182 ribu)
Berdasarkan undang-undang baru, pemilik bisnis yang tidak menerapkan persyaratan jilbab akan menghadapi denda yang lebih besar, yang berpotensi nilainya tiga bulan keuntungan bisnis mereka. Mereka juga berisiko menghadapi larangan meninggalkan negara tersebut atau berpartisipasi dalam aktivitas publik atau dunia maya hingga dua tahun.
Rancangan undang-undang tersebut juga akan mengamanatkan segregasi gender yang lebih luas di universitas – yang merupakan pusat protes sipil – dan ruang publik lainnya.
Polisi moral Iran sebagian besar telah mundur setelah protes tahun lalu. Namun pada Agustus 2023, juru bicara kepolisian Jenderal Saeed Montazerolmahdi mengatakan polisi moral akan kembali bertindak dan menahan perempuan yang tertangkap tanpa mengenakan jilbab di depan umum.
Advertisement