Liputan6.com, Jakarta - Tiap daerah di Indonesia menyimpan kekayaan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber atau bahan pangan untuk masa depan. Kekayaan bahan pangan lokal itu tentunya bisa menjadi salah satu hal yang dapat meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia.
Salah satu bahan pangan lokal yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah beras. Namun menurut pakar ilmu dan teknologi pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Purwiyatno Hariyadi,, dengan kondisi perdagangan global seperti sekarang, pertkaran bahan pangan dari satu negara (daerah) ke negara lain menjadi sangat tinggi intensitasnya.
"Hal ini juga berlaku bahkan untuk bahan makanan lokal yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat kita, misalnya beras. Kita katahui sebagian beras kita juga terpaksa harus impor," terang Prof Purwiyatno pada Liputan6.com, Jumat, 22 September 2023.
Advertisement
Meski begitu, Purwiyatno mengatakan, beberapa bahan lokal seperti minyak sawit dan aneka rempah umunnya adalah bahan lokal Indonesia. Namun untuk keperluan industri, beberapa produk rempah terkadang juga terpaksa harus dimpor, seperti bubuk cabai. Padahal Indonesia masih punya banyak bahan pangan lokal yang kualitasnya bagus tapi belum banyak dikonsumsi masyarakat.
Menurut Purwiyatno, ada berbagai produk khas dari daerah tertentu, yang hanya dikenal oleh masyarakat setempat, sesuai dengan budaya pangan lokalnya masing-masing. Produk demikian umumnya masih terbatas penggunaannya. Banyak dari bahan lokal tersebut juga berpotensi sebagai pangan fungsional, yaitu pangan dengan fungsi-fungsi atau khasiat tambahan lain, selain fungsi penyedia zat gizi bagi tubuh.
"Contohnya, buah merah (Pandanus conoideus) dan sarang semut (Tumbuhan bernama latin myrmecodia) dari Papua, dan lain sebagainya. Belum lagi bahan bernilai tinggi seperti pala, kopi, vanila, dan lain-lain," ujarnya.
Memanfaatkan Potensi Bahan Pangan Lokal
Salah satu bahan lokal berlimpah adalah sagu, yang sampai saat ini masih belum dimanfaatkan secara baik dan maksimal karena hanya digunakan di daerah tertentu saja sehingga dikonsumsi secara terbatas. Prof Purwiyatno mengatakan, perlu kegiatan eksplorasi terhadap potensi sumber-sumber pangan yang berlum dimanfaatkan dengan baik, atau bahkan berpotensi sebagai sumber pangan baru.
Eksplorasi sumber pangan baru ini sangat penting dilakukan, terutama sumber pangan dari laut dan hutan. Setalah eksplorasi tentu perlu karakterisasi, dan identifikasi potensi keuanggulannya, sehingga nantinya dapat diindustrialisasikan dengan sistem yang lebih berkelanjutan seperti dengan melibatkan industri kecil lokal,
"Karena berbagai bahan tersebut sifatnya lokal, maka perlu juga perhatian pemerintah daerah untuk kegiatan eksplorasi, karakterisasi dan nantinya industrialisasi bahan pangan tersebut," jelasnya. Prof Purwiyatno juga mengakui tantangan juga datang dari bahan pangan luar negeri atau impor.
Ia mengatakan, hal ini jadi tantangan Pemerintah Indonesia untuk dapat memanfaatkan potensi pangan lokalnya dengan baik. Perlu ada upaya dan kebijakan khusus, sistemasi dan kontinuitas mengenai hal ini; untuk membangun industri pangan atau makanan yang berbasiskan potensi lokal.
"Tentu, utamanya, tergantung kebijakan pemerintah . Seberapa besar perhatian dan komitmen pemerintah untuk berinvestasi mengksplorasi potensi pangan lokal Indonesia tersebut," tuturnya.
Advertisement
Kandungan Gizi Bahan Pangan Lokal
Dari sisi gizi dan kesehatan, bahan pangan lokal yang banyak digunakan masyarakat Indonesia seperti beras, jagung, kentang atau minyak goreng juga mengandung zat gizi. "Beras, jagung dan kentang adalah sumber zat gizi berupa karbohidrat. Sedangkan minyak goreng mengandung zat gizi berupa lemak. Jadi, ada kandungan zat gizinya," terang Pratiwi seorang ahli gizi dan nutritionist pada Liputan6.com Jumat, 22 September 2023.
"Perkara menyehatkan atau tidak, tergantung dari profil/status kesehatan orang yang mengonsumsinya, serta tergantung dari porsi, cara pengolahannya, dan penyajiannya. Konsumsi nasi putih pun bisa menyehatkan, misalnya jika porsinya ditakar dan disajikan bersama sayur-mayur yang memadai, buah, dan sumber protein," tambahnya.
Menurut Pratiwi, bahan pangan yang bisa menjadi penggantinya cukup banyak. Misalnya sumber karbohidrat bisa divariasikan dengan gandum, singkong, quinoa, barley dan sebagainya. Untuk minyak goreng (sawit) bisa diganti dengan minyak kelapa, minyak kanola, minyak zaitun, dan sebagainya. Meski diganti dengan opsi lain, tetap porsi atau jumlah dan cara pengolahannya juga harus diperhatikan.
Namun bahan-bahan pangan pengganti atau alternatif tersebut bisa dibilang masih kurang diminati. Ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi pemilihan makanan, mulai dari rasa, harga, familiaritas, ketersediaan dan sebagainya.
Modifikasi dan Pengembangan Teknologi Pangan
"Mungkin bahan-bahan pengganti tersebut mahal, misalnya minyak zaitun yang lebih mahal daripada minyak goreng (sawit). Mungkin juga karena tidak familiar atau tidak biasa. Contohnya, saking sudah terbiasa atau menganggap “belum makan kalau belum makan nasi”, jadi tidak nyaman jika nasi diganti kentang atau barley," ujar Pratiwi.
Dari sudut pandang seorang juru masak atau chef, banyak bahan pangan lokal yang bisa dieksplor untuk dikonsumsi, mulai dari umbi porang, sukun, talas, sampai quinoa. Selain itu, bahan pangan lokal yang belum terlalu dikenal seperti porang, sorgum, ganyong,, hotong dan jemawut, rasanya termasuk enak saat sudah dimasak seperti bahan pangan lokal lainnya yang lebih populer
"Hanya saja kelemahan mendasar di negara kita, masih sedikit yang peduli terhadap edukasi modifikasi pangan dan pengembangan teknologi pangan. Ibarat kata masih kurangnya dukungan dari pemerintah maupun pihak-pihak yang terkait," kata Chef Kongs selaku Head of Corporate Chef PT Sasa Inti.
Advertisement
Bahan Pangan Alternatif
"Contoh mendasar. umbi porang atau iles-iles yang mnjadi bahan baku pembuatan shirataki. Itu kenapa mggak dikembangkan di megara kita, padahal bisa mnghasilkan makanan enak dan harganya lebih terjangkau," sambungnya.
Bahan pangan alternatif seperti itu memang kurang diminati karena berbagai faktor. Menurut Chef Kongs, salah satunya karena kurangnya edukasi pengolahan bahan tersebut sehingga orang terpaku hanya rebus atau goreng. Jadi rasanya cenderung flat sehingga tidak diminati gen Z atau bisa dibilang tidak mengikuti tren.
"Selain itu bisa juga karena kurang edukasi tentang bahan pangan alternatif sehingga mempengaruhi ke demand yang lebih sedikit. Karena demandnya sedikit ini akan membuat petani enggan untuk menanam bahan pangan tersebut secara masif,” ungkapnya.
Menurut Chef Kongs, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk lebih memperkenalkan bahan pangan lokal tersebut agar lebih dkenal secara nasional. "Salah satunya adalah kerja sama para chef dengan pihak IPB dan ITB untuk teknologi pangannya. Buatlah sesuatu yang unik dengan teknologi yang ada dengan rasa yang telah di create oleh para chef atau ahlinya," terangnya.