Liputan6.com, Jakarta - Kuliner Indonesia berkembang pesat lebih dari satu dekade terakhir, hal ini dapat dilihat dari kemunculan restoran Indonesia yang semakin banyak menampilkan menu makanan lokal yang representatif dan menggaet pasar kelas atas. Â
Meski demikian, bukan berarti tidak ada tantangan, sebab invasi kuliner asing pun terus berdatangan. Selain jajanan kaki lima yang menawarkan batagor hingga cilok, banyak juga pemilik usaha kuliner yang tak ragu menjajakan tteokbokki dan takoyaki karena banyak peminatnya.
Baca Juga
Penulis dan Pengamat Kuliner, Kevindra Prianto Soemantri mengungkapkan, invasi makanan-makanan asing sebenarnya sudah lama terjadi dengan pengaruh pop culture atau budaya pop di era tahun 1970-an dan 1980-an lewat video klip musik dan film-film Hollywood. "Implikasinya muncul fast food dan soda. Sebelumnya fast food nggak populer lalu muncul restoran KFC dan Aha," sebut Kevin saat dihubungi Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Kamis, 21 September 2023.
Advertisement
Masa itu merupakan tanda pertama kalinya pop culture masuk ke Indonesia. Selanjutnya pada awal 2000-an masuk manga Jepang Naruto yang membuat ramen jadi merajarela. "Padahal dari satu anime doang dan sekarang sebenarnya kita nggak bisa anggap enteng pop culture dalam globalisasi budaya kuliner," sambungnya lagi.
Pengaruh lewat budaya pop bahkan masih berlanjut menjadi cara negara asing untuk menginvasi makanan-makanan lokal lewat Kpop dan drakor yang memperkenalkan kimchi, tteokboki hingga sundubu jjigae, jenis makanan Korea yang sering ditampilkan dalam film.
Pengaruh Migrasi Besar-besaran
Lebih lanjut, Kevindra mengatakan bukan hanya melalui pengaruh budaya pop, kuliner asing juga lebih mendunia lantaran dulu sempat terjadi migrasi penduduk besar-besaran akibat perang. Ia menyontohkan makanan Vietnam jadi populer di Australia yang ketika itu membuka suaka, karena sempat ada migrasi besar di tengah berlangsungnya perang Vietnam dengan Amerika.
Begitu juga makanan dan restoran Indonesia yang dapat dengan mudah ditemui di Belanda karena banyak penduduk Indonesia yang dulu berpindah ke sana. Meski sekarang hampir sudah tidak ada perang yang menyebabkan migrasi besar-besaran, pengaruh politik, sosial budaya dengan makanan sangatlah berdampak besar.
Selain itu memang tak dipungkiri bahwa anak muda akan terpincut dengan kuliner asing, namun hal ini lebih kepada rasa penasaran. Namun kuliner luar pun sifatnya juga sebagai inspirasi. "Sekarang tidak ada migrasi besar-besaran globalisasi kuliner terhenti dan penyebarannya berganti melalui budaya pop," katanya lagi.
Nunik Maharani, Director of Sustainability and Corporate Communication, ANJ Group sebagai produsen Sagu Sapapua, mengatakan, globalisasi bukanlah isu baru, demikian pula inovasi produk makanan. Banyak pula makanan yang dianggap asli Indonesia justru berasal atau sangat terpengaruh oleh makanan asing, misalnya bakso dan mi ayam.
Ia justru melihat fenomena akibat dunia yang kian tanpa batas ini sebagai tantangan sekaligus peluang. Bahan pangan seperti sagu dan edamame, sebagai salah satu produk yang diproduksi ANJ Group pun menurutnya sangat berpeluang memperbanyak pilihan aneka produk pangan.
Advertisement
Bahan Pangan Lokal Indonesia Masih Banyak yang Bisa Dieksplore
Di sisi lain Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam mengembangkan kulinernya. Hal ini melihat begitu kayanya Indonesia dengan bahan baku lokal yang bisa dikreativitaskan.
Nunik pun menyambung, bahwa sukses swasembada pangan yang bertitik berat pada padi menjadikan Indonesia sebagai negara konsumen beras. Pangan yang sebelumnya menjadi menu utama di beberapa daerah, semisal sagu, pisang, atau singkong, perlahan berubah menjadi pangan komplementer. Bahkan dianggap sebagai camilan, itu pun dengan eksplorasi terbatas.
Padahal, sebagai bahan pangan, sagu bisa dikembangkan menjadi turunan yang sangat variatif. Masyarakat kita, utamanya kaum muda, misalnya, senang mengonsumsi mie. Sagu bisa menjadi salah satu bahan dasar mie yang sangat bagus.
"Pertanyaan kemudian, seberapa kreatif koki, juru masak, atau penggiat kuliner, dan kita sendiri mengolah sagu? kata Nunik.
Selain itu menurutnya makin banyaknya jajanan kaki lima dari luar bermunculan dan populer di masyarakat, lantaran makanan tersebut bisa dikemas cepat dengan standar rasa yang terjaga. Sementara kebanyakan produk jajanan Indonesia harus disiapkan dengan kerumitan tertentu, kemudian rasanya juga sangat mungkin tidak konsisten.
"Dengan belajar pada invasi makanan-makanan cepat saji dari luar, kita tahu bahwa produk yang bakal disukai umum, bukan hanya generasi muda, adalah yang dapat disajikan dalam waktu cepat, rasa yang tidak berubah, dan yang terpenting mudah ditemukan," paparnya.
Sementara itu, untuk mempopulerkan sagu, ANJ bahkan mendirikan restoran Bueno Nasio yang khusus menjadikan sagu sebagai bahan baku utama. Bueno Nasio, kata Nunik, berfungsi sebagai ruang promosi untuk menunjukkan bagaimana sagu dapat memainkan peran kunci dalam produksi makanan berkelanjutan, sehingga berkontribusi terhadap ketahanan pangan Indonesia dan meningkatkan mata pencaharian di daerah penghasil sagu.
Â
Kreativitas Para Chef Ikut Memajukan Kuliner Indonesia
Di sisi lain kuliner Indonesia yang beragam dari Sabang hingga Merauke turut menjadi tantangan untuk memperkenalkannya. Ada pula bahan baku khas yang hanya ditanam di wilayah tertentu, misalnya bumbu andaliman khas Batak.Â
"Andaliman baru-baru ini populer di kalangan masyarakan luar Batak," sambung Kevindra.Â
Tentu pemakaian andaliman yang diperkenalkan di masyarakat umum merupakan andil besar para chef yang mengenalkannya di luar wilayah Sumatera sebagai bumbu penyedap yang mirip lada. Keunikan bumbu khas lain dari etnis tertentu juga menjadi "pekerjaan besar" bagi chef karena chef memiliki kapasitas untuk mengkreativitaskan bumbu atau makanan tertentu agar populer di ranah domestik.
Kevindra juga menyontohkan sei sapi yang dulunya hanya populer di masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Lantaran dikenalkan oleh seorang chef di Bandung, jenis makanan ini pun menjadi umum bagi orang Indonesia.
Sekarang sei sapi juga bisa ditemukan sebagai menu yang dijual secara daring melalui pemesanan online. Para pebisnis kuliner menurutnya juga punya andil besar untuk menjadikan menu tersebut populer.
"Kuliner harus masuk ke ranah lifestyle supaya bisa populer. Bagaimana meningkatkan respect kuliner indonesia, agar mau bayar mahal kuliner indonesia harus kita sadari." tambah Kevindra lagi.
Di samping itu, meski ada invasi makanan-makanan asing, Kevin menilai bahwa saat ini kita harus bersyukur karena kesan positif terhadap kuliner Indonesia makin naik. Kini semakin banyak restoran Indonesia yang representatif mengusung konsep lokal seperti Remboelan, Seribu Rasa, Kaum, hingga Tesate dan sejenisnya bermunculan.
"Harganya tidak murah, dengan adanya itu, ternyata makanan Indonesia bisa dibawa ke level dining karena dulu belum banyak," imbuhnya.Â
Â
Advertisement