Sukses

Mengulik Kain Gambo dari Musi Banyuasin yang Jadi Favorit Iriana Jokowi

Industri fesyen dan tekstil termasuk golongan yang rentan merusak lingkungan saat memproduksi kain. Belum semua produsen mampu menerapkan eco fashion yang sudah lama mengemuka.

Liputan6.com, Jakarta - Industri fesyen dan tekstil tergolong rentan merusak lingkungan saat memproduksi kain. Dorongan untuk menerapkan eco-fashion yang sudah lama mengemuka, dalam praktiknya belumlah semua produsen melakukannya. 

Padahal, Indonesia sebagai negeri yang kaya sumber daya, memiliki begitu banyak bahan baku alam sebagai pengganti pewarnaan teksil kimia yang tak ramah lingkungan. Salah satunya Kain Gambo, jenis wastra yang dikerjakan dengan teknik ikat celup.

Wastra ini bisa sebagai cerminan baru bahwa produk fesyen bisa tetap terlihat modis tanpa merusak lingkungan. Kain Gambo yang berasal dari Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, dibuat oleh masyarakat desa setempat lantaran melimpahnya tanaman gambir.

Gambir yang merupakan tanaman perdu merambat, tumbuh di sekitar pohon karet yang dulu menjadi komoditi utama wilayah ini. Seiring waktu, hasil dari olahan pohon karet menurun nilainya, masyarakat pun beralih memanfaatkan getah tanaman gambir untuk bahan baku pewarna alami Kain Gambo. Inilah yang menjadi asal-usul nama Kain Gambo karena menggunakan getah gambir sebagai pewarna.

"Ibu Iriana Jokowi suka banget dengan Kain Gambo," ungkap Grant & Resource Mobilization Manager Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Vitri Sekarsari saat ditemui Liputan6.com di acara Kelas Berkain dalam gelaran Inacraft on October, Jumat (6/10/2023).

Kain Gambo bahkan pernah tampil di ajang Indonesia Fashion Week pada 2021. Menurut Vitri, Iriana menyukai Kain Gambo karena ia tidak menyangka ada kain yang bisa dibuat dengan pewarna alami dari getah gambir. 

2 dari 4 halaman

Pewarnaan Alam Jadi Ciri Khas Kain Gambo

Keunikan dari getah gambo sebagai pewarna alami dapat dilihat dari hasil warnanya yang berkisar antara cokelat terang, hitam, abu-abu, dan oranye. Ada pula hasil warna yang mengarah kuning kunyit. Menurut Vitri, tiap mencelup, hasil warnanya hampir tidak ada yang seragam.

"Kalau kamu lihat ada yang jualan mirip (warna) itu berarti pakai gambo (getah gambir)," sambungnya. 

Fitri menjelaskan pengerjaan Kain Gambo memakai teknik ikat jumputan yang dilakukan bersama-sama dan memiliki filosofi gotong royong bagi warga Musi Banyuasin. Hasilnya, motif yang ada pada Kain Gambo juga seperti jumputan. Material kain yang dipakai untuk membuat Kain Gambo adalah katun, sutera dan viscose.

Kain Gambo yang dibawa LTKL berasal dari Desa Toman, Kabupaten Musi Banyuasin. Pewarna alami dari getah gambir ini menyerap dengan baik dan terikat di dalam kain meski tanpa campuran bahan kimia lainnya. Warna kain tetap awet dan tidak luntur sehingga Gambo Muba menjadi salah satu eco-fashion terbaik asli Indonesia, sekaligus menjadi jawaban atas masalah limbah dari pewarna kimia di industri tekstil.

Ia mengatakan awalnya, Kain Gambo di Musi Banyuasin hanya dikerjakan oleh empat perajin pada 2017. Kini perajinnya sudah bertambah jadi 108 di dua desa utamanya. Tak hanya memproduksi Kain Gambo, kabupaten tersebut akhirnya juga menjadi tujuan wisata pendatang seperti halnya jika wisatawan mendatangi Nusa Tenggara Timur ke sentra tenunnya. 

3 dari 4 halaman

Kain Tenun Ikat dari Sintang

Selain Gambo Muba, ada juga Kain Tenun Ikat dari Sintang yang merupakan warisan asli suku Dayak. Keotentikan dan murni dari budaya Dayak ini yang membuat kain ikat Sintang memiliki nilai seni tinggi.

Kain Tenun Ikat Sintang juga memanfaatkan alam di sekitar untukmembuatnya dan pembuatannya melewati proses yang panjang. Mulai dari pembuatannya menanam kapas, ngaos atau memintal benang, memberikan warna pada benang dengan mencelupkannya, mengikat motif, hingga menenun dengan alat tenun yang terbuat darikayu dan bambu dan biasa disebut ‘gedokan’.

Semua rangkaian tersebut dilakukan secaramanual oleh masyarakat Dayak. Prosesnya bahkan bisa memakan waktu satu bulan hanya membuat selembar kain ukuran taplak meja. Adapun untuk yang seukuran selimut bisa menghabiskan waktu hingga 6 bulan lamanya.

Kain sintang pun merupakan salah satu yang mengamalkan ekonomi lestari. Proses pembuatannya benar-benar murni memanfaatkan lingkungan sekitar, mulai dari tumbuhan, hewan, sungai, hutan dan lain-lain. Para pengrajin kain ikat sintang juga memanfaatkan alam yang berkelanjutan karena itu tidak ada satu pun alam atau lingkungan yang rusak terbuang sia-sia.

4 dari 4 halaman

Nilai Keberlanjutan Fesyen

Fesyen atau industri pakaian adalah salah satu sektor yang paling umum dengan potensi besar untuk penambah devisa. Akan tetapi, fesyen yang baik adalah fesyen yang memiliki nilai keberlanjutan.

Nilai keberlanjutan di sini berarti produk berbasis alam yang diolah secara ramah sosial dan ramah lingkungan dapat dikenal sekaligus menjadi bagian dari rantai pasok sektor bisnis. Berhubungan dengan itu, berkain juga menjadi salah satu cara untuk memperkenalkan eco fashion.

Pada acara INACRAFT kali ini, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) menggandeng pengajar berkain untuk memperagakan berbagai macam cara berkain menggunakan produk kain UMKM dengan berbahan dasar alam. Harapannya UMKM bisa naik kelas dan dapat dikenal serta mudah diakses oleh masyarakat umum.

Kegiatan ikut menghadirkan Reni Kusuma Wardhani, Penulis Buku Step byStep 37 Gaya Mari Berkain yang mengajarkan 12 gaya berkain yang bisa digunakan sehari-hari. Ristika Istanti, Kepala Sekretariat Interim Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) mengatakan, "Melalui kegiatan bangga berkain LTKL mengajak untuk bangga menggunakan produk lokal, menggunakan produk berbasis alam bukan hanya karena kualitasnya tinggi namun juga bisa memberi manfaat ekonomi nyata bagi masyarakat kabupaten di daerah lain."

Menurutnya, kegiatan menjadi sumbangsih untuk pertumbuhan ekonomi dan pemulihan hutan, gambut, sungai, pesisir dan ekosistem penting Indonesia. Ia berharap semakin banyak orang yang bangga menggunakan produk lokal. 

 

Video Terkini