Liputan6.com, Jakarta - Bersamaan dengan Hari Kesehatan Mental Sedunia pada 10 Oktober, di Indonesia beredar hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018. Hasil survey itu mengindikasikan bahwa lebih dari 19 juta penduduk usia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta orang di usia yang sama mengalami depresi.
Ada begitu banyak tantangan dalam menjaga kesehatan mental, salah satunya adalah sumber stres di lingkungan kerja. Sebuah studi dari Gallup berjudul "State of the Global Workspace Report" (2022) menyebutkan sebanyak 21 persen responden pekerja di Indonesia mengaku sering stres.
Baca Juga
Bentuk gangguan kesehatan mental yang sering terjadi di lingkungan kerja antara lain: tingkat stres yang tinggi, kecemasan berlebihan dan depresi. Hal ini juga terlihat dari dampaknya yang berpotensi memengaruhi performa serta kapabilitas karyawan, yang pada akhirnya bisa mengganggu produktivitas perusahaan.
Advertisement
Hal itu didukung oleh sebuah studi dari WHO (2019) yang menyatakan bahwa secara global depresi dan kecemasan dapat menyebabkan nilai produktivitas yang hilang sebesar 1 triliun dolar AS. Situasi itu membuat sejumlah perusahaan berkomitmen untuk lebih memperhatikan kesehatan mental para karyawannya.
Salah satunya adalah Procter & Gamble (P&G Indonesia). Menurut dr. Dian Milasari selaku Medical Director for AMA East (Asia Pacific), P&G, salah satu bentuk komitmen pihaknya adalah memperhatikan kondisi kesehatan mental para pekerja di lingkungan kerja P&G secara berkesinambungan.
"Dengan berbagai intervensi dan program penunjang kesejahteraan dan kesehatan karyawan ini, kita optimis yakin dapat memberikan dampak positif yang nyata bagi performa dan kapabilitas karyawan, dan pada akhirnya keberlanjutan bisnis," terang dr Dian pada Liputan6.com di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (10/10/2023).
"Kami berharap langkah kecil yang kami lakukan ini dapat membantu meningkatkan kesadaran bersama akan pentingnya menjaga kesehatan mental di lingkungan kerja," lanjutnya.
Untuk mewujudkan hal itu, mereka melakukan dua inisiatif, yakni Program Utama dan Program Pendukung. Untuk program utama, P&G membentuk tim profesional yang dapat memberikan panduan untuk setiap kondisi kesehatan baik fisik maupun mental karyawan.
Â
Â
Layanan Kesehatan Mental Profesional
Tim profesional tersebut meliputi Employee Assistance Program (EAP) yang merupakan layanan psikologi profesional untuk dukungan kesehatan mental, dan tim medis internal seperti dokter dan perawat. Selain itu, benefit yang diberikan oleh P&G Indonesia kepada karyawannya juga telah mencakup asuransi yang menaungi kasus/layanan kesehatan mental.
Program utama yang kedua adalah adanya peran Mental Health First-Aiders/Healthy Mind Champion. Mereka adalah karyawan P&G Indonesia yang sudah dilatih dan disertifikasi oleh lembaga Singapore Red Cross Academy, sehingga diharapkan bisa membantu para karyawan lainnya dalam mendeteksi dan mengidentifikasi karyawan yang kemungkinan memiliki tanda-tanda awal masalah kesehatan mental.
Setelah itu melakukan pendekatan dan mengarahkan mereka ke layanan kesehatan mental profesional untuk mendapatkan perawatan yang sesuai. Hingga saat ini program pelatihan 'Healthy Mind Champion' sudah berlangsung tiga kali di P&G Indonesia, dengan total 50 orang karyawan yang sudah tersertifikasi sebagai Mental Health First Aiders.
"Jadi karyawan yang ingin berkonsultasi dan mengadukan masalah yang mereka hadapi di tempat kerja bisa menceritakan semuanya tanpa takut menyinggung rekan kerja atau atasan mereka. Apa yang mereka ungkapkan dan feedback dari tim kita tdaik akan diungkapkan atau dibocorkan ke orang lain termasuk atasan mereka, jadi benar-benar confidential," ungkap dr Dian.
Advertisement
Kesehatan Fisik dan Mental
Inisiatif program lain yang diberikan P&G kepada karyawannya adalah Vibrant Living. Program ini berusaha untuk menginspirasi dan membantu para karyawan untuk menjalankan hidup yang lebih sehat, positif dan bersemangat.
"Kita memberikan benefit yang bisa digunakan karyawan untuk mengikut beberapa program seperti kebugaran fisik, membeli peralatan olahraga, program pengembangan diri, serta berbagai acara/pelatihan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pengembangan diri karyawan," terang Talissa Carmelia, M.Psi., Clinical Psychologist, dari Personal Growth yang merupakan mitra P&G Indonesia dalam menyediakan layanan kesehatan mental profesional dan pengembangan diri bagi karyawan,
"Kita meyakini kesehatan mental ini juga erat kaitannya sama kesehatan fisik, makanya kita sangat memperhatikan bidang olahraga ini. Di pabrik, P&G Indonesia juga menyediakan sarana olahraga dan kebugaran, fasilitas medis serta ruangan istirahat yang nyaman bagi para pekerja. Bagi kami lebih penting para karyawan istirahat sejenak karena biasanya mereka akan lebih bugar dan produktif saat kembali bekerja," sambungnya.
Mengenai banyaknya orang usia muda seperti Gen Z dan milenial yang mengalami gangguan mental emosional, terutama yang sudah bekerja menurut Talissa Carmelia, penyebabnya bisa karena beberapa hal, seperti tuntutan kerja yang semakin besar, tekanan d dalam keluarga atau lingkungan dan bisa juga karena pengaruh media sosial.
Media Sosial dan Kesehatan Mental
"Target pekerjaan atau bahkan mereka yang masih sekolah dan kuliah sekarang ini hampir selalu dibebani target yang tinggi, terutama karena sekarang sudah banyak fasilitas yang tersedia, teknologi yang semakin maju dan kerap menuntut hasil yang cepat atau instan. Merek yang termasuk generasi baby boomers atau diatas Gen Z dan milenial, mungkin sudah terbiasa meghadapi berbagai hambatan karena sudah banyak pengalaman," terang Talissa.
Ia menambahkan, hubungan dengan keluarga atau lingkungan juga bisa mempegaruhi tekanan terhadap diri mereka. Untuk itu, keharmonisan hubungan keluarga juga berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Faktor lainnya adalah pengaruh media sosial yang menurut Talissa bisa seperti pisau bermata dua karena punya kelebihan sekaligus kekurangan.
"Gen Z dan milenial sangat aware terhadap teknologi internet termasuk media sosial. Mereka bisa mendapat banyak solusi dari kemajuan teknolog, tapi sebaliknya bisa gampang terpengaruh dengan berbagai komentar di media sosial. Sedangkan generasi yang lebih tua atau senior biasanya tidak terlalu peduli dengan pendapat netizen, apalagi yang terkesan negatif," tuturnya.
"Tentunya itu kesimpulan secara umum, tidak bisa dipukul rata. Penanganan masalah kesehatan mental tiap orang pastinya berbeda karena tiap individu adalah pribadi yang unik dan punya karakter berbeda-beda," pungkasnya.
Â
Advertisement