Liputan6.com, Jakarta - Perundungan, lebih dikenal sebagai bullying, telah menjadi isu yang mendesak dalam masyarakat pendidikan Indonesia. Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) 2018 mencatat bahwa 41 persen anak usia sekolah di Indonesia mengalami perundungan beberapa kali dalam sebulan.
Prihatin masalah itu, pelajar dari National High Jakarta School meluncurkan inisiatif berjudul Stand Up, sebuah gerakan kampanye anti-perundungan yang disalurkan melalui medium seni teater musikal. Stand Up bukan sekadar pertunjukan, tetapi representasi dari suara-suara yang ingin memerangi perundungan.
Baca Juga
Pada pertengahan 2023, Stand Up mempersembahkan pertunjukan musikal perdana mereka, "The Fairy with Tiny Wings". Pertunjukan ini merupakan kombinasi antara cerita yang bersifat magis, kemampuan sebuah karakter untuk bertahan, dan pentingnya menghargai perbedaan.
Advertisement
Inisiatif ini didorong oleh tiga remaja pelajar, yakni Deanza Andriansyah, Adriana Harymoelia, dan Natasha Yu. Mereka berbagi visi tentang pentingnya memberantas perundungan di sekolah dan masyarakat luas.
"Melalui pertunjukan teater musikal yang interaktif, kami ingin menanamkan pesan bahwa setiap anak harus belajar tentang kekuatan kata-kata dan tindakan, serta bagaimana menggunakannya untuk membangun dunia yang lebih baik." ungkap Deanza Andriansyah, salah satu pendiri Stand Up, berdasarkan rilis yang diterima Liputan6.com, Rabu, 11 Oktober 2023.
"The Fairy with Tiny Wings" mengeksplorasi kisah Ruby, seorang peri dengan sayap mungil yang terus-menerus diejek oleh teman-temannya. Seiring berjalannya cerita, Ruby bertemu dengan makhluk mistis, Hanseldoft, yang membantunya melihat nilai sesungguhnya dari sayap-sayap kecilnya.
Banyak Pesan yang Dapat Dipetik
Perjalanan Ruby berujung pada tindakan heroik yang bukan hanya merubah pandangan teman-temannya, namun juga mempromosikan penghormatan baru terhadap suatu keragaman. Pertunjukan itu disajikan dengan musik dan tarian yang menyentuh, menyampaikan pesan mengenai daya tahan, introspeksi, dan penerimaan diri.
Setelah kesuksesan pertunjukan pertama di National High Jakarta School, Stand Up berencana untuk menghadirkan teater musikal di berbagai sekolah di Indonesia, baik internasional maupun lokal.
"Kami sangat mengharapkan dukungan dari semua pihak, khususnya dari pemerintah. Melalui kisah Ruby yang penuh emosi, kami ingin mengajak mereka yang pernah menjadi korban atau saksi perundungan untuk aktif mendukung budaya yang penuh empati," ujar Deanza.
Deanza menegaskan bahwa dengan kerja sama, semua orang bisa menciptakan dunia di mana keragaman dihargai dan setiap anak didorong untuk berdiri melawan perundungan. Inisiatif yang seiras juga dilakukan oleh Jakarta Musical Crew (Jaksical), yang menghadirkan pertunjukan teater musikal berjudul "Kapan Resign?" yang mengangkat isu kesehatan mental, khususnya di tempat kerja.
"Kapan Resign?" merupakan cerminan dari realita dunia kerja kontemporer yang banyak dari kita alami. Menyoroti dinamika pekerjaan, tekanan, dan tantangan di lingkungan kerja, Jaksical mengajak penonton untuk merefleksikan apa yang sebenarnya dicari dalam sebuah pekerjaan dan bagaimana kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan mental dan produktivitas.
Advertisement
Angkat Isu Kesehatan Mental di Tempat Kerja
"Awalnya itu kita ambil dari awareness yang ada di sekitar kita, yaitu burnout dan juga overwork," ungkap Olivia Dwiyanti selaku Co-Producers dari Musikal "Kapan Resign?" saat konferensi pers di Jakarta Pusat, Selasa, 19 September 2023.
Pertunjukan ini telah berlangsung pada 6--8 Oktober 2023 di Teater Salihara, Jakarta Selatan. Tidak hanya satu atau dua kali, tapi pertunjukan digelar tujuh kali dalam tiga hari itu.
Yang paling menonjol dari "Kapan Resign?" adalah elemen interaktifnya. Jaksical membawa inovasi dengan membiarkan penonton memiliki kendali atas jalan cerita. Para penonton bukan hanya sekedar saksi, tapi juga menjadi bagian dari narasi. Mereka diberi kebebasan untuk memilih bagaimana kisah ini akan berakhir, dengan dua opsi akhir cerita yang berbeda.
"Keseluruhan dari musikal ini akan berbentuk teater interaktif, di mana penonton itu akan dibawa masuk ke dalam cerita, dan juga mereka akan di-treat sebagai new recruits dari perusahaan yang kami buat. Diharapkan penonton itu bisa lebih merasa relate," jelas Olivia.
Olivia menegaskan bahwa teater musikal ini bertujuan untuk tidak menormalisasikan dua hal, yaitu burnout dan overwork. "Musikal ini bertujuan untuk memberikan gambaran realistis tentang lingkungan kerja saat ini, dari perspektif bos maupun karyawan."
Tidak Mengajak untuk 'Resign'
Menurut Olivia, salah satu faktor kunci dalam menghadapi tekanan kerja dan menjaga kesehatan mental adalah adanya support system yang baik. "Salah satu faktor yang paling penting untuk mereduce mental health adalah support system. Dengan adanya berbagai pihak yang mendukung, mereka juga lebih bisa survive dengan apapun yang ada di hadapan mereka."
Billy Gamaliel, Program Manager di Galeri Indonesia Karya (GIK), turut memberikan pandangannya tentang Teater Musikal "Kapan Resign?". Billy menegaskan bahwa GIK selalu sejalan dengan pembinaan talenta muda di Indonesia.
Menyinggung judul pertunjukan, Billy menganggapnya unik dan mencerminkan nuansa humor yang kental. "Ada banyak colekan dan dialog-dialog cerdas di dalamnya yang, meskipun terkesan provokatif, tidak benar-benar mengajak penonton untuk resign," jelasnya pada kesempatan yang sama.
Lebih jauh, Billy menekankan bahwa judul teater musikal ini sebenarnya tidak mengajak para penonton untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya, tetapi sebagai sarana 'healing' atau penyembuhan. Ia percaya bahwa salah satu pesan utama dari pertunjukkan ini adalah memahami lingkungan sekitar kita.
"Ini bukan hanya tentang bekerja, tapi juga tentang memahami atasan, bawahan, dan seluruh jajaran di tempat kita bekerja. Semua orang memiliki cerita, dan pertunjukkan ini mencoba menghadirkannya dengan cara yang menarik dan mendalam," katanya.
Advertisement