Liputan6.com, Jakarta - Kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terpidana Jessica Kumala Wongso pada 2016 lalu kini kembali mencuat. Sebuah film dokumenter Netflix, Ice Cold: Coffee, Murder and Jessica Wongso, memuat perjalanan kasus yang sempat menyita perhatian publik itu.
Di salah satu adegan dokumenter Netflix, terlihat Jessica hendak diwawancara di lapas tempatnya ditahan. Jessica diketahui ditahan di Lapas Kelas II A Pondok Bambu, Jakarta Timur. Ia awalnya sempat memberikan keterangan mengenai kasus tewasnya Mirna.
Baca Juga
Namun, saat perempuan berusia 35 tahun itu memberi keterangan, terdengar suara pria memotong penjelasan dari Jessica. Belum diketahui kapan wawancara tersebut dilakukan. Di akhir tayangan, pembuat film dokumenter tersebut mengatakan tidak diperkenankan kembali mewawancarai Jessica.
Advertisement
Publik pun penasaran kenapa Jessica tidak boleh diwawancara. Di podcast kanal Youtube CURHAT BANG Denny Sumargo, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Syarif mencoba mengungkap kemungkinan alasan wawancara Jessica disetop.
Pria yang biasa disapa Prof Eddy Hiariej ini merupakan salah satu ahli yang dimintai pandangan penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya saay kepolisian menginvestigasi penyebab kematian Mirna.
"Aku pengin nanya penasaran sedikit mengenai film dokumenter itu, di situ Jessica kan diwawancarai, tapi kemudian disetop oleh petugas ya?” tanya Denny Sumargo dalam tayangan podcast Selasa, 10 Oktober 2023.
"Ya, jadi begini, sebenarnya tidak semudah itu mewawancarai seorang narapidana, terutama dengan faktor keamanan, dan biasanya ada semacam persyaratan kalau seorang narapidana akan diwawancarai,” ungkapnya.
Jessica Lolos Tes Kebohongan?
Prof Eddy mengaku tidak terlalu tahu mengenai persis alasan penyetopan, semata menduga ada sesuatu yang mereka langgar saat wawancara berlangsung. "Karena tidak akan mungkin kemudian teman-teman petugas di lembaga pemasyarakatan meng-cut itu," jawab Wamenkumham.
Denny kemudian menyinggung tentang perspektif positif dan negatifnya, berkata, "Ya itu kan jadi kejanggalan juga, yang membuat pertanyaan besar terhadap pihak terkait gitu."
"Kalau saya menangkapnya dari penjelasan Prof tadi adalah kemungkinan besar, kalau kita ambil positifnya, ketika dia (Netflix) meminta izin, izinya tidak sesuai eksekusinya, hanya ke sana sih arahnya, atau perspektif sebaliknya ada sesuatu yang disembunyikan," sambungnya.
Di kesempatan itu, Denny juga menanyakan mengenai pemberitaan yang menyebut Jessica lolos alat pendeteksi kebohongan. Menurut Edward, pemberitaan tersebut sama sekali tidak benar, karena alat tersebut tidak digunakan para ahli dan Polri sebagai alat bukti.
"Keliru-keliru. Ini sekaligus meluruskan berita bahwa Jessica dihipnotis dan lain sebagainya," ujar dia.
Advertisement
Wamenkumham Yakin Jessica Pelakunya
Selain itu, Prof Eddy Hiariej juga diundang jadi bintang tamu di acara podcast "Close The Doors" yang dipandu langsung Deddy Corbuzier. Deddy awalnya bertanya siapa pembunuh Wayan Mirna Salihin.
"Menurut Prof apakah Jessica adalah pembunuhnya?" tanyanya pada tayangan Kamis, 12 Oktober 2023. "Iya," jawab Eddy tegas. "Langsung?" Deddy kembali memperdalam pertanyaan. "Langsung," sahut Eddy.
Wamenkumham menyebut, total ada 30 item yang masuk kategori hard evidence. Di antaranya ada mesin pembuat kopi, gelas, dan segala sesuatu yang diperoleh dari Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Kendati, Prof Eddy mengatakan, memang tidak ada orang yang melihat Jessica menuangkan racun sianida ke dalam kopi. Tapi di dalam perkara pidana, tidak ada hierarki alat bukti. "Kita tidak bisa mengatakan saksi mata lebih tinggi dari yang lain. Tidak," terangnya. Walau tidak ada saksi mata, tapi ada bukti-bukti lain.
30 Jenis Bukti Keterlibatan Jessica Wongso
Di antara bukti-bukti itu adalah testimoni advice, scientific advice, attitude evidence, documentary advice. dan real evidence, sebut Wamenkumham. Menurutnya, 30 hard evidences itulah yang membuat bukti jadi terang bahwa Jessica Wongso adalah pelaku meski tidak ada saksi mata.
Di kesempatan itu, Eddy memastikan Polri sangat hati-hati menangani kasus ini. Buktinya, sebut dia, gelar perkara dilakukan berkali-kali sampai pada atasan tertinggi di Polri, dalam hal ini Kapolri. Jaksa juga tidak menerima begitu saja, klaimnya.
Tercatat dua kali dilakukan pengembalian berkas, koordinasi lebih dari lima kali, bahkan jaksa mengeluarkan P21 bahwa berkas dinyatakan lengkap.
"Tersangka beserta seluruh barang bukti diserahkan pada jaksa di hari terakhir," ungkapnya. "Jadi tidak sembarangan. Bahkan Polri dalam menginvestigasi kasus ini didampingi tim ahli, sehingga tidak serampangan. Jadi sangat profesional, mengingat ini kasus yang mendapat perhatian publik."
Advertisement