Liputan6.com, Jakarta - Ratusan ribu warga Palestina telah bergerak ke selatan Jalur Gaza ketika potensi operasi darat Israel semakin dekat. Tapi ke mana mereka akan pergi, tidak ada yang bisa menebaknya. Daerah kantong pesisir ini diblokade melalui darat, udara, dan laut oleh Israel.
Mengutip CNN, Sabtu (21/10/2023), Israel juga telah mematikan pasokan air, listrik, makanan, dan bahan bakar, menyebabkan dua juta penduduk miskin di wilayah tersebut tidak berdaya. Sebuah perbatasan dengan Mesir, yang dikenal sebagai Rafah, disebut-sebut sebagai harapan terakhir warga Gaza.
Melalui jalur ini, mereka berharap bisa melarikan diri dari perang Israel-Hamas. Sayangnya, perlintasan tersebut telah ditutup, sehingga bantuan tidak dapat masuk ke Gaza. Amerika Serikat telah menekan Mesir membangun koridor kemanusiaan bagi warga sipil di Gaza.
Advertisement
Mesir mengatakan, pihaknya tidak akan membiarkan pengungsi membanjiri wilayahnya dan malah bersikeras agar Israel mengizinkannya mengirimkan bantuan ke warga Gaza. Pembukaan perbatasan dinilai jadi persoalan rumit, mengingat banyaknya pihak yang terlibat.
Ini memerlukan persetujuan Mesir dan Hamas, yang secara langsung mengendalikan perbatasan tersebut, serta persetujuan Israel, yang telah membom Gaza, termasuk sekitar Rafah. Mesir menuntut jaminan bahwa Israel tidak akan mengebom konvoi bantuan.
Israel menyerahkan keputusan pada Hamas untuk membuka penyeberangan dan terserah pada Mesir untuk menyalurkan bantuan. Ada sekitar 200 truk di perbatasan yang menunggu untuk masuk ke Gaza dan negosiasi sedang berlangsung antara Israel dan AS untuk mencapai kesepakatan yang memungkinkan lebih banyak bantuan masuk.
Satu-satunya Perbatasan Gaza-Mesir
Terletak di Sinai utara Mesir, Rafah adalah satu-satunya perbatasan antara Gaza dan Mesir. Letaknya berada di sepanjang pagar sepanjang 12,8 kilometer yang memisahkan Gaza dari gurun Sinai. Gaza telah berpindah tangan beberapa kali selama 70 tahun terakhir.
Wilayah ini berada di bawah kendali Mesir pada perang Arab-Israel tahun 1948, dan direbut Israel pada perang tahun 1967. Setelah itu, Israel mulai memukimkan orang-orang Yahudi di sana dan secara signifikan membatasi pergerakan penduduk Palestina.
Pada 2005, Israel menarik pasukan dan pemukimnya dari wilayah tersebut, dan dua tahun kemudian jalur tersebut direbut Hamas. Sejak itu, Mesir dan Israel telah memberlakukan kontrol ketat di perbatasan masing-masing dengan wilayah tersebut, dan Israel semakin memblokadenya dengan membatasi perjalanan melalui laut atau udara.
Israel juga menutup wilayah tersebut dengan pagar perbatasan yang dijaga ketat. Sebelum perang yang dimulai bulan ini, Israel memiliki dua penyeberangan dengan Gaza: Erez, untuk pergerakan orang, dan Kerem Shalom, untuk barang. Keduanya sangat dibatasi dan ditutup sejak perang dimulai.
Hal ini menjadikan perbatasan Rafah dengan Mesir sebagai satu-satunya pintu masuk wilayah tersebut.
Advertisement
Pergerakan Sangat Terbatas
Menurut data PBB, rata-rata 27 ribu orang melintasi perbatasan Rafah setiap bulan sampai Juli 2023. Perbatasan dibuka selama 138 hari dan ditutup selama 74 hari pada tahun ini hingga perang Israel-Hamas berkobar.
Penutupan sering kali bergantung pada situasi keamanan dan politik di lapangan. Meski Israel tidak memiliki kendali langsung atas penyeberangan tersebut, penutupan yang dilakukan Mesir sering kali bertepatan dengan pengetatan pembatasan yang dilakukan Israel di Gaza.
Dilaporkan bahwa pergerakan melalui Rafah pada hari-hari biasa sangat terbatas. Hanya warga Gaza yang memiliki izin dan warga negara asing yang dapat menggunakannya untuk melakukan perjalanan antara Gaza dan Mesir.
Warga Gaza yang ingin melintasi perbatasan sering kali harus menunggu lama. Jason Shawa, seorang Amerika keturunan Palestina dari Seattle yang tinggal di Gaza, mengatakan bahwa proses tersebut memakan waktu minimal 30 hari, namun waktu tunggunya bisa memakan waktu hingga tiga bulan.
Wisatawan memerlukan izin keluar dari Hamas dan izin masuk dari Mesir, katanya. Proses tersebut mengharuskannya menyerahkan dokumen ke kantor pemerintah Hamas untuk mendapat izin keluar dari wilayah tersebut.
Terdaftar Sebagai Pengungsi
Beberapa hari kemudian, ia akan menerima pesan teks yang memberitahukan hari ia boleh berangkat, yang bisa sampai tiga bulan kemudian. Pada hari keberangkatan, sebuah bus akan membawa para pelancong dari perbatasan Palestina ke perbatasan Mesir, di mana mereka akan menunggu berjam-jam hingga pihak berwenang Mesir menerima dan memproses permohonan visa.
Banyak wisatawan yang ditolak ke sana, kata Shawa, seraya menambahkan bahwa warga Palestina sering dianiaya di sana. Mesir, yang telah menampung jutaan migran, merasa tidak nyaman dengan kemungkinan ratusan ribu pengungsi Palestina menyeberang ke wilayahnya. Lebih dari dua juta warga Palestina tinggal di Gaza.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi pekan lalu mengatakan negaranya berusaha membantu dalam batas tertentu. "Tentu saja kami bersimpati. Tapi sambil bersimpati, kami harus selalu menggunakan pikiran untuk mencapai perdamaian dan keamanan dengan cara yang tidak memakan banyak biaya," ujar dia.
Banyak juga yang marah dengan gagasan mengubah penduduk Gaza jadi pengungsi dengan membuat mereka angkat kaki dari Gaza. Kebanyakan warga Gaza didaftarkan PBB sebagai pengungsi, yang nenek moyangnya berasal dari daerah yang kini jadi bagian Israel.
Advertisement