Sukses

Peternakan Sumbang Gas Metana Terbesar, Menjadi Vegan Jadi Solusi Atasi Global Boiling

Earth Festival 2023 dirancang sebagai wadah untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya menghargai semua bentuk kehidupan termasuk soal peternakan.

Liputan6.com, Jakarta - Vincent Tenggara, sebagai Event Manager dan ketua Earth Festival Indonesia, memiliki visi besar untuk tahun ini. Earth Festival 2023, yang diadakan selama 3 hari dari 20--22 Oktober 2023 di Tribeca Park, Central Park Mall, Jakarta Barat, bukan hanya sekadar perayaan. Acara ini dirancang sebagai wadah untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya menghargai semua bentuk kehidupan termasuk global boiling atau pendidihan global.

Dengan kolaborasi dari INLA, dan didukung penuh oleh Kemenparekraf serta Kemendikbud, tema festival tahun ini yaitu "Culture of Humanity: Honoring the Earth and Respecting All Beings" menjadi sebuah gerakan untuk menyatukan seluruh masyarakat dalam menghormati bumi dan semua makhluk yang hidup di atasnya.

Melalui Earth Festival 2023, Indonesia ingin menampilkan diri sebagai salah satu pelopor penyelenggaraan event Earth Festival berskala besar. Salah satu sorotan dari festival ini adalah bazaar yang menampilkan makanan dan produk vegan dengan kehadiran total 58 tenant serta Eartharium, sebuah pameran inovatif tentang bumi dan isinya.

Namun, sebuah pertanyaan muncul, mengapa fokus utama dari festival ini adalah veganisme? Vincent mengungkapkan alasannya. "Mengapa vegan?" katanya. "Karena veganisme menjadi salah satu solusi terbaik dalam menghadapi masalah pemanasan global," jelasnya saat Press Conference Earth Featival 2023 pada Sabtu, 21 Oktober 2023.

Vincent mengungkapkan, salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca adalah sektor peternakan. Oleh karena itu, mendorong gaya hidup vegan menjadi salah satu cara paling efektif untuk mengurangi dampak buruk tersebut.

"Faktanya, kotoran hewan menghasilkan gas metan (amonia), yang memiliki potensi pemanasan global yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan karbon dioksida," terangnya.

 

2 dari 4 halaman

Kehadiran Sandiaga Uno di Earth Festival 2023

Vincent kemudian melanjutkan, "Tahun lalu, kami memang sempat menyoroti gaya hidup vegetarian. Namun, dalam diet vegetarian, konsumsi produk hewani seperti telur masih diizinkan, yang berasal dari peternakan ayam. Untuk tahun ini, kami ingin sepenuhnya memfokuskan pada veganisme, tanpa adanya konsumsi produk hewani sama sekali."

Target yang ditetapkan untuk Earth Festival 2023 tampaknya lebih ambisius, dengan harapan total transaksi mencapai Rp500 juta dalam 3 hari penyelenggaraan.

"Ini menandai peningkatan signifikan dari angka Rp300 juta yang berhasil dicapai dalam penyelenggaraan selama 2 hari di Senayan Park tahun lalu," ujar Vincent.

Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menunjukkan apresiasinya terhadap festival tersebut. Dalam sambutannya, Sandiaga mengajak seluruh masyarakat untuk lebih peduli terhadap bumi dan hidup selaras dengan alam.

Sandiaga menekankan tiga poin utama dalam strategi keberlanjutan, yaitu inovasi, adaptasi, dan kolaborasi. Semua ini disampaikannya dengan semangat 3G.

"Gercep, cepat tanggap, Geber, gerak bersama (berakselerasi penuh), dan Gaspol, garap semua potensi," katanya.

Sandiaga, yang saat itu mengenakan celana sarung songket berwarna hitam dan kuning menekankan bagaimana Earth Festival 2023 bisa menjadi platform yang memajukan pariwisata berkelanjutan di Indonesia.

3 dari 4 halaman

Instalasi Kelingkungan Eartharium

Di Earth Festival 2023 juga ada art installation outdoor yang diberi nama Eartharium, yang tahun ini mengusung konsep berkelanjutan, berbeda dengan edisi tahun lalu yang memfokuskan pada isu-isu kelautan.

Eartharium menyajikan berbagai instalasi fakta yang memaparkan isu-isu lingkungan yang kian mendapat perhatian, mulai dari fast fashion, sampah plastik, hingga polusi. Melalui instalasi ini, pengunjung dihadapkan pada fakta-fakta, seperti kenyataan bahwa di Indonesia hanya 5 persen plastik yang berhasil didaur ulang dengan efektif.

Laut kita tercemar dengan 57 persen sampah plastik, dan memerlukan waktu selama 400 tahun agar sampah plastik tersebut terurai di dalam air. Lebih lanjut, dalam hal pengelolaan sampah, sebagian besar sampah di Indonesia, yakni 70,4 persen, ditimbun di TPA.

Tidak berhenti di isu sampah plastik, Eartharium juga menyoroti dampak negatif industri fast fashion. Meski dikenal efisien dan menawarkan pakaian bergaya terkini dengan harga yang terjangkau, industri ini ternyata menjadi salah satu penyumbang besar limbah pakaian. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, sebanyak 11 juta ton limbah pakaian dihasilkan setiap tahunnya. Sementara di Australia, dari 27 kilogram pakaian yang dibeli oleh setiap individu setiap tahunnya, 23 kilogram di antaranya berakhir di tempat pembuangan akhir.

Dampak dari fast fashion tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga pada tenaga kerja yang mengandalkan industri ini. Di negara-negara seperti Bangladesh, pekerja industri garmen hanya mendapatkan upah sekitar Rp1,2 juta per bulan. Lebih menyedihkan lagi, banyak di antara mereka yang merupakan pekerja tidak resmi, termasuk ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak mereka.

 

4 dari 4 halaman

Konsep Daur Ulang Baru

Bahan-bahan yang digunakan dalam industri fast fashion, seperti polyester, juga memberikan dampak buruk pada lingkungan. Ketika dicuci, polyester melepaskan mikrofiber yang berkontribusi pada pencemaran plastik di laut.

Namun, tentunya ada solusi yang bisa diambil untuk mengurangi dampak buruk ini, seperti memilih pakaian berbahan katun organik, menghindari pembelian pakaian berbahan polyester dan nilon, mengurangi konsumsi pakaian baru, serta mendaur ulang pakaian yang tidak lagi digunakan.

Instalasi yang ada dalam Earth Festival 2023 juga memberikan edukasi dan solusi konkrit bagi masyarakat untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Salah satu inovasi yang diperkenalkan dalam instalasi ini adalah konsep daur ulang yang diperluas dari 3R (Reduce, Reuse, Recycle) menjadi 5R (Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, dan Rot).

Konsep refuse mengajak kita untuk lebih selektif dalam memilih produk yang kita konsumsi. Ini lebih dari sekedar pengurangan, tetapi pemilihan yang sadar untuk menolak produk atau layanan yang merugikan lingkungan. Sebagai contoh, saat berbelanja, kita bisa menolak penggunaan kantong plastik dengan membawa tas belanja sendiri.

Rot sendiri mengedepankan pentingnya mengolah sampah organik, seperti sisa makanan, menjadi kompos. Proses ini tidak hanya mengurangi jumlah sampah yang berakhir di TPA, tetapi juga mengembalikan nutrisi ke tanah, yang bermanfaat untuk pertanian dan tumbuh-tumbuhan.