Liputan6.com, Jakarta - Semangat pariwisata hijau yang digaungkan pemerintah selama ini tercoreng. Kawasan hutan mangrove di kawasan wisata dan konservasi Danau Gili Meno di Kabupaten Lombok Utara dilaporkan rusak. Direktur Walhi Nusa Tenggara Barat (NTB) Amry Nuryadin menyebut kerusakan bahkan juga terjadi di kawasan Tanjung, Lombok Utara.
"Kami pernah turun dan melihat kerusakan yang terjadi di kawasan hutan mangrove itu atas nama revitalisasi kawasan wisata," ujarnya melalui telepon di Mataram, Minggu, 29 Oktober 2023, dilansir dari Antara.
Ia menjelaskan bahwa alih fungsi hutan dan mangrove di kawasan Gili Meno secara masif menyebabkan banyak wilayah yang kritis dan terancam. Ia mengaku temuan perusakan hutan mangrove itu sudah disampaikan ke Pemerintah Kabupaten Lombok Utara, tetapi tidak ada tanggapan berarti dari pemerintah setempat.
Advertisement
"Coba dicek satu tahun atau dua tahun terakhir ini penegakan hukum terhadap kerusakan itu tidak ada, padahal kerusakan itu ada dan nyata di depan mata kita," ujar Amry.
Ia mengingatkan bahwa hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang memiliki banyak manfaat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Maka itu, kerusakan yang terjadi di hutan bakau ujung-ujungnya akan merugikan manusia sendiri, dimulai dari abrasi pantai.
"Rusaknya hutan bakau berarti gelombang pasang surut laut dengan mudahnya mengikis pantai dan menyebabkan abrasi. Tanpa adanya hutan bakau, garis pantai akan cepat terkikis dan perlahan menyempit karena abrasi,"Â ia menerangkan.
Gili Meno Masuk Kawasan Konservasi
Amry menerangkan bahwa secara regulasi, perlindungan hutan mangrove termaktub dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pulau-Pulau Kecil. Disebutkan bahwa pemerintah daerah diwajibkan melindungi ekosistem pesisir dan laut, salah satunya kawasan mangrove.
Menurut data Pemda Kabupaten Lombok Utara, saat ini ada 18 titik rawan abrasi di sepanjang pantai di Lombok Utara. "Jadi, janganlah ditambah lagi dengan memberikan ijin kepada salah satu perusahaan, tapi tidak mengontrol perusahaan itu yang teritorial-nya di wilayah pantai. Apalagi Gili Meno itu wilayah konservasi," ucapnya.
Ia menyatakan, akan kembali menginvestigasi kerusakan hutan di kawasan wisata yang masuk dalam kawasan tiga gili (Tarawangan, Meno dan Air) di Kabupaten Lombok Utara itu. Investigasi ini penting untuk melihat sejauh mana kerusakan yang terjadi.
"NTB ini ada 443 pulau-pulau kecil dan dua pulau besar, yakni Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Status pulau-pulau ini harus dilindungi. Karena itu, kuncinya juga pada pemberian izin. Maka dari itu, pengusaha-pengusaha yang dapat izin harus taat, begitu juga pemda harus ketat dalam memberikan izin," katanya.
Â
Advertisement
Fasilitas Umum Dibiarkan Rusak, Hotel Baru Dibangun
Gili Meno adalah rangkaian pulau yang masuk bagian dari Gili Tramena (Trawangan, Meno, dan Air). Gili ini memiliki keunikan karena keberadaan danau air asin dengan vegetasi hutan bakau atau mangrove. Namun, pulau kecil yang ditetapkan sebagai pulau konservasi ini diduga mulai tergerus pembangunan pariwisata yang tidak ramah lingkungan.
Sejumlah wisatawan mengungkapkan temuan mereka tentang dugaan kerusakan hutan bakau atau mangrove serta penimbunan danau di Gili Meno, Kabupaten Lombok Utara.
"Panoramanya sangat indah di Gili Meno ini, baik di danaunya maupun bahari lautnya. Tapi sayang, kelihatan kurang terawat dan juga ada kerusakan mangrove serta kita lihat ada penimbunan danau untuk pembangunan," kata wisatawan asal Yogyakarta yang berlibur di Gili Meno, Satya Wirawan (35).
Menurut Wirawan, pemerintah sudah membangun sarana jembatan kayu sepanjang lintasan hutan bakau di Danau Gili Meno. Namun, lintasan kayu ini sudah banyak yang lapuk yang membahayakan para pelintas. Tutupan sebaran hutan mangrove di kawasan juga nampak banyak yang mulai gundul.
"Yang lebih mengkhawatirkan, kami melihat ada pekerjaan proyek semacam hotel di tepi danau sisi selatan. Dari bentangannya bisa terlihat kalau lahan yang dipakai itu merupakan reklamasi atau penimbunan danau," jelasnya.
Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Sebelumnya, PLN memanfaatkan tenaga surya untuk menghasilkan listrik guna mendukung pariwisata di kawasan destinasi favorit Lombok. Masing-masing pulau memiliki satu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), yaitu PLTS di Gili Air memiliki kapasitas 160 kWp, PLTS Gili Meno sebesar 60 kWp, serta PLTS di Gili Terawangan sebesar 600 kWp.
"Total tiga pulau wisata ini ada 820 kWp. Ini langsung dialirkan ke ketiga pulau yang ada," ucap Vice President Public Relation PLN, Dwi Suryo Abdullah, seperti ditulis, Jumat, 14 Februari 2020, dikutip dari kanal Ekbis.
Ketiga PLTS tersebut beroperasi dari pukul 07.00 hingga pukul 17.00. Sedangkan, untuk sisanya listrik dipasok dari Lombok melalui kabel bawah laut. "Pembangkit ini hanya siang hari beroperasinya. Setelah matahari tenggelam pasokan listrik penuh dari kabel laut," tuturnya.
Salah satu pemandu wisata di kawasan tiga gili, Sandy mengungkapkan bahwa sebagai kawasan wisata tentu dibutuhkan pemnangkit yang ramah lingkungan, sehingga tidak mengganggu aktivitas wisatawan. "Kawasan wisata bagus seperti ini, listriknya tersedia, tapi tetap ramah lingkungan. Mungkin PLTS ini bisa saja dijadikan salah satu tambahan obyek wisata, melihat dari luar," kata Sandy.
Advertisement