Sukses

Operasi Dilakukan Tanpa Listrik di Rumah Sakit Indonesia di Gaza Usai Serangan Israel

Rumah Sakit Indonesia di Gaza dilaporkan telah dibanjiri pasien setelah berminggu-minggu pemboman tanpa henti oleh pasukan Israel.

Liputan6.com, Jakarta - Rumah Sakit Indonesia di Gaza sedang berjuang merawat banyak pasien yang terluka akibat pemboman Israel. Layanan ini tetap dilakukan di tengah berkurangnya stok obat-obatan dan pemadaman listrik yang memaksa para dokter melakukan operasi dalam kegelapan, kata sebuah organisasi sukarelawan.

Melansir Al Jazeera, Selasa (31/10/2023), seorang relawan Komite Penyelamatan Darurat Medis (MER-C) yang berbasis di Indonesia, yang mengorganisir sumbangan untuk membangun rumah sakit pada 2011, Fikri Rofiul Haq, mengatakan bahwa Rumah Sakit Indonesia di Gaza dibanjiri pasien setelah berminggu-minggu pemboman tanpa henti oleh pasukan Israel.

"Di Rumah Sakit Indonesia (di Gaza) saja, tercatat 870 orang meninggal dunia dan 2.530 orang dirawat karena luka-luka. Sekitar 164 pasien masih dirawat di rumah sakit," kata Fikri. "Sekitar separuh penduduk Gaza telah mengungsi ke tempat-tempat yang dianggap lebih aman daripada rumah mereka, seperti sekolah dan rumah sakit, termasuk Rumah Sakit Indonesia."

"Lebih dari 1.500 warga mengungsi ke RS Indonesia dan berkemah di ruangan kosong dan halaman rumah sakit," imbuhnya. Minggu lalu, rumah sakit itu kehilangan aliran listrik akibat kekurangan bahan bakar karena blokade Israel yang menghalangi masuknya pasokan penting.

"Kami berusaha mencari bahan bakar untuk menghidupkan (listrik) Rumah Sakit Indonesia setelah pemadaman yang berlangsung selama lebih dari satu jam. Dokter tidak punya pilihan selain melakukan operasi dan merawat pasien tanpa penerangan apapun," kata Fikri.

"Rumah Sakit Indonesia sangat membutuhkan bantuan medis. Tenaga rumah sakit kelelahan karena dipaksa bekerja 24 jam sehari," ia menambahkan.

 

2 dari 4 halaman

Rumah Sakit Indonesia di Gaza

Fikri menyebut bahwa mengirimkan bantuan ke rumah sakit merupakan sebuah tantangan. Namun, MER-C telah mengumpulkan sumbangan dari masyarakat Indonesia dan organisasi bantuan lain di Gaza. Karena itu, para sukarelawan dapat mengirimkan sejumlah pasokan ke rumah sakit pada 19 dan 24 Oktober 2023.

"Kami sempat mendapatkan beberapa obat dan alat kesehatan lain, tapi masih banyak obat yang belum kami miliki stoknya karena sudah habis," ujarnya.

Rumah Sakit Indonesia terletak di Beit Lahia, sebuah kota berpenduduk sekitar 90 ribu orang di Gaza bagian utara. Bangunan itu berdiri di atas tanah seluas 16 ribu meter persegi yang disumbangkan pemerintah Gaza pada 2011.

Pembangunan rumah sakit ini menelan biaya hampir 8 juta dolar AS dan didanai sumbangan warga negara Indonesia bersama organisasi-organisasi, termasuk Palang Merah Indonesia dan Muhammadiyah, salah satu organisasi Muslim terbesar di Indonesia.

MER-C sendiri menggambarkan misinya untuk membantu "masyarakat paling rentan" tanpa memandang latar belakang, agama, kebangsaan, etnis, kelas, atau status kriminal. Organisasi ini didirikan sekelompok mahasiswa Universitas Indonesia yang melakukan prosedur medis di Maluku pada 1999 saat terjadi konflik sektarian antara komunitas Kristen dan Muslim.

3 dari 4 halaman

Terputusnya Komunikasi di Gaza

Sejak didirikan pada 1999, MER-C telah melakukan misi kemanusiaan di negara-negara yang dilanda konflik, termasuk Afghanistan, Irak, Iran, Palestina, Lebanon, Sudan, Filipina, dan Thailand.

Organisasi tersebut telah memberi bantuan medis pada beberapa pasien kontroversial, termasuk Abu Bakar Bashir, ketua kelompok Jemaah Islamiyah yang terkait dengan Al-Qaeda. Juga, sejumlah orang yang terlibat dalam aksi bom Bali sebelum mereka dieksekusi pada 2008.

Rumah Sakit Indonesia telah menerima sumbangan lebih dari 63 ribu dolar AS dari Front Pembela Islam, yang dilarang di Indonesia pada 2020, untuk mendirikan bank darah. Wakil Presiden Indonesia saat itu, Jusuf Kalla, meresmikan rumah sakit tersebut, yang memiliki sekitar 100 tempat tidur, empat ruang operasi, dan unit perawatan intensif, pada 2016.

Pada Jumat, 27 Oktober 2023, komunikasi terputus di seluruh Gaza, menyebabkan organisasi bantuan, termasuk MER-C, tidak dapat menghubungi staf mereka di lapangan. Manajer operasional MER-C yang berbasis di Indonesia, Rima Manzanaris, mengatakan meningkatnya pemboman militer di Gaza dan komunikasi yang tidak merata sangat mengkhawatirkan.

Ini terutama menyusul laporan pemboman besar-besaran di dekat rumah sakit dalam beberapa hari terakhir. "Kami tidak dapat menghubungi ketiga relawan Indonesia di Gaza sejak sore hari tanggal 27 Oktober (2023) karena semua jaringan telepon dan WhatsApp mati," katanya.

Rima mengatakan, MER-C saat ini sedang bersiap mengirimkan tim ke Mesir untuk mengumpulkan bantuan guna didistribusikan ke rumah sakit.

4 dari 4 halaman

Berharap Pengumuman Gencatan Senjata

"Sejak pekan lalu, tim MER-C di Gaza telah mendistribusikan bantuan yang diberikan WNI dengan mencari perbekalan di Jalur Gaza, antara lain obat-obatan, pakaian paramedis, makanan siap saji, perlengkapan musim dingin, dan bahan bakar genset di Gaza," ujar Rima.

Komunikasi di Gaza pulih pada Minggu, 29 Oktober 2023 setelah hampir 36 jam pemadaman komunikasi total. Fikri mengatakan, pengeboman Israel telah menghancurkan sebagian atap rumah sakit, menyebabkan langit-langit di sejumlah ruangan runtuh.

"Dua hari lalu, terjadi pengeboman sangat hebat oleh pasukan Israel di sekitar RS Indonesia, yang dimulai pada sore hari dan tidak berhenti sepanjang malam. Kami hanya mendengar ledakan terus menerus," kata Fikri. "Suara ledakannya memekakkan telinga dan beberapa roket Israel mendarat di area sekitar rumah sakit."

"Bom tersebut menyebabkan seluruh rumah sakit berguncang dan kami harus berusaha menyelamatkan diri dengan berlindung di ruang bawah tanah," tambahnya.

Fikri mengatakan, ia mendapat kabar bahwa truk yang membawa bantuan sedang dalam perjalanan dari Mesir, namun terhambat antrian untuk memasuki Gaza.

"Kami berharap gencatan senjata segera diumumkan," katanya. "Musim dingin akan segera tiba dan jika perang ini terus berlanjut, para pengungsi di Jalur Gaza akan berada dalam posisi yang sangat berbahaya karena mereka tidak memiliki cukup kasur, selimut, dan jaket."

Video Terkini