Liputan6.com, Jakarta - Profesi barista masih menjanjikan hingga kini menurut Muhammad Aga, IBC Champion 2018. Bermunculannya kedai kopi di berbagai tempat menunjukkan bahwa kebutuhan akan barista profesional cukup tinggi.
Namun, tahukah Anda bila yang dibutuhkan dari seorang barista profesional tidak hanya soal kecakapan membuat atau meracik kopi? Muhammad Aga, barista sekaligus pemilik kedai Smith Coffee, mengungkapkan sejumlah tahapan yang harus dilalui seseorang jika hendak melamar posisi tersebut di tempatnya.
Baca Juga
"Kami ada psikotes... Penting bagi profesi barista memiliki self of belonging. Kita sebagai profesional itu tidak cukup hanya skill, tapi harus bisa selling, gimana caranya berinteraksi dengan konsumen, bikin konsumen nyaman, sampai pengen balik lagi," kata Aga ditemui di sela Jakarta Coffee Week 2023 di ICE BSD, Serpong, Sabtu, 4 November 2023.
Advertisement
Tentu, materi psikotesnya berbeda dari soal-soal yang harus dijawab profesi lain, semisal ASN. Ia menyusun beberapa pertanyaan didasarkan realitas di lapangan.
"Misalnya nih pertanyaannya, 'kalau kamu terlambat masuk shift jam 12, apa yang akan kamu lakukan?'. "Mostly jawabannya, saya udah datang, minta maaf. Padahal harusnya, saya ngabarin ke tim saya dulu supaya tidak ada negatif thinking," ia menerangkan.
Setelah lolos psikotes, barulah calon barista akan diuji kemampuannya berdasarkan klaim yang dituliskan di dalam lamaran. Penilaian dilakukan mulai dari penyiapan kopi, cara penyajiannya, hingga rasa kopi yang diracik. "Itu jadi salah satu konsiderasi kita menilai layaknya berapa (gajinya)," ujarnya.
Â
Jadi Representasi Kedai dan Merek
Tahap terakhir barulah wawancara antara pelamar dan perekrut. Biasanya tahapan ini dilakukan untuk bernegosiasi tentang gaji. "Kita akan tanya ekspektasi kamu bekerja di kita berapa (gajinya). Jangan sampai bujetnya Rp2 juta misalnya, ternyata dia hanya mampu menghasilkan Rp500 ribu," ucap Aga.
Ia menyebut bahwa belum ada standar gaji tertentu untuk profesi barista saat ini. Karena pekerjaan profesional, ia juga menilai standardisasi gajinya tidak bisa disamakan dengan buruh.
Sebagai pemilik kedai, Aga memposisikan para baristanya sebagai front liner. Karenanya, mereka tidak hanya bertanggung jawab untuk membuat kopi, tetapi juga bisa membantu mengefisienkan operasional kedai, seperti mengontrol bahan baku, memantau inventori dan pekerjaan administratif dengan baik.
"Barista bila dibilang begitu (pekerja kreatif). Memang kita profesional, tapi kita bisa jadi representasi merek. Attitude, skill, knowledge itu dibutuhkan," katanya.
Lalu, apakah seorang barista profesional harus memenangkan kompetisi? Aga punya pendapat sendiri soal ini. Sebagai pemenang IBC Champion 2018, ia menyebutkan bahwa kompetisi tidak hanya berdampak positif bagi barista secara personal, tetapi juga untuk kedai kopi tempatnya bekerja.
Advertisement
Ikut Kompetisi Asal...
Meski begitu, ia meminta agar para barista tidak sekadar ikut kejuaraan. Pasalnya, butuh tenaga, waktu, dan biaya yang tak sedikit untuk mengikuti kompetisi bergengsi, terutama di luar negeri.
Aga mengaku habis ratusan juta rupiah saat ikut berlaga di level internasional di Amsterdam. Biaya tersebut diperlukan untuk membeli kopi, bahan baku lainnya, dan segala peralatan. Panitia, kata dia, biasanya hanya menyediakan mesin kopi dan meja.
"Aku perlu setahun (persiapan)," kata dia.
Hal senada juga diungkapkan oleh Restu Sadam Hasan, 1st Winner ILAC 2019 dan 2021. Ia mengaku perlu waktu sampai tiga tahun sebelum ikut kompetisi membuat latte art. Tidak hanya keterampilan yang diasah, ia juga harus menyiapkan mental karena tingkat stres di panggung lebih tinggi dibandingkan di luar kompetisi.
"Sekali latihan bisa habiskan sekilo (kopi), seminggu lima kilo. Bisa tembus puluhan juta per satu kompetisi," akunya.
Aga menambahkan bahwa dalam kompetisi, ia membutuhkan dukungan tim yang solid. Karena itu, ia mengingatkan agar barista tidak menganggap kompetisi sebagai ajang coba-coba.
"Itulah kenapa perlu ada kedai kopi yang bisa support baristanya," ujarnya.
Kesempatan Kursus Gratis
Salah satu inisiatif untuk meningkatkan keterampilan para barista dilakoni Indomilk dengan membuat Indomilk Coffeepreneur. Prita Utami, trade marketing food service manager Indomilk, menerangkan program tersebut sudah berlangsung dua tahun terakhir.
Program pelatihan gratis itu terutama ditujukan bagi pemilik usaha atau barista profesional. Tahun ini, mereka menggelarnya di 18 titik sampai akhir 2023 dengan sekali acara diikuti 30--50 orang. "Jadi kita bisa rangkul 700 barista," ujarnya ditemui di kesempatan yang sama.
Pelatihan tersebut dilakukan untuk menginspirasi barista atau pemilik kedai dalam membuat menu. Selain mengajarkan teori, peserta akan dilibatkan dalam praktik membuat kopi kreasi. Pelatihan dilakukan sekitar 3 jam dan di akhir pelatihan, peserta ditantang unntuk mengadu menu kreasi mereka.
"Mereka (barista atau pemilik kedai) kan butuh development. Outlet-outle ini butuh inovasi untuk variasi menu mereka," ujarnya. Lewat interaksi dengan mentor dan sesama peserta, mereka diharapkan bisa menghasilkan sesuatu yang bisa dijual di kedai masing-masing.
Â
Advertisement