Liputan6.com, Dubai - Saya tidak pernah menyangka pasir gurun ternyata bisa sedingin dan selembut itu. "Karena kemarin sempat hujan, jadi pasirnya tidak sepanas biasanya," jawab pemandu Platinum Heritage, perusahaan Safari Gurun Ekowisata di Dubai, Razaq, ketika saya menanyakan hal tersebut.
Jumat sore, 27 Oktober 2023, itu memang tidak sepanas hari-hari sebelumnya. Mungkin saja karena efek hujan, yang padahal tidak terlalu deras, sehari sebelumnya. Saya sedang duduk di lobi hotel ketika Razaq masuk dengan wajah dan nada bicara penuh semangat.
Tidak butuh lama untuk kami langsung mengisi bangku-bangku di dalam "mobil jemputan" yang dikendarainya. Kendaraan itu melaju untuk mejemput dua orang lagi dalam rombongan kami. Di paket safari gurun, pemandu biasanya akan menjemput pelancong, kebanyakan di hotel, untuk kemudian diantar menuju titik di mana perjalanan "autentik" dimulai.
Advertisement
"Anda boleh bertanya apapun, silakan," kata Razaq bersemangat sambil menyetir ke arah tenggara hingga sampai di pintu masuk Dubai Desert Conservation Reserve, yang merupakan taman nasional pertama di Uni Emirat Arab (UEA). Kami turun, memilih penutup kepala tradisional yang juga akan dipakaikan pemandu masing-masing.
Saya tidak sempat menghitung berapa rombongan yang bergabung dalam safari gurun sore itu. Saya hanya sempat melihat bahwa setidaknya ada selusin Vintage Land Rover yang akan membawa kami memasuki "tanah tandus" seolah tidak bertepi.
Satu per satu, kendaraan ini memasuki kawasan berpagar yang disebut Razaq sebagai bagian dari Empty Quarter. "The largest continuous desert in the world," katanya mendeskipsikan wilayah gurun yang juga melintasi Saudi Arabia, Oman, dan Yaman tersebut.
"Berkelanjutan" di sini berarti gurun ini "tidak dibatasi" batu maupun gunung. "Hanya pasir saja," ia menambahkan.
Jelajah Gurun
Sambil menikmati lanskap gurun yang mungkin sudah Anda lihat di banyak foto dan video, pemandu akan menjelaskan berbagai hal. Ketika kami bertemu oryx, misalnya, Razaq menyebut, "Ini merupakan hewan nasional Uni Emirat Arab."
Ia juga berceloteh soal cara mendeteksi sumber air di gurun. "Salah satunya mengandalkan penciuman unta," katanya. "Tapi kalau pakai cara tradisional, bisa juga dengan meletakkan telur di permukaan (pasir). Kalau (telur) berdiri, berarti ada sumber air di sekitar wilayah itu."
Berkeliling sebagian kecil wilayah Dubai Desert Conservation Reserve, tidak hanya pasir yang saya lihat, namun juga beberapa tumbuhan gurun, bahkan kolam air, yang tampak dikerubungi burung. Kami berhenti di salah satu titik, berjalan agak naik bukit untuk mendapat pemandangan lebih bagus.
"Kalau nyaman, silakan lepas sepatu kalian supaya bisa merasakan tekstur pasirnya langsung," saran Razaq, yang langsung saya lakukan dengan senang hati. Saya awalnya mengantisipasi pasirnya akan menempel di telapak kaki, namun ternyata tidak demikian.
Advertisement
Pertunjukan Elang
Kami melanjutkan perjalanan supaya bisa tepat waktu menikmati pertunjukan elang berlatar matahari terbenam yang berwarna agak kemerahmudaan hari itu. Karena pihaknya berjanji memberi pengalaman lokal nan autentik, elang dihadirkan karena hewan itu merupakan burung nasional UEA.
Dijelaskan bahwa elang merupakan hewan migrasi yang terkait dengan sejarah perburuan Emirati. Hewan ini secara tradisional dilatih selama sebulan untuk membantu warga lokal berburu sebelum dilepaskan kembali. Fase pelatihan dan perburuan ini berulang setiap tahunnya di musim migrasi elang.
Usai pertunjukan interaktif, yang berlangsung sekitar setengah jam, saya memilih tidak berfoto bersama si elang jantan yang jadi primadona, karena satu, walau kecil, ia terlihat sangat mengancam. Dua, antreannya membuat saya langsung menyerah.
Bulan hampir bulat sempurna terlihat menggantung di langit, sementara angin dingin mulai "keras kepala" melesak di antara kami. Razaq berkata, "Suhu sekarang sekitar 20--25 derajat celcius. Minggu depan saat berkendara di malam hari, kami mungkin sudah harus memakai jaket."
Mesin Vintage Land Rover yang kami naiki mulai kembali menderu, mengantar rombongan turis menuju perkemahan gurun, di mana rangkaian agendanya termasuk makan malam, naik unta, memakai hena, dan melihat pertunjukan tarian tradisional.
Jangan Naik Unta Kalau Anda ...
Menurut saya, naik unta bukanlah untuk "orang lemah." Proses naik-turunnya, yang membuat saya berteriak tanpa terencana, jadi yang paling menakutkan, walau ada penjaga yang sigap membantu. Tapi karena sudah berada di sana, saya pikir, mengapa tidak?
Setelah beberapa waktu, makan malam siap tersaji. Setiap peserta harus mengantre demi mendapat makanan pilihan mereka, mirip dengan resepsi pernikahan di Indonesia. Agenda makan malam berlangsung hangat dengan meja-meja di sekitar kami, yang didominasi keluarga, dipenuhi banyak makanan lokal.
Masing-masing porsinya banyak, membuat saya berpikir bagaimana pengelolaan limbah makanan dari perusahaan safari gurun yang mengklaim diri beroperasi dengan komitmen ekowisata. "Semua sampah makanan dikasih ke unta, kecuali beberapa di antaranya yang tidak bisa dimakan," kata Razaq.
Sebelum itu, mereka akan memasak sesuai porsi orang yang mengikuti safari gurun hari itu, yang juga menyediakan menu vegetarian. Ia melanjutkan, "Kami juga punya dua jenis panel di setiap camp: solar panel and hydro panel."
Pihaknya juga mendonasikan lima persen dari setiap harga tiket untuk konservasi wilayah gurun tersebut. "Kami juga tidak "buka jalan," selalu pakai jalur yang sama," ia menambahkan. Juga, setiap peserta akan diberi botol minum, jadi mereka tidak lagi memakai air minum kemasan sekali pakai.
Rangkaian tur ditutup dengan stargazing sambil ditunjukkan bintang apa saja yang ada di langit saat itu. Sayang, karena langit malam itu berawan, rombongan kami tidak melihat banyak bintang. Selesai, kami pun bersiap untuk kembali diantar ke hotel. Safari gurun ini dibanderol mulai dari 595 dirham (sekitar Rp2,5 juta) per orang dewasa.
Advertisement