Liputan6.com, Jakarta - Warga Gaza yang mengungsi akibat pengeboman Israel terpaksa mandi dan mencuci di air laut tercemar. "Ini merupakan perubahan pemandangan yang disambut baik dari kekacauan dan kekotoran sekolah tempat kami mengungsi," kata warga lokal, Andaleeb al-Zaq, dikutip dari Al Jazeera, Jumat (10/11/2023).
Ia menyambung, "Anak-anak memperlakukannya seperti kami sedang dalam perjalanan sekolah." Namun, bagi Andaleeb, "perjalanan" ini adalah soal kelangsungan hidup. Keluarganya, yang berjumlah 16 anggota, mengungsi dari rumah mereka di Shujaiya, sebelah timur Gaza, tidak lama setelah Israel mulai mengebom Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023.
Baca Juga
Mereka menuju ke selatan menuju pusat pemerintahan Deir al-Balah, dan melanjutkan perjalanan ke Sekolah Dasar Alif, yang dikelola badan pengungsi PBB. "Semua ruang kelas sudah penuh dengan keluarga lain, sekitar 80 orang per kelas, jadi kami mendirikan tenda di halaman sekolah," kata Andaleeb. "Ada delapan ribu orang berlindung di sana."
Advertisement
Sekolah tersebut dekat dengan Laut Mediterania, dan karena kurangnya air bersih, sebagian keluarga dan anak-anak mereka akan pergi ke pantai untuk mandi dan mencuci pakaian. Sejumlah bantuan telah diizinkan masuk ke wilayah kantong tersebut melalui penyeberangan Rafah dalam beberapa hari terakhir, namun Israel terus melarang masuknya bahan bakar.
Satu-satunya pabrik desalinasi di Gaza tidak berfungsi karena kekurangan bahan bakar. Jalur pantai tersebut, yang telah diblokade selama 17 tahun oleh Mesir dan Israel, telah memperlihatkan "kehancuran yang mengejutkan," menurut publikasi itu.
Tidak Cukup Penuhi Kebutuhan
Tanpa bahan bakar dan listrik, rumah sakit telah menggunakan generator bertenaga surya. Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mencatat bahwa antara 21 Oktober dan 1 November 2023, hanya 26 truk yang membawa pasokan air dan sanitasi penting memasuki Jalur Gaza.
Jumlah tersebut dilaporkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penting bagi kelangsungan hidup 2,3 juta penduduk lokal. "Kami tidak punya air, tidak ada sanitasi, tidak ada sistem pembuangan limbah," kata Imm Mahmoud, yang tinggal di sekolah yang sama.Â
Ibu berusia 52 tahun itu telah mengungsi selama sebulan dan mengatakan ia tidak punya pilihan selain mencuci pakaian keluarganya di laut. Tapi, ia tahu bahwa air laut itu tercemar. "Anak-anak menderita diare, batuk, dan pilek akibat polusi dan berenang di laut," katanya.
"Tapi," ia menyambung. "Apa yang Anda harapkan dari mereka? Mereka harus menemukan cara melepaskan energinya. Terkurung di sekolah dapat menyebabkan banyak pertengkaran dengan keluarga mereka."
Bahkan sebelum perang saat ini, infrastruktur sanitasi yang tidak memadai dan kekurangan listrik menyebabkan air limbah yang tidak diolah dibuang ke laut, antara 100 hingga 108 juta liter, dan menyebabkan lebih dari seperempat penyakit. Penyakit ini merupakan penyebab utama morbiditas anak di Jalur Gaza.
Â
Advertisement
Pelepasan Limbah ke Laut Mediterania
Menurut Dewan Pengungsi Norwegia, penutupan total instalasi pengolahan air limbah pada Oktober 2023 telah menyebabkan pelepasan lebih dari 130 ribu meter kubik limbah yang tidak diolah ke Laut Mediterania setiap hari, sehingga menimbulkan bahaya lingkungan yang serius.
Tiga jaringan pipa air utama di Jalur Gaza semuanya dikendalikan Israel. Sejak 8 Oktober 2023, jalur pipa dari Israel ke Gaza utara masih ditutup. Di selatan, Israel menghubungkan kembali pasokan air ke Khan Younis pada 15 Oktober 2023, tapi mematikan pasokannya dua minggu kemudian.
Di wilayah tengah Jalur Gaza, pihak berwenang Israel mengonfirmasi niat mereka memulai kembali pasokan air pada 29 Oktober 2023. Namun, penduduk mengatakan hal itu tidak terjadi, dan air yang masuk ke keran mengandung banyak klorin atau asin.
Seorang dokter dan pengawas darurat di Rumah Sakit Martir al-Aqsa Deir al-Balah, Khalil al-Degran, mengatakan ada "bencana lingkungan dan krisis kesehatan besar-besaran" yang disebabkan membengkaknya populasi di Jalur Gaza tengah dengan adanya keluarga-keluarga pengungsi yang tinggal di sekolah UNRWA.
Â
Kembali Bertaruh Nyawa
"Ada rata-rata 70 orang tinggal di satu ruang kelas dalam kondisi yang tidak sehat," kata al-Degran. "Akibatnya, banyak penyakit dan infeksi yang menyebar, seperti infeksi paru-paru dan flu usus akibat kepadatan penduduk. Kurangnya listrik dan air bersih hanya memperburuk keadaan."
"Karena kurangnya air bersih yang mengalir, beberapa pengungsi terpaksa menggunakan laut sebagai tempat untuk mencuci pakaian atau mandi, sehingga mempertaruhkan nyawa mereka di bawah pemboman Israel," ia menambahkan.
Pada Minggu, 5 November 2023, serangan udara Israel menargetkan sekelompok anak-anak yang berada di pantai sebelah barat Deir Al-Balah. "Tiga di antaranya tewas dan tujuh lainnya luka-luka akibat serangan udara Israel," sebut al-Degran.
"Agresi ini harus segera dihentikan, dan perbatasan harus dibuka," tambahnya. "Kami tidak memiliki pasokan medis untuk merawat orang-orang yang sakit, apalagi mereka yang terluka akibat serangan Israel."
Keluarga pengungsi mengatakan mereka akan terus mandi di laut, menyebut tidak ada pilihan lain. Rima Zaqqout (17) berkata, "Kami membawa sampo untuk memandikan anak-anak. Kadang-kadang kami juga berenang. Kami sedang menjalani masa-masa yang sangat sulit."
Advertisement