Sukses

Pengemis Transgender di India Pilih Transaksi Digital untuk Hindari Diskriminasi

Pengemis transgender di India menggunakan aplikasi digital sebagai upaya untuk menghindari diskriminasi. Salah seorang transpuan bernama Ayesha Sharma di lalu lintas ibu kota negara itu terlihat memegang ponsel pintar dengan kode QR di atasnya saat lampu menyala merah dan kendaraan berhenti.

Liputan6.com, Jakarta - Pengemis transgender di India menggunakan aplikasi digital sebagai upaya untuk menghindari diskriminasi. Salah seorang transpuan bernama Ayesha Sharma di lalu lintas ibu kota negara itu terlihat memegang ponsel pintar dengan kode QR di atasnya saat lampu menyala merah dan kendaraan berhenti.

Dikutip dari Al Jazeera, Minggu (12/11/2023), seorang yang melintas memindai kode itu dengan menyetorkan sebesar 10 rupee (sekitar Rp1.800an), sebuah tambahan yang mudah untuk mengemisnya. Meningkatnya transaksi digital dan antarmuka pembayaran instan seperti yang digunakan oleh Sharma, membantu komunitas marginal seperti kaum transgender dalam mengelola keuangan mereka.

Sebagai seorang pengemis di jalanan New Delhi sejak 2006, transpuan berusia 29 tahun itu sering kali menghadapi prasangka dan cemoohan. Sejak dia mulai meminta-minta uang menggunakan ponsel pintarnya, hal tersebut telah membantu mengurangi beberapa komentar yang di masa lalu mencoba mempermalukannya.

Hal ini juga mendorong masyarakat untuk memberikan uangnya bahkan ketika mereka tidak memiliki uang receh. Katanya, saat ini, sekitar seperempat dari penghasilannya dilakukan melalui mode digital.

"Sekarang jauh lebih mudah. Meski masyarakat tidak selalu membawa uang tunai, mereka tetap bisa berdonasi kepada kami hanya dengan memindai kode ini," kata Sharma kepada Al Jazeera.

Ia menambahkan, "Kami mungkin pengemis, tapi kami tetap harus diperlakukan dengan hormat dan sopan." Transaksi digital sejauh ini membuat mereka terhindar dari mengunjungi bank karena mereka sering menghadapi prasangka dan diskriminasi

2 dari 4 halaman

Upaya Kebijakan

Pemerintah India telah mencoba dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan transaksi digital dibandingkan uang tunai. Salah satu upaya mereka adalah termasuk melalui langkah-langkah kebijakan seperti demonetisasi pada November 2016. Langkah ini menghapus hampir 90 persen uang tunai yang beredar dalam semalam dan langsung menyebabkan lonjakan penggunaan aplikasi pembayaran.

Pandemi Covid-19 juga turut mendorong transaksi digital. Beberapa dari kebiasaan tersebut terus berlanjut dan hidup berdampingan dengan penggunaan uang tunai yang kembali menjadi metode pembayaran pilihan di negara ini.

Transaksi digital bekerja dalam beberapa cara. Ada aplikasi yang terhubung ke rekening bank seseorang dan uang segera ditarik langsung dari rekening ketika pembayaran dilakukan.

Lalu, ada aplikasi pembayaran dari perusahaan yang tertaut ke akun yang dibuat pengguna di perusahaan tersebut, atau dapat ditautkan ke dompet yang ditawarkan perusahaan, yang dimuat pengguna untuk digunakan seperti kartu prabayar. Leeza Khan, seorang transgender berusia 30 tahun dan pengemis dari kota Meerut di utara, memperoleh setidaknya 20 persen penghasilan hariannya melalui transaksi digital.

3 dari 4 halaman

Bukan Solusi Tepat

Khan yang merupakan lulusan kelas 10 itu ditinggalkan oleh keluarganya ketika dia mengungkapkan identitas barunya. Sejak itu dia mengemis di jalanan Delhi, di bus, dan bahkan di pesta pernikahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hal ini juga membantu masyarakat miskin perkotaan lainnya seperti Amri, seorang pemuda berusia 23 tahun yang menjual bunga di lampu lalu lintas di ibu kota India. Dia tinggal di jalanan dan menghasilkan antara 200 rupee (Rp37.600-an) dan 300 rupee (Rp56 ribuan) setiap hari, dengan sekitar 70 rupee (Rp13 ribuan) hingga 80 rupee (Rp15 ribuan) atau lebih berasal dari pembayaran digital.

Namun, meskipun pembayaran digital telah membantu para pengemis transgender, hal ini bukanlah solusi yang tepat. Setidaknya beberapa kaum transgender mengalami kesulitan untuk membuka rekening bank biasa atau memperbarui identitas gender mereka di rekening yang ada, meskipun bank sentral India sudah mengeluarkan arahan pada 2015 bahwa bank harus mengakui gender ketiga. Khan, misalnya, tidak memiliki rekening bank biasa karena ia tidak memiliki kartu PAN.

4 dari 4 halaman

Kesulitan Buka Rekening

Kartu PAN adalah dokumen keuangan penting yang dikeluarkan oleh departemen pajak penghasilan India yang berisi 10 digit nomor alfanumerik yang digunakan untuk aktivitas perbankan dan perpajakan atau kartu Aadhar, nomor identitas unik 12 digit, keduanya dapat digunakan untuk membuka rekening di bank mana pun di India. Khan bisa mendapatkan kartu PAN atau Aadhar setelah dia mendaftar sebagai gender ketiga di instansi pemerintah setempat.

Ia telah mencoba sekali atau dua kali, namun pengalaman orang asing yang mengintip kehidupan pribadinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu seperti, "Apakah kamu selalu merasa seperti ini?" dan apa yang keluarganya katakan tentang identitas gendernya, operasi apa yang telah dia jalani, apakah dia punya bukti bahwa dia seorang transgender, hingga lelucon-lelucon murahan, seperti mengapa dia menginginkan gender ketiga padahal dia sudah memiliki jenis kelamin yang telah membuatnya terluka dan dia mengabaikan prosesnya di tengah jalan, katanya kepada Al Jazeera.

Menambah tantangan baru, perusahaan yang menawarkan akun pembayaran digital kini mulai menerapkan aturan bahwa pelanggan harus memiliki kartu PAN atau Aadhar, yang merupakan bagian dari proses kepatuhan atau kenali pelanggan Anda (KYC). Akibatnya, Khan, yang tinggal bersama kaum transgender lain di sebuah komune, tidak memiliki rekening bank digital dan malah menggunakan kode QR yang ditautkan ke kepala komune, yang kepadanya ia membayar komisi dari penghasilannya.