Liputan6.com, Jakarta - Museum MACAN menghadirkan penampilan perdana dari Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyongoyong Ayang-ayang oleh Jumaadi dan The Shadow Factory bersamaan dengan pembukaan pameran terbaru, Voice Against Reason (VAR). Pertunjukan wayang yang inovatif dan eksperimental ini menampilkan ratusan wayang kertas dalam berbagai ukuran dan bentuk.
Setiap wayang kertas mewujudkan sebuah potongan peristiwa dan dimainkan secara terampil oleh dua orang pawang bayang-bayang di atas dua mesin overhead projector (OHP), diiringi dengan musik eksperimental oleh seorang penata musik. Karya tersebut diadaptasi dari kisah 823 pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia yang diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Boven Digoel, Papua, pada 1926.
Di tengah kesulitan yang melanda, para pejuang ini beralih pada musik dan seni untuk mempertahankan semangat hidup. Mereka menggunakan perkakas seadanya, seperti paku, bilah cangkul, kaleng kosong, rantang, dan peralatan makan untuk menciptakan seperangkat gamelan.
Advertisement
Dengan perpaduan seni visual, musik, dan puisi, Jumaadi dan the Shadow Factory membayangkan kembali pertunjukan wayang kulit di masa kini dengan menghadirkan karya inovatif yang jenaka, mengusik, tetapi terasa akrab dengan kita. Pertunjukan Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang berdurasi 45-60 menit.
Pertunjukan ini mengandung unsur perjuangan dalam sejarah dan cocok untuk segala umur, dengan bimbingan orangtua untuk anak-anak. Segmentasi itu sepertinya tidak keliru karena beberapa anak dari sejumlah sekolah dasar yang mengikuti pertunjukan perdana pada Rabu, 15 Desember 2023 di Museum MACAN di Jakarta Barat tu terlihat antusias menonton meski temanya bukan sesuatu yang ringan dan ngepop.
"Ini tema ceritanya tentang apa ya," tanya seorang anak perempuan dengan polos. Meski masih tidak terlalu paham dengan jalan ceritanya ia mengaku cukup senang melihat pertunjukan tersebut.
Sebagian besar dari mereka mungkin lebih terbiasa menggunakan gawai dan perangkat digital lainnya yang menampilkan gambar atau video yang memanjakan mata, tapi ternyata mereka bisa menyimak sebuah pertunjukan wayang eksperimental dengan khusyuk selama sekitar 60 menit.
Pihak Museum Mengundang 15 Anak
Sebagai bagian dari proyek ini, pihak museum mengundang 15 anak berusia 6 hingga 10 tahun dari tiga sekolah (SDN Kampung Bali 01, Sekolah Dasar Tzu Chi, dan SD Pesantren Asshidiqqiyah). Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang merupakan pertunjukan terbatas yang akan dihelat pada 18--26 November 2023.
Dalam kesempatan itu Jumaadi mengatakan Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang adalah sebuah kisah tentang bertahan hidup, bagaimana seni dan keindahan menjadi penting bagi umat manusia.
"Jadi pengunjung bisa menyaksikan kisah akan migrasi dan perpindahan, gagasan-gagasan tentang keindahan dalam ketangguhan, menemukan keberanian, dan kebebasan berekspresim karena itu kami Yakini pertunjukan ini bisa dinikmati segala usia, tapi anak-anak memang sebaiknya didampingi orang dewasa atau orangtuanya supaya lebih paham jalan ceritanya," terang Jumaadi.
"Namun, karya ini juga memunculkan pertanyaan tentang relevansi wayang di era digital ini. Kita tidak tahu pasti apakah wayang bisa bertransformasi di era digital tanpa menghilangkan kesakralannya atau justru tenggelam karena kemajuan teknologi,” sambungnya.
Advertisement
Museum MACAN Gandeng 24 Perupa dari Berbagai Negara
Selain menyaksikan pertunjukan wayang dan melihat pameran VAR, anak-anak dari beberapa SD itu juga mengikuti persembahan Fauna Wastopia, sebuah komisi Ruang Seni Anak oleh perupa yang berbasis di Bandung, Rega Ayundya Putri. Lulus dengan gelar Magister Seni Rupa dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB) ia dikenal dengan karya-karya berskala besar melalui gambar-gambar yang rumit di atas kertas dengan pulpen.
Di Ruang Seni Anak Museum MACAN, Rega menghadirkan Fauna Wastopia, yang didasari oleh ide fiksi spekulatif, menampilkan koleksi gambar hewan-hewan di masa distopia yang telah mengalami mutasi akibat degradasi lingkungan.
Anak-anak SD ini juga mengikuti lokakarya menulis yang dibawakan oleh penulis buku anak-anak, Reda Gaudiamo. Mereka berbagi tanggapan dan pemikiran mereka tentang karya seni yang dipresentasikan, lewat kata-kata mereka sendiri dan melalui gambar.
Sementara itu, Voice Against Reason adalah pameran besar yang melibatkan 24 perupa dari Australia, Bangladesh, India, Indonesia, Jepang, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Pameran kelompok ini menampilkan karya-karya baru, proyek-proyek terbaru dari sejumlah perupa kontemporer terkemuka, serta karya-karya kontemporer yang berdialog dengan karya seni bersejarah dari periode modern Indonesia.
Rangkaian Program di Pameran VAR
Voice Against Reason dilengkapi dengan rangkaian diskusi, program kuliah terbuka, dan program-program publik. Rangkaian acara akan berlangsung sepanjang periode pameran, serta dirancang untuk memperdalam keterlibatan audiens dengan karya seni dan tema-tema yang digagas, dan diselenggarakan oleh tim Kuratorial dan Edukasi Museum MACAN, dengan dukungan ko-kuratorial dari Putra Hidayatullah dan Rizki Lazuardi
Menurut Nin Djani selaku Kurator Edukasi dan Program Publik Museum MACAN, Voice Against Reason menyoroti isu seputar kedaulatan, partisipasi, dan beragam cara kita menginterpretasi seni dan peristiwa.
"Kerangka kuratorial ini mendorong tim Edukasi kami untuk lebih banyak melibatkan siswa dan guru dalam jejaring kami. Kami melakukan beberapa cara pendekatan baru dalam proses produksi materi pendidikan, dengan memperbanyak kolaborasi dan mengajak beragam komunitas untuk turut berkontribusi," terangnya.
Voice Against Reason dibuka mulai Sabtu, 18 November 2023 hingga 14 April 2024. Tiket saat ini sudah tersedia di https://www.museummacan.org/tickets dan mitra tiket: Loket.com, Tiket.com, dan Traveloka.
Advertisement