Liputan6.com, Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menjelaskan ada beragam corrective measures and actions yang telah dilakukan dalam 10 tahun ini. Hal tersebut merujuk pada kebijakan dan langkah yang berkenaan dengan penanganan sektor lingkungan hidup di Indonesia.
"Khususnya dalam hal proses perizinan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Tujuannya tidak lain memberikan kemudahan untuk ruang menjadi produktif bagi masyarakat sebagaimana hak untuk produktif bagi warga negara yang dimandatkan dalam UUD Pasal 27 dan Pasal 28," kata Siti dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (22/11/2023).
Baca Juga
Siti menerangkan bahwa langkah korektif pemerintah dalam penerapan secara utuh UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimulai dengan penerapan KLHS (strategic environmental asessment). Begitu pula dengan life cycle asessment (LCA) yang dikatakan Siti, telah pihaknya mulai rintis, serta terutama environmental impact assesment (AMDAL).
Advertisement
"Kita semua tahu bahwa tidak mudah melakukan improvement ini dan untuk itulah menjadi sangat penting saat ini kita bersama-sama dalam Rapat Kerja Nasional," lanjutnya.
Rakernas ini, disebutnya sebagai implementasi dan implikasi atas kebijakan yang telah diambil dalam rangka corrective actions. "Termasuk yang dilakukan secara bertahap karena cukup berat dan kompleksnya berkenaan dengan AMDAL," ungkapnya.
Sebagai instrumen pengendali dan alat pengambil keputusan suatu perizinan berusaha layak dengan sudut pandang pada sisi lingkungan, Siti menyebut AMDAL, UKL-UPL dan Persetujuan Lingkungan tidak terlepas pada tantangan penyederhanaan proses, dan kecepatan penyelesaian proses Persetujuan Lingkungan. "Untuk itulah maka harus dengan tetap memerhatikan kualitas pengambilan keputusan kelayakan lingkungan yang memadai," katanya.
Pembinaan dan Pengawasan
Upaya sistematisasi perizinan lingkungan di waktu yang lalu atau persetujuan lingkungan sekarang menurut UUCK, terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini untuk mencapai sasaran nasional dengan tetap menjaga lingkungan.
"Proses AMDAL dipermudah secara prosedural birokratis, namun dengan tetap menjaga prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang tepat sebagaimana prinsip-prinsip yang ditegaskan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009," terangnya.
Proses tersebut juga diiringi dengan pembinaan dan pengawasan melalui unit kerja eselon I, Badan Standardisasi dan Instrumen LHK (BSI). Langkah sistematis ini, secara teknis rinci akan terus dikembangkan.
Dalam kaitan itu pula, Siti mengatakan kehadiran BSI KLHK sebagai unit kerja di KLHK dimaksudkan untuk pengembangan instrumen, pengawasan dan pengendalian standar untuk aspek lingkungan dalam kegiatan dan usaha. Terkait pelaksanaannya juga bersama-sama dengan Direktorat Jenderal Teknis pembinaan sebelum sampai pada hal-hal krusial, yang akhirnya bila perlu akan masuk ke Direktorat Jenderal Penegakan Hukum.
"Jadi ada gradasi pengawasan mulai dari sesuai standar dulu, kemudian ada persoalan apa di teknisnya, apabila sudah sama-sama beres ternyata memang ada indikasi pelanggaran dan sebagainya. Ini kita bangun antara kesederhanaan perizinan dengan pengendalian perizinan, itu yang menjadi bersenyawa," katanya.
Advertisement
Proses Panjang AMDAL
AMDAL merupakan kajian dampak penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan terkait penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. AMDAL dapat dikatakan baik, jika memiliki nilai manfaat, yaitu sebagai dasar pengambilan keputusan kelayakan.
AMDAL juga dipergunakan sebagai alat untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan atas akibat akitivitas usaha dan/atau kegiatan. Selain itu, AMDAL juga menjadi acuan dalam penentuan pengelolaan dan pemantauan lingkungan.
Bila ditarik kesimpulan dari penjabaran sebelumnya, maka AMDAL merupakan environmental and social safeguard, yang artinya bahwa AMDAL merupakan suatu instrumen yang dapat digunakan untuk mengamankan dan melindungi kepentingan lingkungan dan masyarakat dengan tetap mempertimbangan atau mengedepankan aspek keseimbangan 3P, yakni Profit (Bisnis), Planet (Lingkungan) dan People (Masyarakat).
AMDAL telah melalui proses perjalanan yang cukup panjang, yakni sekitar 37 tahun (sejak 1986 sampai dengan saat ini). Hal ini telah melalui berbagai macam dinamika perubahan regulasi dan kebijakan dan strategi pemerintah untuk menjadikan Sistem Kajian Dampak Lingkungan sebagai salah satu perangkat utama perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Permohonan Persetujuan Lingkungan
Selanjutnya, perubahan-perubahan yang terjadi pada Sistem Kajian Dampak Lingkungan diperoleh melalui proses evaluasi guna mendapatkan perbaikan sehingga perangkat pencegahan dampak lingkungan tersebut dapat bermanfaat secara optimal baik pada level rencana usaha dan/atau kegiatan maupun pada level pengelolaan lingkungan hidup. Pada level perencanaan usaha dan/atau kegiatan harus dapat akan sejalan dengan kebijakan lingkungan, dan selaras dengan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup.
Semenjak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai implementasi dari lahirnya Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, maka tantangan penyederhanaan proses, kecepatan penyelesaian proses Persetujuan Lingkungan menjadi semakin penting. Ditambah lagi perubahan kewenangan yang sebelumnya berbasis pada proporsi yang seimbang antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota menjadi berubah sesuai dengan kewenangan Perizinan Berusaha menjadi tantangan sendiri. Hal ini terbukti pada jumlah permohonan yang meningkat tajam terhitung dari 2021.
Jumlah Permohonan Persetujuan Lingkungan dari 2018 hingga 2023:
2018 - 100
2019 - 103
2020 - 108
2021 - 356
2022 - 1399
2023 - 1607 (Sampai 1 November 2023)
Total - 3499
Advertisement