Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pemulihan Lahan Terkontaminasi dan Tanggap Darurat Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta Non-Bahan Berbahaya dan Beracun KLHK, Haruki Agustina, menggarisbawahi rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah. Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018, dalam laporan "Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup," sebanyak 72 persen penduduk Indonesia tidak melakukan pengolahan sampah di rumahnya.
"Meskipun tanggung jawab pengelolaan sampah ada pada pemerintah daerah sesuai peraturan, namun partisipasi masyarakat sangat penting. Kapasitas daerah dalam hal persiapan kualitas, infrastruktur, edukasi, dan penegakan hukum juga memainkan peran kunci dalam membangun kesadaran (masyarakat)," jelas Haruki, dalam sesi Climate Talk Liputan6.com dengan tema "Pandawara dan Darurat Sampah Plastik, What's Next?" yang diselenggarakan secara virtual pada Selasa, 28 November 2023.
Baca Juga
Menurutnya, langkah-langkah kecil menjadi krusial dalam membangun paradigma dan norma untuk meningkatkan kesadaran lingkungan, dengan proses yang disebut pendidikan sejak dini. "Karena kadang-kadang kita perlu ditekan dengan selain edukasi, perlu juga ada reward and punishment," ucap Haruki.
Advertisement
Selain itu, kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan fasilitas dan infrastruktur perlu diperhatikan agar memfasilitasi peningkatan kesadaran masyarakat. Dalam kerangka konsesi pengolahan sampah, tepatnya di dalam UU Nomor 18 tahun 2008, pemerintah pusat bahkan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur kebijakan regulasi sampah di wilayahnya, termasuk memberlakukan sanksi terhadap pelanggaran seperti membuang sampah sembarangan di jalanan dan sungai.
"Sebagai contoh, di Kota Depok, pelanggaran aturan pembuangan sampah dapat mengakibatkan tilang terhadap KTP serta penolakan dalam layanan sosial. Ini adalah langkah-langkah yang sangat baik, yang memang perlu digaungkan dalam konteks pemerintah daerah bisa melakukan regulasi secara komprehensif di wilayahnya masing-masing," tutur Haruki.
Penekanan Volume Sampah Mulai dari Hulu
Haruki juga mengulas mengenai konsep ekonomi sirkular, yang pada dasarnya mencakup praktik 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dalam pengolahan sampah sehingga memiliki nilai ekonomi yang terus berkembang. Dalam konteks ini, peran aktif dari social entrepreneur, mekanisme bank sampah, dan kegiatan daur ulang diakui sebagai unsur krusial dalam mengimplementasikan konsep tersebut.
Mengapa ekonomi sirkular? Haruki menyatakan bahwa pentingnya kerjasama dan sinergi antara pihak-pihak terkait dalam menciptakan lingkungan yang lebih berkelanjutan. Dengan melibatkan masyarakat, pemerintah, dan sektor industri, ekonomi sirkular dapat menjadi solusi yang lebih efektif dalam mengelola sampah dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.
"Menurut Peraturan Menteri (permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 75 tahun 2019 dan nomor 14 tahun 2021, yang dikendalikan oleh KLHK, diatur 32 ribu bank sampah yang tersebar dan sedang diupayakan untuk diperkuat serta diintegrasikan dengan industri," katanya.
Dalam permen tersebut, KLHK mendorong perusahaan untuk menurunkan target limbah sebesar 10 persen melalui praktik repackaging pasca-konsumsi, yang dikenal dengan Extended Producer Responsibility (EPR). Saat ini, EPR di Indonesia baru diterapkan terhadap 15 Badan Usaha dengan jumlah sampah terkurangi mencapai sekitar 1.145,5 Ton. Meskipun demikian, Kementerian LHK tetap menyosialisasikan aturan itu melalui pendampingan teknis peta jalan pengurangan sampah oleh produsen, yang pada akhir 2022 sudah diberikan kepada 353 badan usaha.
Advertisement
Peta Jalan Pengelolaan Sampah bagi Produsen
Walaupun telah didukung dengan instrumen peraturan yang telah mengadopsi sistem EPR dan pendekatan prinsip-prinsip sirkular ekonomi, dalam kenyataannya penerapan permen saat ini masih belum optimal. Hingga 2022, baru 42 perusahaan telah berkomitmen kepada KLHK untuk menyiapkan "road map", yang mencakup perencanaan, implementasi, redisain kemasan, dan kerjasama dengan bank sampah dalam pengelolaan sampah.
"Sebanyak 70 ribu ton sampah plastik dari perusahaan-perusahaan tersebut telah berhasil dikelola. Beberapa di antaranya bahkan telah membangun fasilitas recycle bag, seperti botol PET, yang tidak hanya menghasilkan bahan baku plastik sekali pakai tetapi juga membantu mengurangi penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui," kata Haruki.
Peluang dan tantangan implementasi EPR di Indonesia ke depan melibatkan ekspansi kerjasama antara produsen dan pelaku wirausaha (socio-enterpreuneurship) dalam konteks pengelolaan sampah. Selain itu juga mencakup pengembangan model bisnis atau usaha berkelanjutan yang mendukung prinsip-prinsip hijau sekaligus memberikan beragam opsi bagi masyarakat terkait produk dan kemasan yang ramah lingkungan.
Beberapa opsi tersebut meliputi produk tanpa kemasan, produk dengan kemasan yang dapat diuraikan dengan mudah (compostable), produk dengan kemasan yang dapat digunakan kembali (reusable), produk yang dapat diisi ulang, dan produk dengan kemasan yang dapat didaur ulang (recycleable), bahkan hingga opsi penggunaan kemasan yang dapat dikembalikan ke produsen (returnable packaging).
Pendidikan Lingkungan Sejak Dini
Pandawara Group, sebuah kelompok pemerhati lingkungan asal Bandung, menyampaikan pandangannya bahwa setelah belajar mengenai pengolahan sampah di Denmark, salah satu konsep yang ingin diterapkan di Indonesia adalah praktik sosialisasi dan komunikasi yang terintegrasi dalam setiap event.
Rifqi, salah satu anggota Pandawara Group, bercerita bahwa di sana, sosialisasi dan komunikasi selalu menjadi bagian integral dari setiap acara yang diselenggarakan. Pandawara Group menginginkan adopsi pendekatan serupa.
"Event musik di Jerman selalu menyelipkan unsur edukasi tentang lingkungan. Jadi mungkin, hal pertama yang perlu kita perhatikan adalah cara berkomunikasi yang baik dan efektif, penting untuk memahami karakteristik masyarakat," ucapnya.
Selain itu, Erika Torres Luquin, Environment Counselor di Kedutaan Denmark di Indonesia, memberikan perspektif mengenai peraturan dan hukuman terkait sampah di Denmark. Dia menjelaskan bahwa Denmark telah lama menerapkan pengelolaan sampah dengan kemajuan yang signifikan dari tahun ke tahun, dengan memprioritaskan kesehatan manusia dan masyarakat sebagai pertimbangan utama.
"Di Denmark, siswa menerima kurikulum khusus mengenai manajemen limbah sebagai bagian dari upaya sosialisasi. Pemerintah juga aktif berkomunikasi dengan penduduk, menyampaikan informasi melalui surat tentang tempat sampah yang dapat digunakan untuk berbagai jenis sampah, termasuk sampah organik," kata Erika. Meskipun polisi berwewenang mendenda pelanggar yang membuang sampah sembarangan, namun, menurut Erika, praktik ini jarang terjadi di Denmark.
Advertisement