Liputan6.com, Jakarta - Hujan muson telah berlalu dan banjir yang menutupi satu-satunya jalan telah surut sehingga truk kecil dapat mendaki kaki bukit Himalaya menuju sebuah mata air yang "memuntahkan" air mineral yang sangat segar. Saking segar, warga lokal menyebutnya "nektar."
Para pekerja di pabrik kecil mengangkut botol-botol kaca yang licin di sepanjang konveyor. Botol-botol yang diisi dengan air minum alami ini diberi label, dikemas dalam kotak, dan ditempatkan di dalam truk untuk perjalanan jauh, lapor Japan Today, dikutip Sabtu, 2 Desember 2023.
Air dari gua bawah tanah yang terbentuk di "Shangri-La terakhir di dunia" ini bukan air biasa. Botol-botolnya akan didistribusikan ke beberapa hotel mewah, restoran, dan keluarga terkaya di India, yang membayar sekitar 6 dolar (sekitar Rp92 ribu) per botol, kira-kira upah sehari untuk seorang buruh India.
Advertisement
Jutaan orang di seluruh dunia tidak memiliki air bersih untuk diminum, meski PBB menganggap air sebagai hak asasi manusia lebih dari satu dekade lalu. Meski panas ekstrem mengeringkan lebih banyak akuifer dan sumur, serta membuat lebih banyak orang kehausan, air mewah telah jadi tren di kalangan elit.
"Air berkualitas"Â ini diambil dari batuan vulkanik di Hawaii, dari gunung es yang jatuh dari gletser yang mencair di Norwegia, atau dari tetesan kabut pagi di Tasmania. Para ahli, beberapa di antaranya jadi produsen air mineral, menegaskan bahwa tren ini bukan tentang keangkuhan.
Mereka menghargai "air paling murni dari yang murni." "Air bukan sekedar air," kata Michael Mascha, pendiri Fine Water Society. Ia menyamakan konsumen air kelas atas dengan pecinta kuliner yang berkendara puluhan kilometer untuk mencari tomat terbaik atau garam langka.
Â
Menutup Akses Sumber Bersih bagi Warga
Beberapa orang meminum air mineral berkualitas sebagai pengganti alkohol. "Punya gelas yang tepat, minum pada suhu yang tepat, memadukannya dengan makanan, merayakannya dengan air mineral, semua ini adalah hal yang penting," klaim Mascha.
Di lereng bukit dekat pabrik pembotolan air mineral di Bhutan, yang dioperasikan Veen Waters India, terdapat mata air yang dulunya merupakan sumber air bersih bagi penduduk desa di dekatnya. Kini, sumber air tersebut, yang dibeli Veen dari pemilik sebelumnya lebih dari satu dekade lalu, disimpan di balik gerbang terkunci, tidak bisa diakses warga setempat.
Bisnis Veen melambat selama pandemi, kata Iyer, Managing Partner Veen. Namun, perusahaan tersebut kini mengekspor sekitar 20 ribu peti, atau 240 ribu botol, air ke India setiap bulannya, dikurangi beberapa peti yang kadang-kadang rusak karena perjalanan yang berliku selama beberapa hari.
Ia memperkirakan, sejauh ini, mereka baru memanfaatkan sekitar 10 persen dari pasar potensial. Setelah menyeberang ke India, truk-truk yang membawa air mineral ini akan menuju hotel-hotel dan restoran-restoran mewah di kota-kota, seperti New Delhi, Pune, dan Mumbai, tempat Veen berkantor pusat.
Â
Advertisement
Kiriman per Minggu
Beberapa keluarga kaya mendapat kiriman mingguan. Iyer bercanda bahwa orang terkaya di antara orang kaya membeli begitu banyak sehingga mereka "mungkin mandi dengan air itu."
Laporan pasar memperkirakan permintaan air premium di seluruh dunia akan semakin besar di tahun-tahun mendatang. Di India, yang kini jadi negara dengan populasi terbesar di dunia, dengan standar hidup yang meningkat dan kekhawatiran terhadap kualitas air, Veen siap memenuhi permintaan tersebut.
Namun, bagi banyak warga India, cerita mengenai air sangatlah berbeda, termasuk di lingkungan Dharavi di Mumbai, salah satu daerah kumuh terbesar di Asia, yang dipenuhi keluarga pekerja. Di sana, air masuk ke saluran pipa kota hanya sekali sehari, sekitar pukul 6 hingga 9 pagi.
Periode aliran air selama tiga jam membentuk ritual di lingkungan tersebut. Pria yang mengenakan celana pendek atau pakaian dalam akan sibuk membersihkan diri. Penghuni labirin gang-gang sempit dan rumah-rumah kecil ini menyikat gigi sambil berdiri di beranda depan, meludahkan pasta gigi ke dalam air yang mengalir di sepanjang balok beton yang tidak rata di tanah.
Kondisi Kontras
Mereka mengisi ember dan botol bekas untuk menyimpan air di rumah. Beberapa wanita mencuci panci dan wajan aluminium atau dengan cepat menggosok kaos oblong, syal, dan pakaian lain.
Ada pula yang lebih putus asa, seperti Rekha Nagesh Pawar, yang tinggal bersama keempat anaknya di tenda yang terbuat dari terpal plastik biru di sepanjang jalan raya Mumbai yang sibuk. Air yang ia peroleh dari tetangganya merupakan hasil sedotan ilegal dari sistem publik dengan selang taman.
Ia mengatakan, suaminya, yang merupakan seorang tukang batu, meninggal karena serangan jantung pada 2021, meninggalkannya mengemis uang untuk makan sehari-hari. Ia khawatir karena sering kali tidak ada cukup air untuk memandikan anak-anaknya atau mencuci pakaian mereka.
"Kami harus hidup dalam keadaan kotor dan tentu saja haus," kata wanita itu. Sulit baginya untuk membayangkan bahwa seseorang akan membayar uang senilai upah sehari untuk sebotol air mewah.
Advertisement