Liputan6.com, Jakarta - Adalah Fikri Rofiul Haq, seorang relawan Indonesia yang bekerja di Rumah Sakit Indonesia di Gaza sebelum fasilitas itu dihancurkan pasukan Israel, baru-baru ini. Setelah gencatan senjata berakhir pada Jumat, 1 Desember 2023, ia mengatakan bahwa suara pemboman militer Israel terdengar di mana-mana.
"Anda sekarang dapat mendengar suara serangan yang terjadi di seluruh Jalur Gaza dan orang-orang sekarat di sekitar kami," kata Haq pada Al Jazeera, dikutip Sabtu, 2 Desember 2023. "Kami masih berlindung di sekolah negeri di Gaza Selatan dan telah berada di sini selama tujuh hari terakhir sejak dievakuasi dari Rumah Sakit Indonesia."
Haq mengatakan, gencatan senjata singkat telah memungkinkan masyarakat Gaza kembali menjalani kehidupan normal, meski masih ada kekurangan, bahkan dengan bantuan kemanusiaan yang berdatangan setelah jeda pertempuran. "Sekarang gencatan senjata telah berakhir karena Israel menolak perpanjangan," ujar dia.
Advertisement
Gelombang pertama truk bantuan sejak gencatan senjata tujuh hari di Gaza berakhir telah masuk melalui perbatasan Rafah di sisi Mesir, kata Bulan Sabit Merah Palestina. "Kru Bulan Sabit Merah Palestina kini telah menerima truk bantuan melalui penyeberangan Rafah dari mitra kami di Bulan Sabit Merah Mesir," tulis PRCS di X, dulunya Twitter.
Tidak ada truk bantuan yang memasuki Jalur Gaza pada Jumat ketika Israel kembali melancarkan serangannya terhadap wilayah kantong itu. Kini, Israel dilaporkan sedang melakukan pengeboman di seluruh Jalur Gaza. Sejak gencatan senjata berakhir, fokus penyerangan berada di wilayah selatan Gaza.
Padahal di awal perang, Israel memerintahkan warga di bagian utara untuk mengungsi ke wilayah selatan. Kebanyakan pengungsi yang dievakuasi dari utara tidak dapat kembali.
Serangan Bom di Gaza Selatan
Para pengungsi telah "diusir" dua hingga tiga kali sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023, lapor Al Jazeera. Mereka meninggalkan wilayah utara tanpa membawa apapun dan sekarang berada di selatan untuk kembali dihadapkan dengan serangan bom.
Pasukan Israel juga menerbitkan peta pada Jumat, 1 Desember 2023, meminta masyarakat di Gaza untuk mengikuti instruksi dan arahan mengenai evakuasi dan daerah aman. Namun, masyarakat tidak memiliki listrik atau internet untuk mengakses peta tersebut.
Peta ini disebut "membingungkan orang-orang dan mereka tidak tahu bagaimana menghadapinya." Di saat yang sama, masyarakat Gaza juga tidak mempercayai pasukan Israel. "Orang-orang merasa tidak ada tempat yang aman (di Gaza)," sebut outlet itu.
Jurnalis Palestina Hind Khoudary mengatakan, warga sipil di Gaza selatan merasa marah, frustrasi, dan takut ketika tentara Israel meminta mereka mengungsi lebih jauh ke selatan menuju Rafah. Rumah sakit, fasilitas yang dikelola PBB, sekolah, dan rumah penuh sesak karena lebih dari satu juta orang pindah ke wilayah selatan sejak perang dimulai.
Advertisement
Ke Mana Kami Harus Melahirkan Diri?
Khoudary menambahkan bahwa warga sipil tidak dapat kembali ke wilayah utara di mana pertempuran darat dan serangan udara terus berlanjut. Namun, mereka pun takut pindah ke dekat Rafah yang juga terkena serangan.
"'Ke mana kami harus melarikan diri?' adalah pertanyaan yang mereka ajukan. Ada juga rasa frustrasi yang tinggi setelah tentara Israel menerbitkan peta yang memisahkan jalur tersebut jadi zona-zona bernomor. Masyarakat tidak tahu bagaimana menghadapinya karena mereka tidak memiliki listrik dan internet," tambah Khoudary.
Hisham Mhanna dari Komite Palang Merah Internasional mengatakan, ia berharap bantuan kemanusiaan untuk masyarakat Gaza yang dilanda perang tidak akan "dipolitisasi." "Kami terus mendesak semua pihak mengizinkan akses (bantuan) bagi semua warga sipil… rumah sakit, tim medis, dan pekerja kemanusiaan sehingga mereka dapat melanjutkan pekerjaan penyelamatan nyawa mereka," katanya pada Al Jazeera.
Selain itu, Mhanna juga mengatakan pertempuran yang terus berlanjut di Gaza menyulitkan lembaga bantuan untuk beroperasi. "Harus ada gencatan senjata yang menyeluruh sehingga bantuan kemanusiaan dapat membantu meringankan, meski sedikit, penderitaan warga sipil,” kata dia.
Meningkatnya Jumlah Warga Palestina yang Ditahan
PBB melaporkan peningkatan dramatis jumlah warga Palestina yang ditahan. Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari tiga ribu warga Palestina telah ditangkap di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dan 160 orang ditangkap dalam enam hari terakhir.
Penangkapan sering kali dilakukan tanpa bukti langsung adanya pelanggaran, kata Kantor Hak Asasi Manusia PBB. Enam pria Palestina telah tewas dalam tahanan Israel selama periode ini, angka tertinggi dalam beberapa dekade.
Meningkatnya jumlah penangkapan, laporan penganiayaan, dan kegagalan proses hukum menimbulkan kekhawatiran serius mengenai kepatuhan Israel terhadap hukum internasional, katanya.
Kementerian Kesehatan di Gaza melaporkan bahwa 198 petugas medis Palestina telah terbunuh di Gaza sejak perang dimulai awal Oktober 2023. Jumlah korban jiwa juga meliputi 112 staf PBB, menurut PBB. Ada juga 73 jurnalis dan pekerja media, menurut Sindikat Jurnalis Palestina, serta 15 staf pertahanan sipil, lapor Pertahanan Sipil Palestina.
Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina juga sempat menginformasikan bahwa pasukan Israel telah mencegah salah satu awak ambulansnya mencapai seorang pemuda yang ditembak di sebuah pos pemeriksaan dekat Nablus di Tepi Barat.
Advertisement