Liputan6.com, Jakarta - Dalam upaya mengkampanyekan perlindungan hutan Papua sebagai habitat burung cendrawasih dan memperkenalkan hewan endemik di Tanah Papua, Michael Jakarimilena dan Floranesia Lantang meluncurkan buku cerita anak Sampari si Cenderawasih: Masa Panen dan Peri Matoa. Buku cerita anak ini merupakan seri kedua setelah buku yang pertama, Sampari: Si Cenderawasih, sukses diluncurkan pada 2022.
Penulis buku itu, Floranesia Lantang menjelaskan bahwa pembuatan buku tersebut didasari minimnya edukasi soal satwa asli Papua, bahkan di Tanah Papua sendiri. "Kita kurang mendapatkan edukasi di sekolah mengenai satwa endemik (Papua). Bahkan, mungkin bisa dibilang baru 3–4 tahun lalu kita mengetahui bahwa jenis burung cendrawasih di Papua ada lebih dari dua jenis," ungkapnya kepada Liputan6.com, saat ditemui di Acara Launching Buku Cerita Sampari Seri #2, di Perpustakaan Nasional, Senin, 11 Desember 2023.
Ia mengaku merasa miris karena muatan lokal pendidikan di Papua masih minim sekali yang membahas Papua secara kontekstual. "Ya, biasanya muatan lokal itu mempelajari seperti hanya lagu-lagu daerah. Sementara, kalau yang ada di sekeliling kita itu mungkin karena dianggap kita sudah tahu (kurang dibahas). Padahal, tidak semua orang tahu," jelas Flo, akrab disapa.
Advertisement
Flo menjelaskan bahwa buku cerita anak dan literasi mengenai Papua itu masih sedikit. Sekalipun ada, hanya menonjolkan satu jenis burung cendrawasih saja. "Kita mau menonjolkan banyak karakter, supaya anak-anak tahu bahwa Papua itu kaya dengan alam, budaya, dan satwa endemiknya," tuturnya.
Karakter Satwa Endemik Papua
Buku cerita Sampari seri kedua ini tetap bercerita tentang burung cendrawasih. Namun, bukan hanya satu jenis. Ada beberapa karakter lainnya yang diperkenalkan pada seri tersebut, dengan tujuan mengedukasi dan memperkenalkan anak kepada hewan-hewan endemik Papua.Â
Para pembaca akan diperkenalkan dengan karakter baru, yaitu seekor kanguru pohon bernama Dingiso, yang dianggap sebagai binatang sakral oleh suku Moni, sebagai titisan roh para leluhur. Ada pula karakter lainnya, yakni "New Guinea Singing Dog" yang disebut sebagai anjing bernyanyi Papua bernama Wof, burung cendrawasih biru bernama Bilu, serta karakter peri matoa bernama Momotoa, dan Nimrod salah satu sahabat manusia Sampari dan kawanannya.Â
Pada buku ini, Sampari dan kawan-kawan akan melanjutkan misi dari buku petualangan pertamanya, ungkap Flo. Mereka akan kembali ke Hutan Matoa untuk menaburkan benih-benih tumbuhan sebagai upaya untuk melestarikan hutan yang telah rusak. Walaupun mengisahkan cerita fiksi, Flo menjelaskan bahwa ia melakukan riset dan menyesuaikan karakternya berdasarkan literatur-literatur ilmiah.
Advertisement
Nilai Moral dari Buku Cerita Sampari Seri Kedua
Flo juga menjelaskan bahwa nilai moral yang ingin disampaikan kepada para pembaca melalui ceritanya berkaitan dengan lingkungan dan satwa-satwa endemik Papua. "Pertama adalah siapapun kamu, meskipun kamu kecil karena burung cendrawasih adalah burung yang kecil. Kamu bisa menjadi pahlawan yang menaburkan benih-benih kebaikan," paparnya.
Nilai moral lainnya yang ia ingin sampaikan melalui buku ini adalah anak-anak dapat membantu melestarikan alam dan menjaga lingkungan dengan caranya sendiri. "Seperti misalnya cara dari Sampari, dia mengambil benih-benih dari rumahnya dan ia taburkan bersama-sama dengan temannya," ungkap Flo, seraya menambahkan bahwa kebaikan harus disebarkan, jika tidak, tidak mungkin kita membuat perubahan.
Pada buku kali ini, Sampari berkolaborasi dengan Yayasan EcoNusa yang bergerak di bidang alam, budaya, dan konservasi. Melalui kolaborasi ini, dihadirkan karakter Momotoa yang ditonjolkan dalam buku ini.
"Karakter ini (Momotoa) memang menjadi karakter yang menonjol di buku kedua. Karena kita ingin menunjukkan bahwa ada pahlawan kelestarian lingkungan, agar bisa menjadi contoh bagi teman-teman dan anak-anak di Papua. Bahwa siapapun bisa menjadi pahlawan," ungkapnya lagi.
Memproduksi Buku Sendiri dan Terbuka dengan Kolaborasi
Pada buku seri pertama, Flo menjelaskan, bahwa bercerita tentang Sampari dan kawan-kawan yang berpetualang ke Hutan Matowa. Namun sesampainya di sana, sebagian hutan sudah rusak karena ulah penebang liar.Â
Karenanya, mereka berusaha menghibur satwa-satwa yang hidup di Hutan Matowa. Setelah mereka pulang ke hutan sagu, mereka memiliki misi untuk memperbaiki hutan tersebut. Karena itu, pada buku kedua mereka akan menabur benih di hutan itu, sebagai kelanjutan dari ceritanya.
Flo mengakui, bahwa pada saat ini buku-bukunya masih diproduksi sendiri dan belum berkolaborasi dengan penerbit besar. Walaupun begitu, ia sangat terbuka dengan kolaborasi. "Karena kita mulai sendiri dulu. Siapa tahu, ke depan kalau ada kolaborasi, kita sangat terbuka," jelasnya.
Rencananya, buku ini akan dipromosikan secara mandiri lewat kanal media sosial @sampari.id. Flo juga menjelaskan, bahwa buku ini akan dipromosikan melalui e-commerce, seperti Shopee dan TokoPedia. "Jadi akan kita bukakan sendiri, misalnya Toko Sampari, yang khusus (menjual) buku-buku yang kita terbitkan," jelas Flo.
Advertisement