Sukses

Ikan Belida Kembali Ditemukan di Pulau Jawa Setelah Dinyatakan Punah pada 2020

Ikan belida yang bernama latin Chitala lopis ternyata juga ditemukan di Sumatra dan Kalimantan. Tapi, spesies Chitala lain yang lebih sering ditemukan nyatanya hampir punah.

Liputan6.com, Jakarta - Pada 2020, The International Union for Conservation of Nature (IUCN) Redlist menyatakan ikan belida Chitala lopis (C. lopis) di Pulau Jawa telah punah. Namun, ikan tersebut nyatanya kembali ditemukan oleh para peneliti.

Penemuan kembali ikan belida ini berasal dari hasil koleksi yang dikumpulkan sejak November 2015 hingga September 2023 pada 34 lokasi di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Penemuan itu merupakan hasil kolaborasi riset antara BRIN; Food and Agriculture Organization (FAO); Yayasan Selaras Hijau Indonesia; Universitas Jambi; Charles Sturt University Australia; Museum Vienna, Austria; dan Universite Montpellier, Prancis. 

Mengutip rilis yang dikeluarkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), 6 Desember 2023, spesies belida itu terakhir ditemukan di Pulau Jawa pada 1851, sekitar 172 tahun lalu. Dengan penemuan itu, disimpulkan bahwa keberadaan C. lopis saat ini mencakup tiga pulau, yakni Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.

Setelah dilakukan perbandingan data hasil sekuensing DNA barcoding dengan data genetik global Barcode of Life Data (BOLD) dan karakterisasi morfologi yang dibandingkan dengan koleksi spesies Chitala lopis yang tersimpan di Natural History Museum, London, tim peneliti meyakini bahwa spesies tersebut adalah C. lopis. Hasil riset itu dirilis dalam jurnal bereputasi tinggi di Jerman, Journal of Endangered Species Research Volume 52, November 2023. 

Arif Wibowo, peneliti dan Kepala Pusat Riset Konservasi Sumber Daya Laut dan Perairan Darat BRIN yang terlibat dalam penemuan tersebut mengungkapkan, spesies yang termasuk Famili Notopteridae dan Ordo Osteoglossiformes adalah ikan purba yang memiliki bentuk sirip seperti kipas.

 

2 dari 4 halaman

2 Spesies Ikan Belida yang Hampir Punah

"Jika ditinjau secara intraspesifik, jarak genetik C. lopis, C. hypselonotus, dan C. borneensis sangat rendah, sehingga pembeda gen mitokondrial antar-spesies tidak identik. Karakter morfologi C. lopis memiliki tinggi tubuh posterior dan panjang pre-dorsal lebih dominan dibandingkan dengan C. borneensis. Evolusi C. lopis diperkirakan terjadi sejak 1.200 tahun yang lalu," ia menjelaskan.

Seiring penemuan itu, selain membantah kepunahan ikan belida Jawa, juga menjawab persoalan taksonomi ikan belida di Indonesia. Menurut para ahli, mayoritas ikan belida di Indonesia termasuk dalam spesies C. lopis, meski ada jenis lain yang sering ditemukan, yakni C. borneensis dan C. hypselonotus.

"Kelimpahan dan sebaran ketiga jenis ikan tersebut mengalami penurunan di pulau Sumatera dan Jawa. Bahkan, status C. hypselonotus terakhir ditemui pada tahun 2015," lanjutnya.

Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Jenis Ikan yang Dilindungi, terdapat empat spesies famili Notopteridae yang dilindungi, tiga di antaranya adalah C. lopis, C. borneensis, dan C. hypselonotus. IUCN mengungkapkan spesies Chitala termasuk dalam kategori Least Concern yang mengindikasikan tingkat iesiko kepunahan masih rendah di Indonesia.

Karena itu, status konservasi C. lopis di Indonesia pada IUCN perlu dievaluasi. Pihaknya juga ingin merevisi status konservasi C. hypselonotus dan C. borneensis dari Least Concern menjadi Critically Endangered (kritis) dikarenakan keterbatasan stok dan sebaran.

3 dari 4 halaman

Alarm Kepunahan dari Sumatera Selatan

Meski disebut Least Concern, keberadaan ikan belida mulai sulit ditemukan di Sungai Musi. Ikan yang menjadi salah satu ikon kota Palembang itu merupakan salah satu bahan utama pempek, makanan khas Palembang.

Keberadaan ikan belida di perairan Sungai Musi kini di ambang kepunahan. Pasalnya, habitatnya kini terpolusi dengan beragam sampah, di samping berkompetisi dengan spesies lain.

"Ikan belida bertelur bisa mencapai 2.500-an butir, diprediksi 80 persen yang menetas. Tapi karena masih kecil, rantai makanan terbatas serta berkompetisi dengan ikan lainnya, sehingga 50 persen yang bisa bertahan," ucap Heryadi, Praktisi/Teknisi Perikanan pada Unit Pembenihan Rakyat (UPR) CV.Sumatera Mandiri Kota Palembang kepada tim Regional Liputan6.com, Jumat, 26 Maret 2021.

Alumni Politeknik (Poltek) Ahli Usaha Perikanan (AUP-STP) Jakarta ini menuturkan, ikan belida dewasa membutuhkan waktu 2-3 tahun atau berat badan 2-3 Kilogram, untuk melakukan proses kawin dan reproduksi. Namun saat ikan belida berukuran besar belum melakukan proses kawin, perburuan ikan belida sangat masif. 

"Melalui CV Samudra Mandiri, kita mencoba membudidayakannya sejak tahun 2016 lalu, namun memang sulit. Selain kesulitan mendapatkan indukannya dari nelayan, pakan yang dibutuhkan juga cukup mahal, yaitu udang-udang kecil," ucapnya.

4 dari 4 halaman

Ikan Pari Jawa Punah

Ikan pari Jawa, yang diketahui hanya dari satu spesimen yang diambil pada 1862 di pasar ikan di Jakarta, secara resmi dinyatakan punah, menurut Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) saat KTT iklim COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA). Hilangnya salah satu kerabat ikan pari menandai "kepunahan pertama spesies ikan laut akibat aktivitas manusia," kepala Unit Daftar Merah IUCN, Craig Hilton-Taylor, mengatakan pada Radio Free Asia, dikutip Sabtu, 16 Desember 2023.

Penangkapan secara intensif dan tidak diatur, ditambah degradasi habitat pesisir akibat industrialisasi merupakan faktor utama yang menyebabkan kepunahan ikan pari Jawa, menurut ketua penilai Julia Constance, kandidat PhD di Universitas Charles Darwin, Australia. Catatan baru ini membuat ikan pari Jawa ditambahkan ke Daftar Merah IUCN. 

Daftar itu merupakan sumber terlengkap di dunia untuk menilai risiko kepunahan dan status spesies hewan, jamur, dan tumbuhan. Laporan ini memberi data penting mengenai wilayah jelajah, populasi, habitat, ancaman, dan tindakan konservasi fauna untuk pengambilan keputusan dan perubahan kebijakan.

"Perubahan iklim merupakan ancaman terhadap keanekaragaman kehidupan di planet kita. Hari ini, kami membawa bukti dampak perubahan iklim pada rusaknya spesies," kata Direktur Jenderal IUCN, Gretel Aguilar.

Â