Sukses

Krisis Pangan Hantui Gaza Usai Distribusi Bantuan Makanan Tak Merata

Integrated Food Security Phase Classification (IPC), menyatakan pada pekan ini, bahwa seluruh penduduk Gaza, Palestina menderita tingkat bencana kerawanan pangan akut.

Liputan6.com, Jakarta - Hanya ada beberapa bungkus biskuit dan sekaleng kacang-kacangan yang menurut banyak warga Palestina di Gaza diberikan kepada keluarga mereka untuk bertahan hidup. Walaupun makanan tersebut diberikan sebagai bantuan secara gratis, sumbangan tersebut ditemukan dijual di pasar-pasar.

Dilansir dari The Guardian, Minggu (24/12/2023), risiko kelaparan meningkat setiap harinya, menurut Integrated Food Security Phase Classification (IPC), menyatakan pada pekan ini, bahwa seluruh penduduk Gaza menderita "tingkat bencana kerawanan pangan akut". Saat ini proporsi tertinggi dari populasi mengalami kerawanan pangan akut dari yang pernah direkam oleh monitor.

Pada Jumat, 22 Desember 2023, dewan keamanan PBB mendukung resolusi yang menyerukan peningkatan besar bantuan kemanusiaan untuk Gaza. Namun, Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, mengatakan kepada wartawan bahwa, "Masalah sebenarnya adalah cara Israel melakukan serangan ini menciptakan hambatan besar terhadap distribusi bantuan kemanusiaan di Gaza."

The World Food Programme (WFP) atau Program Pangan Dunia juga mengatakan semakin sulit menjangkau masyarakat karena semakin intensifnya pertempuran, makanan menjadi langka dan mahal, dan bahan bakar untuk memasak sulit didapat. Laporan terbaru mengenai ketahanan pangan WFP menyebutkan bahwa situasi terburuk terjadi di bagian utara Gaza, di mana 90 persen penduduknya tidak makan seharian penuh.

Banyak warga Gaza menggunakan media sosial untuk melampiaskan rasa frustasi mereka atas kurangnya pasokan dan tingginya harga makanan. Menurut mereka keadaan jadi semakin parah sejak berakhirnya jeda sementara pertempuran pada November 2023.

"Setelah 70 hari perang di Gaza, akhirnya bantuan masuk ke Gaza, untuk delapan orang, hanya dua ini?," kata seorang pria dalam video yang dibagikan oleh Al Jazeera sambil memegang sekaleng kacang-kacangan dan sebungkus kecil biskuit.

2 dari 4 halaman

Para Warga Palestina Membagikan Rasa Frustasinya Lewat Media Sosial

Seorang warga bernama Maya al-Khadr mengunggah video di Snapchat yang menunjukkan sekotak keju dan delapan kue kurma yang dibungkus satu per satu. Ia mengungkapkan bahwa batuan tersebut diberikan kepada keluarganya di Rafah, yaitu wilayah Gaza Selatan di mana puluhan ribu orang telah mengungsi dalam dua minggu terakhir.

"Ini adalah makanan saya sepanjang hari sarapan, makan siang, dan makan malam. Kadang-kadang pembagiannya berupa dua kaleng kacang-kacangan dalam satu hari, kadang tidak ada sama sekali, kadang beberapa kaleng tuna. Berhari-hari hanya biskuit untuk beberapa orang," ujarnya.

Persediaan makanan di Gaza terbatas karena pengepungan yang dilakukan Israel sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan hanya sedikit bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza melalui perbatasan Palestina dengan Mesir. Meskipun mereka yang menerima sebagian dari kiriman bantuan tersebut mengeluhkan jumlah yang didapat, sebagian lainnya mengatakan bahwa mereka tidak menerima apa pun dan menemukan makanan yang diberi tanda "tidak untuk dijual" di pasar.

3 dari 4 halaman

Terjadi Krisis Pangan dan Kenaikan Harga

"Ini sangat buruk pada tingkat kemanusiaan," kata Dina Safi, yang keluarganya mengungsi dari al-Nuseirat di Gaza tengah, yang terputus karena operasi intensif Israel. "Kami tidak punya gandum untuk membuat roti, kami tidak punya beras, tidak ada makanan di pasar," tambahnya.

"Kami mengalami hari-hari ketika saya tidak dapat menemukan cukup makanan untuk dimakan, meskipun kami punya uang. Namun, minggu lalu kami tidak dapat menemukan makanan karena tidak tersedia dan harga setiap persediaan makanan naik tiga kali lipat. Sekotak telur dulunya 4,70 dolar AS atau sekitar Rp72 ribu, sekarang menjadi 14,50 dolar AS atau sekitar Rp224 ribu," ungkapnya.

Safi mengatakan dia membeli sekaleng tuna bertanda "tidak untuk dijual" dan "hadiah dari masyarakat Jepang dari Program Pangan Dunia" seharga 9 shekel atau sekitar Rp34 ribu di pasar.

Safi, yang menggambarkan keluarganya sebagai keluarga menengah ke atas, mengatakan karena punya uang mereka bisa bertahan hidup sekitar dua minggu. Keluarga besarnya telah berlindung bersama, yang menurutnya berarti mereka dapat berbagi sumber daya dan makanan, namun dia mengkhawatirkan orang lain.

Dia mengatakan bahwa sebagian besar bantuan tampaknya disalurkan ke tempat penampungan evakuasi, namun banyak pengungsi, seperti keluarganya sendiri, yang tinggal di tempat lain. "Ini cukup sulit bagi yang lain. Mereka makan jauh lebih sedikit dari biasanya," katanya.

 
4 dari 4 halaman

Bantuan Pangan Tidak Didistribusikan Secara Adil

Seorang warga Palestina yang tinggal di Khan Younis, yang namanya tidak dipublikasikan demi keselamatan mereka, mengatakan bahwa bantuan tidak didistribusikan secara adil kepada semua orang dan beberapa orang mengambil lebih dari jatah mereka dan menjualnya.

Mereka mengatakan sebagian besar orang tidak menerima bantuan karena mereka tidak tinggal di tempat penampungan yang penuh sesak dan hal ini mendorong terjadinya penjarahan. Mereka juga menuduh pihak berwenang yang dikelola Hamas tidak mendistribusikan bantuan secara adil.

"Bantuan Qatar dan Kuwait diterima Kementerian Sosial dan ditempatkan di gudangnya dan tidak didistribusikan. Kalau disebarkan melalui organisasi yang berafiliasi dengan Hamas. Mereka mendistribusikannya kepada diri mereka sendiri dan orang lain tidak mendapat manfaatnya," kata mereka.

"Bagi saya, saya mentolerir ketidakadilan dan saya bisa membeli bantuan, tapi saya tinggal bersama orang-orang di jalanan dan saya bisa merasakan mereka dan merasakan betapa mereka membutuhkan bantuan ini. Saya merasakan kemarahan mereka terus-menerus, yang juga mendorong mereka untuk mencoba mencuri truk bantuan."

Hossam Wail, yang hampir setiap hari mengunggah video kehidupan orang-orang yang mencoba bertahan hidup dari pemboman Israel di Gaza, memposting video dirinya dengan secangkir teh dan biskuit dari WFP.

"Bantuan ini datang ke Gaza secara gratis, untuk membantu meringankan krisis yang dialami masyarakat. Dapatkah seseorang memberitahu saya mengapa kami membelinya di pasar? Tidak hanya itu, kami juga membelinya dengan harga yang sangat mahal. Hari ini saya membeli ini seharga lima shekel (sekitar Rp21 ribu)," kata Wail.

Seorang juru bicara WFP mengatakan mereka terus memberikan bantuan tetapi "makanan tidak cukup". Badan PBB tersebut mengatakan bahwa pihaknya telah menjangkau 760.000 orang dengan biskuit yang diperkaya nutrisi, paket makanan, atau tepung terigu  selama dua minggu terakhir.

"Dengan hanya sebagian kecil dari pasokan makanan yang dibutuhkan, kekurangan bahan bakar, gangguan komunikasi, dan tidak adanya keamanan, kami tidak dapat melakukan pekerjaan kami," kata mereka.

"WFP menangani penjualan bantuan pangan kemanusiaan tanpa izin dengan sangat serius dan berkomitmen untuk memastikan bahwa bantuan tersebut menjangkau orang-orang paling rentan yang bergantung pada bantuan tersebut untuk kelangsungan hidup mereka," ungkap juru bicara tersebut.