Sukses

Pakistan Melarang Perayaan Malam Tahun Baru 2024 Sebagai Solidaritas Terhadap Gaza

Pakistan telah melarang perayaan Malam Tahun Baru 2024 untuk menunjukkan solidaritas terhadap warga Palestina di Gaza, kata pemerintah setempat. Pemerintah juga mendesak masyarakat Pakistan untuk memperhatikan kesederhanaan saat malam pergantian tahun.

Liputan6.com, Jakarta - Pakistan telah melarang perayaan Malam Tahun Baru untuk menunjukkan solidaritas terhadap warga Palestina di Gaza, kata pemerintah setempat pada Kamis, 28 Desember malam. Mereka juga mendesak masyarakat Pakistan untuk memperhatikan kesederhanaan saat malam pergantian tahun.

Dilansir dari France 24, Minggu (31/12/2023), dalam pidato nasional yang disiarkan televisi pada malam hari, Perdana Menteri Anwaar-ul-Haq Kakar mengatakan, karena situasi di Jalur Gaza, pemerintah telah sepenuhnya melarang segala macam acara yang berkaitan dengan perayaan tahun baru.

Pemboman udara dan invasi darat Israel yang tiada henti ke Gaza, sebagai pembalasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober terhadap Israel, telah menghancurkan sebagian besar wilayah utara Gaza, dan menewaskan sedikitnya 21.320 orang, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, menurut laporan Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola oleh Hamas.

Serangan tanggal 7 Oktober 2023 oleh militan Palestina menyebabkan sekitar 1.140 orang tewas, yang sebagian besar adalah warga sipil, menurut penghitungan AFP berdasarkan data Israel. Kakar mengatakan pada hari Kamis, "Seluruh bangsa Pakistan dan umat Islam sangat sedih atas genosida rakyat Palestina yang tertindas, terutama pembantaian anak-anak tak berdosa, di Gaza dan Tepi Barat."

Malam Tahun Baru biasanya ditandai dengan meriah di Pakistan, dengan kembang api dan tembakan dari udara  beserta hari libur bank pada tanggal 1 Januari.

Sementara itu, Sharjah, sebuah daerah di Uni Emirat Arab, pada Kamis, juga melarang kembang api pada Malam Tahun Baru karena perang di Gaza. Larangan itu merupakan "ekspresi tulus solidaritas dan kerjasama kemanusiaan dengan saudara kita di Jalur Gaza”, kata polisi Sharjah dalam sebuah unggahan di Facebook.

2 dari 4 halaman

Langkanya Produk Menstruasi Membuat Perempuan di Gaza Dibayangi Penyakit Kronis

Dampak serangan Israel di Gaza telah berbuntut panjang. Salah satunya, perempuan Palestina di wilayah kantong itu menderita kekurangan pembalut, alat sterilisasi, dan peralatan kebersihan secara general. Hal ini berdampak negatif terhadap kehidupan mereka.

Berbicara pada The New Arab, dilansir Sabtu (30/12/2023), perempuan setempat mengeluh bahwa mereka kadang-kadang harus menghabiskan waktu berhari-hari mencari pembalut dan tisu, selain alat sterilisasi kebersihan pribadi, di apotek, toko, dan pasar lokal.

Upaya itu pun jarang berbuah hasil karena langkanya stok barang-barang tersebut. Mereka mengaku menderita akibat tidak adanya perlengkapan kebersihan diri, terutama saat siklus menstruasi yang memerlukan perhatian khusus.

Di antara perempuan-perempuan tersebut adalah Zainab Omar, seorang pengungsi Palestina di kota Rafah, yang menghabiskan beberapa hari mencari pembalut, namun tidak dapat memperolehnya.

"Saya mengungsi dari rumah saya di Kota Gaza ke Rafah tanpa bisa membawa apapun," tutur perempuan berusia 28 tahun itu. "Tanpa pakaian, tanpa uang, apapun."

Ia menyambung, "Saya tidak tahu bahwa perang akan berlangsung lama dan saya akan tinggal jauh dari rumah untuk waktu yang lama. Saya berjuang keras bertahan hidup dan menghadapi semua keadaan sulit yang saya dan suami saya hadapi."

3 dari 4 halaman

Pembalut Sangat Sulit Ditemukan

Zainab tidak tahu bahwa ia akan menghadapi "siksaan baru" yang melibatkan pencarian pembalut ketika masa menstruasinya semakin dekat. "Saya tidak mempersiapkan diri untuk kondisi seperti itu," beber warga Palestina itu.

Zainab melanjutkan, "Saya datang bulan, dan saya tidak membawa perlengkapan mandi pada hari-hari seperti ini. Suami saya sering mencari pembalut untuk saya, tapi ia juga tidak menemukannya."

Akhirnya, ia terpaksa memotong hijabnya jadi tiga bagian untuk digunakan sebagai pengganti pembalut, karena ia masih sesekali bisa mencuci jilbabnya. "Saya banyak menangis. Saya takut tertular bakteri saat menggunakan kain sebagai pengganti pembalut, tapi saya tidak punya pilihan lain," ujarnya.

Bagi Maram Al-Sayed, seorang perempuan pengungsi asal Kota Gaza, situasinya lebih buruk, terutama karena ia baru saja melahirkan bayinya tiga minggu. Ia bercerita, "Saya diusir dari rumah sebelum saya melahirkan tanpa membawa satu pun pakaian bayi, bahkan perlengkapan bersalin."

"Saya pikir, saya akan segera kembali ke rumah, tapi semua harapan saya sia-sia," sebut dia. "Saya dan suami berjuang keras membeli pakaian bayi, serta perlengkapan mandi dan pembalut. Tapi, kami hanya menemukan sedikit di antaranya dengan harga yang sangat mahal."

4 dari 4 halaman

Menambah Penderitaan Perempuan di Gaza

Ibu muda itu menyambung, "Pembalut saya hanya bertahan beberapa hari, dan inilah yang membuat saya menggunakan potongan kain untuk digunakan selama masa nifas."

Akibat kekurangan air, cuaca dingin, serta kurangnya pembalut dan perlengkapan mandi, Maram terjangkit infeksi bakteri pada alat kelamin yang memaksanya harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, membuatnya meninggalkan si bayi.

"Karena infeksi bakteri, saya tidak berhenti menstruasi dan penyakit itu masih terus saya alami hingga saat ini. Para dokter mengatakan bahwa mereka mungkin harus melakukan operasi pada rahim saya jika tubuh saya tidak merespons perawatan medis," jelasnya.

Kondisi ini sebenarnya telah mendorong banyak aktivis menuntut penyediaan perlengkapan kebersihan pribadi perempuan di Gaza. Mereka menekankan bahwa persediaan tersebut "bukanlah barang mewah" dan "penting untuk menjamin kesehatan perempuan."

Kelangkaan kebutuhan perempuan di Jalur Gaza disebabkan adanya pencegahan masuk bantuan kemanusiaan. Akibatnya, beberapa wanita terpaksa menggunakan obat kontrasepsi untuk menunda siklus menstruasi mereka, menyebabkan banyak dari mereka merasakan sakit luar biasa dan memperburuk penderitaan sehari-hari mereka.