Sukses

Rencana Event Harry Potter di Cagar Alam Australia Tersandung Petisi, Dituding Ganggu Hewan Liar dan Hutan

Event Harry Potter: A Forbidden Forest Experience akan dilaksanakan di sebuah cagar alam di Australia. Petisi penolakan pun diluncurkan karena acara itu dianggap merusak alam.

Liputan6.com, Jakarta - Rencana pembukaan atraksi Harry Potter: A Forbidden Forest Experience di Cagar Alam Briars di Gunung Martha, Australia, mendapat tentangan. Sebuah petisi yang diluncurkan untuk menentang acara tersebut telah ditandatangani hampir 5000 orang.

Mereka meyakini bahwa acara tersebut akan berdampak negatif terhadap lingkungan. Pasalnya, cagar alam tersebut merupakan habitat sejumlah hewan liar kebanggaan Australia, termasuk burung emu, kangguru, dan koala, serta spot populer untuk berjalan-jalan di hutan semak.

Para pengaju petisi di Change.org mengatakan mereka 'sangat terganggu' dengan gagasan mengenai pengalaman tersebut dan cagar alam tersebut 'jauh dari pantas untuk acara semacam itu'. 

"The Briars bukan sembarang taman; ini adalah satu-satunya tempat perlindungan berpagar di Semenanjung Mornington, rumah bagi ekosistem yang sangat penting namun rapuh," bunyi petisi tersebut, dikutip dari laman new.co.au, Selasa, 2 Januari 2024.

"Hewan lokal kita semestinya merasa aman di sini tanpa campur tangan manusia. Namun, dengan ribuan orang yang diprediksi berjalan melewati cagar alam ini selama berjam-jam setiap malam selama acara itu, kita dapat mengantisipasi dampak lingkungan yang serius."

Pengaju petisi itu menyatakan tidak menentang acara tersebut, namun mereka menolak acara dilaksanakan di lokasi itu merujuk kejadian serupa sebelumnya. "Ini bukan tentang menentang kesenangan atau hiburan. Faktanya, saya yakin pertunjukan penuh cahaya ini akan luar biasa, tapi tidak di The Briars," bunyi petisi tersebut.

2 dari 4 halaman

Dewan Kota Pilih Maju Terus

Pengaju petisi itu merujuk pada kejadian serupa yang digelar di Belgia. "Karena dampak buruknya terhadap satwa liar dan tumbuh-tumbuhan di sana, kejadian serupa tidak akan diulang lagi di lokasi tersebut."

"Kita harus belajar dari kesalahan masa lalu dan menemukan tempat yang lebih cocok untuk pertunjukan cahaya Harry Potter, yang tidak akan mengganggu atau membahayakan ekosistem lokal kita yang berharga. Mari kita berdiri bersama dan mendesak Dewan Daerah Mornington Peninsula untuk mempertimbangkan kembali keputusan mereka," bunyi petisi tersebut.

Meski ada kekhawatiran, pihak dewan nyatanya bersikeras untuk melanjutkan acara tersebut. Mereka mengklaim telah mempertimbangkan kemungkinan dampak terhadap satwa liar setempat. Mereka juga menyatakan berdasarkan pengalaman tersebut, hanya akan menggunakan sebagian kecil dari cagar alam.

"Penempatan alat peraga, lampu, dan suara telah dipertimbangkan dengan cermat," kata seorang juru bicara. "Sebagian besar pengalaman berada di jalur yang sudah ada sehingga mengurangi dampak terhadap vegetasi."

3 dari 4 halaman

Diprediksi Didatangi 200 Ribu Orang

Event di Victoria itu diharapkan bisa menarik lebih dari 200 ribu pengunjung. Seorang juru bicara dewan mengatakan kepada ABC tentang betapa pentingnya acara itu bagi kawasan tersebut.

"Acara seperti ini memberikan dorongan penting bagi bisnis lokal kami melalui belanja di toko, restoran, dan kafe lokal," kata mereka.

"Acara ini akan menampilkan wilayah kami, menginspirasi pengunjung untuk tinggal selama beberapa hari di waktu yang biasanya merupakan waktu tenang bagi sektor pariwisata kami."

Tiket acara tersebut sudah mulai dijual. Sementara, event tersebut akan dimulai pada 6 April 2024 dan peserta diminta menyelesaikan misi antara 60--90 menit.

Sebelumnya, event Harry Potter serupa sudah digelar di Belgia. Warga setempat juga mengalami kekhawatiran serupa terkait efek lingkungan yang disebabkan acara yang berlangsung di Taman Groenberg sampai-sampai penyelenggara, platform acara Fever, serta Warner Bros. merilis penyataan untuk meredakan kekhawatiran.

"Kami berkomitmen terhadap pelestarian lingkungan dan memastikan acara berjalan selaras dengan lingkungan dan bekerja sama dengan Badan Alam & Hutan Pemerintah Flemish, yang berkonsultasi dan menyetujui acara tersebut," bunyi pernyataan tersebut.

Namun, warga menilai acara tersebut telah merusak alam. "Ini hanyalah sebuah taman hiburan," kata Hugo Schoukens, seorang warga kepada media Brussels Times. "Akibatnya, alam di taman ini pasti rusak. Saya paham logika ekonominya, tapi hal ini tidak boleh mengorbankan alam."

 

4 dari 4 halaman

Acara Serupa di Kebun Raya Bogor

Program serupa juga sempat digelar di Kebun Raya Bogor pada 2021--2022. Bernama program Glow, acara tersebut digelar oleh BRIN bersama PT Mitra Natura Raya yang bertujuan menghadirkan sarana edukasi dan wisata di Asia Tenggara. Pengunjung dapat menelusuri Taman Pandan, Taman Meksiko, Taman Akuatik, Lorong Waktu, Taman Astrid, dan Ecodome.

Di Taman Astrid, pengunjung bisa mempelajari sejarah terbentuknya Kebun Raya Bogor hingga sampai sekarang menjadi wilayah konservasi dan pusat penelitian alami yang memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu botani dan farmasi. Sejumlah warganet sempat mengkhawatirkan program cahaya itu memengaruhi kondisi tanaman di Kebun Raya Bogor.

Mengutip kanal News Liputan6.com, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengklaim tidak ada pengaruh signifikan dari cahaya buatan dari program Glow terhadap pohon-pohon di Kebun Raya Bogor (KRB). Padahal, hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University menunjukkan bahwa cahaya artifisial pada malam hari terbukti berdampak penting dan negatif terhadap tumbuhan dan satwa.

Program Glow hanya mengambil area sekitar 3 persen dari total luas KBR Bogor yang mencapai 87 hektare. Lokasinya juga jauh dari cagar budaya dan situs-situs yang berada di kebun raya yang tidak boleh digunakan untuk aktivitas publik. Glow menempati area kebun non-koleksi, sehingga tumbuhan-tumbuhan koleksi, yang menjadi rujukan untuk penelitian maupun pelestarian tetap terlindungi. Selain itu, program ini tidak mengganggu situs-situs yang berada di kebun raya.

"Kami memiliki komitmen yang sama dengan masyarakat bahwa KRB ini adalah aset bangsa yang harus selalu dijaga dan dapat dioptimalkan untuk kemajuan masyarakat. Karena itu terobosan dan inovasi harus terus dilakukan tanpa meninggalkan akar budaya yang ada," kata Handoko, dikutip Selasa, 30 Agustus 2022.