Liputan6.com, Jakarta - Di jantung serangan pemboman Israel yang terus menerus dan tidak pandang bulu di Gaza, terdapat sebuah filosofi militer yang dikenal sebagai Doktrin Dahiya yang menyatukan setiap norma peperangan, menurut para ahli dan analis.
"Inti dari doktrin Dahiya Israel adalah gagasan menyebabkan kerusakan daripada akurasi (dalam pemilihan target)," kata Dr Ahron Bregman, yang bertugas di tentara Israel selama enam tahun dan sekarang jadi dosen di King's College pada TRT World, dikutip Jumat (5/1/2024).
Ia menyambung, "Itulah sebabnya setidaknya 40 persen dari bom pesawat-pesawat Israel yang jatuh di Gaza adalah bom bodoh." Pernyataannya merujuk pada perangkat bahan peledak yang jatuh bebas tanpa sistem panduan, dan karenanya sangat tidak akurat.
Advertisement
Ini juga menjelaskan jumlah kematian warga sipil yang mengejutkan di Gaza, menurutnya. Pasalnya, Israel dinilai tidak memiliki niat aktual untuk melindungi warga sipil, termasuk dalam pencegahan pengiriman bantuan pada korban luka-luka dalam perpanjangan tangnnya.
Dosen sejarah militer di Universitas Maynooth, Dr David Murphy, menyamakan perang Israel dengan kampanye pemboman selama Perang Dunia II yang bertujuan menghancurkan kota-kota untuk membuat populasi sipil bangkit dan berbalik melawan pemerintah mereka.
"Namun, apa yang telah kita lihat di Gaza adalah titik akhir dari paradigma 'perang di kota-kota' ini, karena tidak ada pilihan kelangsungan hidup yang tersisa untuk warga sipil, bahkan untuk berlindung di (pusat bantuan) PBB, pusat bulan sabit merah, atau rumah sakit,"Â bebernya.
Pola Serupa di Serangan Sebelumnya
Nama doktrin itu sendiri merujuk pada serangan militer Israel hampir dua dekade lalu. Kala itu, wilayah pinggiran Lebanon, Dahiya, atau juga diucapkan Dahieh, yang terletak di Beirut selatan, merupakan pusat operasi militer Israel pada 2006. Israel berpendapat bahwa itu adalah benteng Hizbullah.
Militer Israel meratakan seluruh lingkungan Dahiya sebagai hukuman untuk membuat penduduk berhenti mendukung Hizbullah. Doktrin ini membenarkan peperangan asimetris, penghancuran infrastruktur sipil, hukuman kolektif, dan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional.
"Apa yang terjadi di Dahiya, dan dioperasionalkan sebagai doktrin Dahiya, adalah pengabaian hukum internasional sepenuhnya," kata Rashid Khalidi, Profesor Sejarah di Universitas Columbia, pada TRT World. "Itu melanggar dua ketentuan utama: proporsionalitas dan perbedaan."
Komandan militer Israel saat itu, Gadi Eizenkot, telah mengatakan bahwa semua desa di Dahiya adalah pangkalan militer dari sudut pandang Israel. Itulah yang juga "diberlakukan Israel sampai batas tertentu" di Gaza, kata Profesor Khalidi.
Â
Advertisement
Tidak Bedakan Hamas dan Warga Sipil
Para ahli telah menyoroti kesamaan antara serangan Israel di Dahiya dan perang yang sedang berlangsung di Gaza, yang mengklaim menargetkan Hamas, tapi tidak melakukan diferensiasi kontras antara anggota kelompok militan dan warga sipil.
"Dalam perang yang sedang berlangsung, Israel mendefinisikan Hamas sebagai musuh, meski tindakan brutal mereka tampaknya menunjukkan bahwa mereka menganggap rakyat Palestina sebagai musuh," tambah Ahron. Menjatuhkan bom di kota juga menunjukkan niat nyata untuk menyebabkan kerusakan, menurutnya.
Menurut sebuah laporan media, baru-baru ini, Kantor Direktur Intelijen Nasional AS mengatakan hampir setengah dari 29 ribu amunisi udara-ke-darat yang digunakan untuk menyerang Gaza telah diidentifikasi sebagai "bom bodoh."
"Mengapa menjatuhkan bom mahal jika semua yang ingin Anda lakukan adalah menyebabkan kerusakan dan meratakan seluruh lingkungan, yang bisa dicapai dengan bom bodoh yang relatif murah?" sebut Bregman.
"Jika Anda bertanya pada orang Israel mengapa perlu meratakan seluruh wilayah, mereka akan menjawab bahwa itu perlu untuk melindungi pasukan mereka dari penembak jitu dan sebagainya. Tapi kebenarannya adalah mereka melakukannya untuk, yah, penyebab kerusakan."
Menargetkan Rute Aman bagi Warga Sipil
Meski Israel mengeluarkan perintah evakuasi, serangan udara mereka tetap menargetkan apa yang disebut "rute aman" yang digunakan warga Gaza. "Warga Palestina di Gaza terjebak di sana, tapi Israel masih terus menyerang kota tempat warga sipil berada," kata Dr Murphy.
Dalam peperangan perkotaan, yang merupakan tempat yang sangat sulit untuk meminimalkan korban sipil, jika ada pihak terus menyerang, itu berarti mereka sengaja menargetkan warga sipil, tambah Dr Murphy. Warga sipil di zona tempur juga "mendukung" strategi Israel.
Menurutnya, Israel beranggapan, bila mereka cukup menghukum penduduk sipil, korban adiharapkan berbalik melawan Hamas. Sementara Israel tidak ragu untuk menyerang rumah sakit, itu juga mencegah pasokan medis masuk ke wilayah kantong yang dikepung.
Ini berarti menghancurkan kemampuan warga sipil bertahan hidup, kata Murphy, menambahkan itu cukup terbuka dalam kasus ini. Apa yang dilakukan di Gaza juga merupakan perkembangan doktrin Dahiya, kata Profesor Khalidi.
Beberapa target telah diserang hanya karena mereka dianggap sebagai target bernilai tinggi tanpa koneksi yang diperlukan dengan perang. Ini termasuk Universitas Islam Gaza, Gedung Parlemen, gedung pengadilan, perpustakaan, dan rumah sakit.
Advertisement