Liputan6.com, Jakarta - Kekejaman perang terpaksa dialami anak-anak di Gaza, Palestina. Organisasi Save the Children melaporkan lebih dari 10 anak kehilangan satu atau bahkan kedua kakinya setiap hari di daerah konflik itu sejak perang berkobar pada 7 Oktober 2023.
Lembaga amal yang fokus pada masalah anak itu menyebutkan banyak prosedur amputasi bahkan dilakukan tanpa anestesi, menunjukkan situasi kemanusiaan yang mengerikan di wilayah Palestina setelah lebih dari tiga bulan dibombardir Israel. "Pembunuhan dan pencacatan terhadap anak-anak dikutuk sebagai pelanggaran berat terhadap anak-anak, dan pelakunya harus dimintai pertanggungjawaban," kata Jason Lee, Direktur Save the Children Palestina, dilansir CNN, Senin (8/1/2024).
Lee mengatakan bahwa penderitaan anak-anak dalam konflik tersebut tidak terbayangkan, padahal hal tersebut 'tidak diperlukan dan sepenuhnya dapat dihindari'. Lembaga itu merujuk pada pernyataan juru bicara UNICEF James Elder yang baru kembali dari Gaza. Ia mengatakan hingga 19 Desember 2023, sekitar 1.000 anak kehilangan satu atau kedua kaki mereka sejak 7 Oktober 2023.
Advertisement
Organisasi amal itu juga mengutip pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan bahwa banyak dari operasi terhadap anak-anak tersebut dilakukan tanpa anestesi, mengingat Gaza sangat kekurangan pasokan medis dan barang-barang kebutuhan pokok. Lee mengaku melihat 'para dokter dan perawat benar-benar kewalahan' ketika anak-anak dibawa ke rumah sakit dengan luka ledakan.
"Dampak melihat anak-anak yang sangat kesakitan dan tak memiliki peralatan ataupun obat-obatan untuk merawat mereka atau meringankan rasa sakit itu bahkan terlalu berat bagi ahli berpengalaman," ucapnya lagi.
Â
Seruan Gencatan Senjata Definitif
Menurut Save the Childen, risiko anak-anak meninggal akibat luka ledakan tujuh kali lebih tinggi dari orang dewasa karena mereka lebih rentan dan sensitif terhadap luka. "Tengkorak mereka masih belum sepenuhnya terbentuk, dan otot-otot mereka yang belum berkembang memberikan perlindungan yang lebih sedikit, sehingga ledakan lebih mungkin merobek organ-organ di perut mereka, bahkan ketika tidak ada kerusakan yang terlihat," Lee menjelaskan.
Ia pun menyerukan 'gencatan senjata definitif' untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan dan obat-obatan mengalir. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza pada Minggu, 7 Januari 2024, sedikitnya 22.835 warga Palestina terbunuh dan 58.416 lainnya terluka sejak 7 Oktober 2023.
Hampir 90 persen dari dua juta penduduk Gaza dipaksa mengungsi karena agresi militer Israel, menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB. Sejauh ini, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) selalu berkelit bahwa mereka tidak menargetkan warga sipil dan menuding Hamas menggunakan infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit, sebagai tameng untuk menyerang Israel.
Atas tindakan tak beretika perang itu, Afrika Selatan menuduh Israel melakukan genosida di Gaza dan melaporkan Israel kepada Mahkamah Internasional. Afrika Selatan berkata tindakan Israel memiliki karakteristik genosida yang berniat menghancurkan rakyat Palestina di Jalur Gaza sebagai bagian dari kelompok warga negara, ras, dan etnis Palestina. Israel juga dituduh gagal mencegah genosida.
Advertisement
Tiga Ancaman terhadap Anak-Anak Gaza
Badan Anak-anak PBB (UNICEF) sebelumnya telah memperingatkan tiga ancaman terhadap anak-anak di Gaza, yakni tidak hanya bahaya konflik yang berkecamuk, namun juga kekurangan gizi dan penyakit. Kasus diare pada anak di bawah usia 5 tahun meningkat sekitar 2.000 persen dibandingkan sebelum perang, kata UNICEF.
"Peningkatan kasus yang signifikan dalam jangka waktu yang singkat merupakan indikasi kuat bahwa kesehatan anak di Jalur Gaza memburuk dengan cepat," kata UNICEF.
90 persen anak-anak di bawah usia 2 tahun kini mengalami 'kemiskinan pangan yang parah', naik dari 80 persen pada dua minggu sebelumnya. "Jika digabungkan dan tidak ditangani, malnutrisi dan penyakit akan menciptakan siklus yang mematikan," UNICEF memperingatkan.
Mereka juga menambahkan bahwa keluarga-keluarga pengungsi menghadapi kondisi kebersihan yang buruk tanpa akses terhadap air bersih atau pipa ledeng. Martin Griffiths, pejabat tinggi bantuan darurat PBB, memperingatkan Jumat lalu bahwa kelaparan 'akan segera terjadi' karena masyarakat di Gaza menghadapi 'tingkat kerawanan pangan tertinggi yang pernah tercatat'.
"Gaza menjadi tidak bisa dihuni. Masyarakatnya setiap hari menyaksikan ancaman terhadap keberadaan mereka, sementara dunia terus menyaksikannya," kata Griffiths.
Doktrin Dahiya
Di jantung serangan pemboman Israel yang terus-menerus dan tidak pandang bulu di Gaza, terdapat sebuah filosofi militer yang dikenal sebagai Doktrin Dahiya yang menyatukan setiap norma peperangan, menurut para ahli dan analis.
"Inti dari doktrin Dahiya Israel adalah gagasan menyebabkan kerusakan daripada akurasi (dalam pemilihan target)," kata Dr Ahron Bregman, yang bertugas di tentara Israel selama enam tahun dan sekarang jadi dosen di King's College pada TRT World, dikutip Jumat, 5 Januari 2024.
Ia menyambung, "Itulah sebabnya setidaknya 40 persen dari bom pesawat-pesawat Israel yang jatuh di Gaza adalah bom bodoh." Pernyataannya merujuk pada perangkat bahan peledak yang jatuh bebas tanpa sistem panduan, dan karenanya sangat tidak akurat.
Nama doktrin itu merujuk pada serangan militer Israel hampir dua dekade lalu. Kala itu, wilayah pinggiran Lebanon, Dahiya, atau juga diucapkan Dahieh, yang terletak di Beirut selatan, merupakan pusat operasi militer Israel pada 2006. Israel berpendapat bahwa itu adalah benteng Hizbullah.
Militer Israel meratakan seluruh lingkungan Dahiya sebagai hukuman untuk membuat penduduk berhenti mendukung Hizbullah. Doktrin ini membenarkan peperangan asimetris, penghancuran infrastruktur sipil, hukuman kolektif, dan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional.
"Apa yang terjadi di Dahiya, dan dioperasionalkan sebagai doktrin Dahiya, adalah pengabaian hukum internasional sepenuhnya," kata Rashid Khalidi, Profesor Sejarah di Universitas Columbia, pada TRT World. "Itu melanggar dua ketentuan utama: proporsionalitas dan perbedaan."
Â
Advertisement