Liputan6.com, Jakarta - Tarif pajak hiburan saat ini sedang ramai diperbincangkan, lantaran banyak pelaku usaha di industri hiburan yang memprotes naiknya tarif tersebut menjadi 40 persen hingga 75 persen. Pajak yang dimaksud adalah Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2022, jasa hiburan di kategori tersebut dikenakan tarif pajak minimum 40 persen dan maksimum 75 persen. Lalu, benarkah tarif itu tergolong sangat tinggi dibandingkan pajak serupa di negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina.
Melansir dari Channel News Asia, 2 Januari 2024, mulai 2024, Thailand akan menerapkan tarif pajak 5 persen untuk tempat hiburan seperti kelab malam, dipangkas dari tarif tahun lalu yang besarnya 10 persen. Di Malaysia, menurut situs Malaysia Sales & Service Tax (MySST), kini mereka menerapkan pajak jasa 6 persen untuk tempat hiburan seperti kelab malam dan kelab privat.
Advertisement
Di negara Asia Tenggara lainnya, Singapura, berdasarkan situs Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS), mulai tahun ini mereka menerapkan tarif Goods and Services Tax (GST) 9 persen untuk pajak semua penjualan barang dan jasa. Sedangkan di Filipina, menurut situs Bureau of Internal Revenue (BIR), mereka menerapkan pajak 18 persen untuk kelab malam, karaoke, bar, dan sebagainya.
Terkait kenaikan tarif, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno merespons positif ajakan Inul Daratista untuk mendiskusikannya. Ia juga mengajak Hotman Paris Hutapea yang memprotes hal serupa bertemu muka.
"Tadi kita udah ngobrol bareng sama Mbak Rieka dan Mas Piyu. Saya sudah mengundang Bang Hotman dan dan Mba Inul. Bang Hotman mungkin di Kopi Joni, kalau Mbak Inul kayaknya serunya di karaoke Inul Vista," kata Sandiaga seusai Weekly Brief with Sandi Uno di Jakarta, Senin, 15 Januari 2024.
Â
Â
Aturan Besaran Pajak Hiburan
“Saya tadinya mengundang ke sini, tapi ternyata hari ini belum ada konfirmasi, karena setiap Senin, kita buka peluang bagi seluruh pihak, termasuk media juga bagi pelaku parekraf untuk curhat sampai curcol kepada kita," tambahnya.
Sandi mengaku penyusunan UU Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang memuat aturan besaran pajak hiburan itu dilakukan terintegrasi di pemerintah. UU tersebut adalah turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang banyak ditentang masyarakat karena dinilai terlalu berpihak pada pengusaha.
"Ini muaranya UU Cipta Kerja yang diturunkan ke UU Nomor 1 Tahun 2022 yang akan diterapkan dua tahun setelah itu. Jadi memang ada jeda sekitar dua tahun untuk ada diskursus," terangnya tanpa menjawab apakah Kemenparekraf dilibatkan langsung dalam pembahasan pasal tersebut.
Sandi mengklaim pihaknya sudah mensosialisasikan soal itu sebelumnya. Ia sudah berdiskusi dengan para pelaku usaha hiburan, pariwisata, dan ekonomi kreatif melalui program Kata Kreatif. Namun, isu tersebut diakui baru menjadi perhatian masyarakat saat UU tersebut berlaku.
Advertisement
Kondisi Jasa Hiburan
"Seperti biasa kita harus menyampaikan ini sudah menjadi topik bahasan, tapi karena perhatian masyarakat dan netizen baru, makanya kita fasilitasi agar menjadi diskusi yang memberikan kontribusi," ujarnya. "Jangan sampai ada gelombang kesulitan diakibatkan oleh pajak yang timbul di awal tahun ini," imbuhnya.
Menurut Sandi, kondisi jasa hiburan di dalam negeri sudah mulai pulih. Namun, proses pemulihan masih di tahap awal. "Pemulihan ini ibaratnya bayi yang baru berjalan habis terkena sakit. Jadi, mari kita beri asupan gizi, kita berikan nutrisi sehingga bisa tegap berdiri, berjalan, dan berlari," ucapnya.
Dia pun mengimbau agar pemerintah daerah tidak buru-buru menerapkan aturan baru pajak hiburan menurut pasal 58 UU HKPD. Pasalnya, sejumlah pihak, terutama pengusaha spa, sedang mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Keluhan kenaikan pajak hiburan juga datang dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Menurut Sekjen PHRI Maulana Yusran saat dihubungi Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa (16/1/2024), kalau hiburan tidak kompetitif, maka akan berdampak pada banyak aspek.
PHRI Keberatan Kenaikan Pajak Hiburan
PHRI sendiri sudah mengatakan keberatan terkait besaran pajak tersebut. Hal pertama menurutnya dalam membuat kebijakan penetapan pajak tersebut, pemerintah tidak melibatkan dunia usaha dan tidak melihat kemampuan dari wajib pajaknya.
Di samping itu, persentase pajak tersebut di tiap daerah juga tidak bisa disamakan karena tiap wilayah pendapatan masyarakatnya pun berbeda. "Pajak tinggi itu biasanya untuk bisnis yang dibatasi ruangnya, tapi apakah bisnis hiburan akan dibatasi pemerintah? Padahal ini (bisnis hiburan) menyerap tenaga kerjanya banyak dan tidak membutuhkan spesial skill," Yusran mempertanyakan.
Kebijakan pajak tersebut pun dinilai besebrangan dengan keinginan pemerintah untuk bisa memperluas lapangan kerja bagi masyarakat. Sedangkan bisnis hiburan di Indonesia saat ini masih mendapat konotasi "negatif" sehingga mendapat tekanan pajak yang besar, padahal menurutnya tidak selalu demikian.
Lebih lanjut, Yusran mengatakan bisnis hiburan seharusnya bisa dipandang secara positif. Kalau pun terdapat pelanggaran, maka permasalahannya ada di sisi pengawasan.
Â
Advertisement