Liputan6.com, Jakarta - Neraca perdagangan rempah Indonesia tercatat selalu surplus sejak 2017. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor rempah-rempah Indonesia selama Januari sampai November 2023 mencapai 148,22 ribu ton (naik 29,77 persen YoY) dengan total nilai ekspor mencapai 564,12 juta dolar Amerika, lapor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Kepala Divisi Riset dan Pengembangan LPEI, Rini Satriani, mengatakan bahwa China, Amerika Serikat (AS), India, Vietnam, dan Belanda jadi negara tujuan utama ekspor rempah-rempah Indonesia. Namun, peningkatan ekspor rempah tertinggi pada Januari hingga November 2023 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dicatatkan ke Bangladesh, Pakistan, China, India, dan Peru.
"Meski beberapa rempah mengalami penurunan permintaan, ada pula yang tumbuh positif," kata Rini, lapor Tim Bisnis per 18 Januari 2024.
Advertisement
Dijelaskan bahwa rempah-rempah seperti pala, lawang, dan kapulaga berperan penting dalam industri makanan dan kosmetik. Sementara itu, adas, ketumbar, dan jintan telah membuktikan manfaat kesehatan, mulai dari merawat kesehatan perut hingga menjaga kadar gula darah dan mengurangi kolesterol jahat.
Sepanjang Januari sampai November 2023, pelemahan permintaan rempah-rempah, seperti pala, lawang, kapulaga, lada, dan kayu manis memang tercatat. Di sisi lain, beberapa rempah membukukan pertumbuhan positif.
Ini termasuk cengkih yang tumbuh 61,03 persen (YoY), lalu adas, ketumbar, dan jinten yang tumbuh 81,55 persen. Disusul jahe, kunyit, dan rempah lain yang tumbuh 139,47 persen (YoY). Perkembangannya, sebagaimana industri lain, sayangnya dibayangi dampak perubahan iklim.
Terdampak Pola Iklim Tidak Menentu
LPEI menyebut bahwa tantangan perubahan iklim dan perlambatan ekonomi di beberapa negara tujuan perlu diwaspadai karena dapat menghambat ekspor rempah-rempah Indonesia. Dampak krisis iklim juga dibahas di Kongres Rempah Dunia edisi ke-14 pada 15--17 September 2023 di Pusat Pameran dan Konvensi CIDCO di Navi Mumbai, Maharashtra, India.
Menurut situs web jaringan pertanian Belanda, Agroberichten Buitenland, dikutip Minggu (21/1/2024), rempah-rempah, seperti lada hitam, jinten, cengkih, kapulaga, pala, jahe, dan kunyit telah tercatat terdampak pola iklim yang tidak menentu dan siklus hujan yang tidak dapat diprediksi.
Di India, yang merupakan negara eksportir rempah terbesar di dunia, para petani mengadopsi teknik pertanian agresif karena kepemilikan lahan yang terfragmentasi. Penggunaan bahan kimia pertanian yang tidak dibatasi juga telah berdampak pada kualitas air dan tanah untuk budidaya.
Pengelolaan sumber daya yang buruk dan praktik pertanian berlebihan lain telah menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada lahan pertanian tradisional. Penurunan kualitas hasil panen rempah karena kurangnya tenaga kerja terampil dan teknik pasca-panen yang tidak tepat pun telah dilaporkan.
Advertisement
Dorong Praktik Berkelanjutan
Rantai nilai global kini mengikuti norma-norma sosial dan lingkungan modern saat melakukan pengadaan rempah-rempah dari pemasok. Menawarkan jaminan kualitas yang memenuhi standar internasional tidak lagi jadi hak prerogatif untuk mendapatkan harga yang baik, namun dianggap sebagai persyaratan dasar untuk bertahan dalam bisnis ini.
Peraturan pasar yang terus berkembang sangat berfokus pada kualitas, keamanan, dan ketertelusuran hasil pertanian, termasuk rempah-rempah. Pembudidaya rempah-rempah juga perlu menerapkan praktik budidaya yang berketahanan iklim.
Penggunaan bahan perbanyakan yang berkualitas dan kuat menjanjikan pengembangan kekebalan tanaman terhadap perubahan pola iklim. Penggunaan sumber daya secara optimal dan upaya untuk menjaga kualitas alaminya juga sangat penting dalam mempertahankan produksi rempah di masa depan.
Menggabungkan praktik terbaik yang berkelanjutan dan bertanggung jawab saat mencari, memproses, mengemas, dan memasok rempah-rempah akan memastikan kualitas dan ketertelusuran produk akhir yang sesuai standar global.
Serangkaian inisiatif sedang diluncurkan para pemangku kepentingan di sektor rempah-rempah global untuk selaras dengan tujuan keberlanjutan. Inisiatif Rempah Berkelanjutan (SSI) oleh IDH adalah salah satu program tersebut.
Program Spice Up The World
Di sisi lain, sejak 2021, Indonesia telah mendorong peningkatan ekspor rempah melalui program "Spice Up The World." Ini merupakan salah satu program lintas kementerian/lembaga yang secara khusus berfokus pada peningkatan pemasaran produk bumbu maupun pangan olahan dan rempah Indonesia, melansir laman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Spice Up The World juga diharapkan dapat mengembangkan dan menguatkan restoran Indonesia di luar negeri alias jadi bagian dari gastrodiplomasi restoran. Karena tujuan utamanya mendorong kuliner Indonesia ke mancanegara, Spice Up The World menargetkan menghadirkan empat ribu restoran Indonesia di luar negeri pada 2024.
Selain, program itu juga bermaksud meningkatkan nilai ekspor bumbu dan rempah. Dalam konteks bumbu, pengadaannya menyasar bumbu instan untuk menghasilkan makanan-makanan Indonesia, seperti rendang, nasi goreng, sate, soto, dan gado-gado.
Juga, diikuti berbagai bumbu pendukung lain, seperti kecap manis dan kacang tanah. Sementara untuk bumbu rempah prioritas ekspor Indonesia berupa lada, pala, cengkih, jahe, kayu manis, dan vanila.
Di samping mendorong pertumbuhan kuliner dan restoran Indonesia di luar negeri, Spice Up The World juga bermaksud menarik wisatawan datang ke Indonesia guna mencicip langsung berbagai kuliner yang diolah menggunakan ragam rempah khas.
Advertisement