Sukses

Lika-liku Akulturasi Makanan Imlek di Indonesia

Setiap kuliner Imlek, termasuk yang hasil akulturasi, selalu punya makna simbolis maupun filosofis.

Liputan6.com, Jakarta - Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi. Interaksi semacam ini nyatanya tercatat di banyak hal di Indonesia, termasuk dalam makanan Imlek yang sarat akan makna.

Menurut sejarawan Wijaya, akulturasi budaya Tionghoa dan Indonesia tidak hanya terjadi dalam konteks kesenian, infrastruktur, pakaian, dan bahasa, tapi juga kuliner. "Seiring interaksi yang terjalin dari generasi ke generasi, ada pula adaptasi dalam hal cita rasa," katanya melalui pesan pada Tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 2 Januari 2024.

Ia melanjutkan, "Ini termasuk bahan masakan dan bumbu yang digunakan (dalam makanan Imlek hasil akulturasi), dengan tetap menjaga akar budaya Tionghoa."

Wijaya menyebut bahwa ia belum menemukan referensi terkait kapan pastinya akulturasi kuliner Imlek mulai tercatat di Indonesia. "Tapi, mengutip Lombard (2005)," sebut dia. "Masuknya budaya Tionghoa ke Indonesia dimulai dengan datangnya pendeta Buddhis bernama Faxian (Fa Hsien) untuk singgah dalam perjalanan dari China ke India."

"Saat itu, Pulau Jawa (She-po) merupakan tempat pertama yang dikunjungi berdasarkan teks-teks China. Sedangkan, (menurut) Indonesian Cross Cultural Society dan Intisari (2012), pada perkembangannya, makanan China dianggap berkontribusi penting dalam memengaruhi distribusi makanan, variasi makanan, dan pola konsumsi (Wu dan Cheung, 2002)."

"Sejak berabad-abad lalu, masyarakat Tionghoa yang bermigrasi ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berasal dari berbagai suku daerah, seperti Hokkien, Teochew, Hakka, Kanton, Hainan, Kwangsi, Hokcia, Hunan, dan Hinghua," bebernya.

2 dari 4 halaman

Sarat Makna Simbolis dan Filosofis

Setiap kuliner Imlek, termasuk yang hasil akulturasi, selalu punya makna simbolis maupun filosofis, menurut Wijaya. "Beberapa di antaranya ada kue keranjang atau nian gao yang merupakan simbol keharmonisan dan keutuhan keluarga, serta rezeki," ucapnya.

Ia melanjutkan, "Kemudian, ikan bandeng juga harus selalu tersaji sebagai simbol rezeki dan usaha yang lancar, serta bukti kecintaan pada orang yang dituakan, baik orangtua dan mertua, yang dikaitkan dengan ukuran (ikan) bandeng itu sendiri."

"Lainnya seperti kue lapis legit sebagai simbol bahwa meraih rezeki itu melalui tahapan proses berjenjang sampai dilimpahkan rezeki yang banyak," ia melanjutkan.

Uniknya, kue lapis legit, yang akhirnya identik dengan perayaan Tahun Baru China di Tanah Air, sebenarnya bukan makanan hasil akulturasi budaya Tionghoa-Indonesia, melainkan Indonesia-Belanda. Melansir laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Sabtu (3/2/2024), lapis legit diperkenalkan dengan nama spekkoek oleh Belanda.

Menurut Indonesia Travel, kata "spek" berarti "lemak babi yang berlapis," karena lapisan di kue tersebut terlihat seperti lemak babi. Sedangkan, "koek" berarti kue atau bolu dalam bahasa Belanda.

 

3 dari 4 halaman

Makanan Asli Indonesia yang Kemudian Identik dengan Imlek

Kue lapis legit kemudian dimodifikasi dengan penggunaan rempah-rempah yang dicocokkan dengan lidah masyarakat Indonesia, sehingga rasanya berbeda dengan versi aslinya. Rempah-rempah yang digunakan termasuk kapulaga, cengkih, bunga pala, kayu manis, dan adas manis.

Adonan kue juga memerlukan kuning telur, tepung terigu, gula, dan mentega. Dinamai lapis legit karena rasa kuenya yang sangat manis dan memiliki banyak lapisan, sekitar 18 hingga 23 lapis. 

Sementara itu, salah satu makanan asli Indonesia yang kemudian identik dengan perayaan Imlek adalah dodol atau kue keranjang. Wijaya menjelaskan, "Dodol sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno, sebagaimana tercatat dalam prasasti Alasantan dan Prasasti Sangguran sebagai makanan penutup para bangsawan."

Dari waktu ke waktu, kuliner Imlek hasil akulturasi budaya Indonesia dan Tionghoa, ia menyambung, lebih bertitik berat pada makanan yang dihasilkan melalui olahan berbahan dasar daging, entah ayam maupun sapi, dan tepung beras ketan dengan varian bumbu berciri khas Indonesia.

4 dari 4 halaman

Melestarikan Eksistensi Makanan Tradisi

Wijaya menyebut bahwa selama manusia hidup dan berinteraksi antar generasi, akulturasi, termasuk dalam kuliner Imlek, akan terus terjadi.

"Ini termasuk akulturasi makanan yang menyesuaikan dengan ketersediaan bahan baku, bumbu, lidah penyantapnya, dan penyajiannya sebagai upaya untuk tetap melestarikan akar budaya Tionghoa dan eksistensi hidup bermasyarakat bernegara," bebernya.

Terkait peran ketersediaan bumbu untuk menjaga eksistensi kuliner warisan juga sempat disinggung team leader Pusaka Rasa Nusantara (PRN) Meilati Batubara. "Kami sempat mampir ke Singkawang, dan memang ada makanan Imlek (hasil) akulturasi di sana," sebut dia saat ditemui Tim Lifestyle Liputan6.com di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Jumat, 2 Februari 2024.

Ia menyambung, "Saat kami ngobrol, ada kuliner yang dulunya ada, tapi sekarang sudah tidak dimasak lagi. Itu salah satunya karena alam sudah tidak bisa menyediakan bumbu yang dibutuhkan untuk membuat makanan tersebut."

Di sisi lain, menurut Wijaya, kelestarian makanan Imlek hasil akulturasi terletak di tangan generasi sekarang dan mendatang agar tidak tergerus produk makanan modern. "Melalui proses pendidikan, upaya transfer pengetahuan, kebudayaan, dan akulturasi makanan Tionghoa-Indonesia harus diedukasikan (pada generasi muda)," tandasnya.

Video Terkini