Liputan6.com, Jakarta - Lebih dari 100 penerbangan dialihkan atau tertunda akibat asap menyelimuti ibu kota Vietnam pada Jumat pagi, 2 Februari 2024. Asap pekat membuat pesawat tidak bisa lepas landas maupun mendarat di Bandara Noi Bai yang menyebabkan kedatangan ditangguhkan sementara sejak pukul 04.30 pagi.
Mengutip EuroNews, Minggu (4/2/2024), otoritas setempat menyatakan pesawat tak aman untuk mendarat karena jarak pandang rendah. Beberapa penerbangan akhirnya dialihkan ke bandara lain, seperti Cat Bi di Hai Phong yang berjarak 125 kilometer di timur Hanoi. Tiga bandara lain, yakni Tho Xuan di Thanh Hoa, Vinh di Nghe An, dan Phu Bai di Hue, juga mengalami situasi serupa akibat kabut asap.
Baca Juga
Partikel halus (PM 2.5) di Hanoi terukur 11 kali lipat lebih padat dari batas aman yang ditetapkan WHO pada Jumat pagi, menurut situs pemantau kualitas udara IQAir. Dalam kondisi tersebut, masyarakat diminta menggunakan masker saat berkegiatan di luar ruang, menghindari olahraga di luar ruang, menutup jendela, dan menggunakan air purifier di dalam ruangan.
Advertisement
Berdasarkan pantauan pada Minggu (4/2/2024) pagi, indeks kualitas udara sudah mencapai 95 US AQI dengan tingkat PM 2.5 enam kali di atas batas aman yang disyaratkan WHO. Masalah polusi udara sering terjadi di Vietnam. WHO memperkirakan hal itu terkait dengan lebih dari 60 ribu kematian dini setiap tahun di negara tersebut pada 2016.
Masalah itu disebabkan banyak hal, di antaranya konstruksi, lalu lintas yang padat, produksi baja dan semen, serta pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Di Hanoi, hampir 35 persen PM 2.5 berasal dari industri, termasuk pembangkit listrik besar dan pabrik industri di sekitar kota, menurut laporan Bank Dunia pada 2020.
Dari Emisi Kendaraan hingga Kebiasaan Bakar Sampah Warga
Sekitar 25 persen polusi udara berasal dari sektor transportasi. Terdapat hampir 8 juta kendaraan yang terdaftar di Hanoi. Emisi amonia dari peternakan dan penggunaan pupuk menyumbang 20 persen dari PM 2.5, 10 persen berasal dari sumber-sumber perumahan seperti memasak dengan arang, dan sekitar 7 persen berasal dari pembakaran limbah pertanian.
Setelah panen, kabut asap tebal terbentuk di bagian utara negara itu ketika para petani membakar sisa tanaman untuk mempersiapkan ladang mereka menghadapi musim tanam berikutnya. Meskipun telah dilarang, praktik ini masih tersebar luas karena peraturan yang diterapkan dengan buruk dan sedikit insentif untuk menghentikan upaya penghematan waktu dan biaya.
Situasi diperburuk dengan kebiasaan membakar sampah di dalam dan sekitar kota. Rencahnya curah hujan di musim dingin membuat kualitas udara makin menuruk di Hanoi dengan inversi suhu dari Januari hingga Maret yang memerangkap polusi di dekat permukaan tanah. Pola angin pada Desember dan Januari juga diketahui mengangkut polutan dari kota-kota besar di Tiongkok selatan ke Hanoi.
Dengan kurangnya peraturan, polusi akan menjadi lebih buruk di Hanoi. Namun baru-baru ini, pemerintah Vietnam telah menyusun rencana untuk melakukan dekarbonisasi.
Advertisement
Upaya Dekarbonisasi Vietnam
Mei 2023, pemerintah mengumumkan bahwa mereka tidak akan membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru setelah 2030. Namun, pada 2020, mereka berencana membangun 10 PLTU baru di kawasan utara hingga 2030.
Di bawah rencana baru, batu bara akan mewakili 20 persen bauran energi negara pada 2030, turun dari 50 persen saat ini. Pendanaan senilai USD15,5 miliar (sekitar Rp243,8 triliun) dari Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership) antar-pemerintah – yang dipimpin bersama oleh Inggris dan Uni Eropa – akan membantu menuju transisi ramah lingkungan di Vietnam.
Pembangkit listrik tenaga air adalah sumber energi terbesar kedua di negara ini, meskipun kekeringan pada 2023 sangat membatasi produksinya. Hanoi menerima dukungan dari Bank Dunia untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim dan mengurangi polusi udara.
Lembaga keuangan internasional itu telah merekomendasikan langkah-langkah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, seperti beralih dari pembangkit listrik tenaga batu bara, mengurangi kemacetan lalu lintas, mengurangi emisi transportasi, dan meningkatkan praktik pertanian dan peternakan.
Laju Emisi Karbon Tercepat
Departemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Hanoi juga baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka sedang menyusun kebijakan untuk melatih petani padi dalam mengurangi dan menggunakan kembali limbah daripada membakarnya. Meskipun kontribusi Vietnam terhadap emisi gas rumah kaca global kecil, yaitu sebesar 0,8 persen, laju emisi ini merupakan salah satu yang tercepat di dunia. Emisi CO2e per kapita meningkat empat kali lipat dari 0,79 ton pada 2000 menjadi 3,81 ton pada 2018, menurut Bank Dunia.
Dari dalam negeri, pemerintah memilih untuk menerapkan pajak karbon. Namun, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pdjadjaran (Unpad) Prof. Memed Sueb menilai praktik ini dilematis karena pengenaan pajak bisa meningkatkan pendapatan negara, tetapi seolah-olah bentuk penerimaan terhadap polusi udara yang terus meningkat.
Mengutip laman Regional Liputan6.com, berdasarkan hasil riset diperoleh data bahwa potensi penerimaan pajak karbon dari sektor energi pada 2021-2025 adalah sekitar Rp23 triliun. Nilai dipandang bukan sebagai kabar yang menggembirakan, tetapi menandakan kualitas lingkungan terus menurun.
"Secara berjenjang diharapkan pajak karbon itu terus menurun tetapi kualitas lingkungan akan semakin meningkat,” kata Memed dikutip dari laman Unpad, Kamis, 25 Januari 2024.
Pajak karbon semestinya difungsikan sebagai sebuah hukuman (punishment) yang diharapkan ke depannya terjadi pengurangan emisi gas rumah kaca. “Pajak karbon tentunya ditunjukkan untuk memberikan punishment kepada penyelenggara atau kegiatan yang menghasilkan karbon itu sendiri," katanya.
Advertisement